UNIKNYA wilayah Propinisi Nusa Tenggara Timur ternyata bukan hanya topografinya. Tradisi turun-temurun sejak nenek moyang masih terpelihara sampai kini. Sebagian wilayah masih melestarikannya agar tak digilas modernisasi. Kekhasan tradisi ini menjadi identitas yang tidak dimiliki wilayah lainnya.
Pulau Lembata -- meliputi Kabupaten Lembata dihuni 100 ribu jiwa dari sembilan kecamatan -- sedari dahulu menyimpan banyak kekhasan yang tidak ditemukan di wilayah lain di NTT. Ada pesta kacang, ritual makan jagung, ritual menangkap ikan khas warga Desa Lewolein, berburu paus di Laut Sawu oleh nelayan Lamalera.
Makan jagung muda atau jagung tua di kebanyakan tempat di wilayah NTT sudah lumrah. Ketika jagung muda dipanen, petani atau pemilik tanaman memetiknya. Jagung bakar, jagung direbus atau dicampur dengan jenis sayuran lain yang sangat enak dimakan. Sedangkan jagung tua dipanen dan disimpan di lumbang. Makin banyak jagung yang disimpan di lumbung, selain padi, ubi-ubian dan kacang-kacangan, petani merasa lebih nyaman untuk hidup keluarganya.
Bagi warga Kecamatan Ile Ape khususnya dan Lembata umumnya, buah jagung yang dipanen dan hendak dimakan harus didahului ritual adat. Tradisi di banyak tempat di NTT jarang ditemui. Dalam tradisi warga Ile Ape, anak laki-laki sulung (bruin kolen) yang menurut hieraki keluarga dinobatkan menjadi pemangku rumah adat tak boleh makan jagung dan kacang sebelum dilakukan "sawer" ritual makan jagung. Bahkan seumur hidup, ia tak boleh makan jagung kalau tanpa didahului ritual sawer.
Lukas Tuan Tana, salah seorang pemangku rumah adat di dalam suku Langobelen di Desa Lamawara, mengungkapkan, semua kampung di Ile Ape yang masih punya rumah adat wajib melakukan sawer. Tanpa ritual ini, anak sulung pemangku rumah adat tak bisa makan jagung seumur hidup. "Saya punya istri dan anak bisa makan jagung seperti biasa, tetapi saya tidak bisa makan sebelum ada ritual ini," kata Lukas kepada Pos Kupang, Jumat (27/3/2009).
Apabila pantangan dilanggar pemangku rumah adat, misalnya telanjur makan jagung sebelum sawer, tulang-tulang persendian sangat sakit seperti penderita penyakit reumatik. Berkali-kali berobat ke dokter tak akan sembuh. Kecuali mengakui kekhilafan kepada orang tua (ibu). Sang ibu akan minta maaf kepada leluhur dan sakit berangsur sembuh.
"Saya alami tahun 2002 di Larantuka. Istri saya memberi saya makan nasi dicampur kacang nasi. Saya sudah telanjur makan dan habiskan makan sepiring. Setelah makan, persendian kaki saya terasa asam. Dua kali ke dokter tidak sembuh. Saya kembali ke kampung menceritakan kepada mama saya. Dia minta maaf kepada leluhur dan saya bisa sembuh," kisah Lukas.
Ritual sawer, syukuran memberi makan kepada arwah leluhur yang sudah meninggal, meliputi bahan-bahan seekor ayam jantan, dua buah jagung mudah yang masih dengan batangnya, satu buah sirih, pinang dan kapur sirih, satu buah pisang masak. Satu genggam kacang tanah, satu piring nasi, satu buah kelapa diambil santannya dan ikan putih (jenis ikan di dasar laut) dan tuak putih.
Upacara ini diadakan pada hari bulan ganjil dihitung berdasarkan munculnya bulan baru. Yakni lima, tujuh, sembilan dan sebelas, atau ketika jagung muda mulai dipanen. Semua bahan disiapkan pemangku rumah adat. Selanjutnya, pelayan laki-laki (atakwinat) atau pelayan perempuan (ata winhat) akan meracik bahan-bahan yang disiapkan itu di dapur. Ayam dibakar, kelapa diparut, diambil santan dicampur dengan ikan putih, jagung dibakar. Semua bahan makanan ini diletakkan di dalam lekar (dulang dari anyaman daun lontar).
Bahan makanan ini dicampur oleh pelayan dan membaginya ke dalam woko (tempat makan/minum leluhur dari anyaman daun lontar). Jumlah woko ganjil disesuaikan dengan hitungan bulan (bulan ketiga, kelima atau tujuh, sembilan atau sebelas). Woko ini diletakkan di sudut-sudut luar rumah. Inilah pertanda arwah leluhur diberi makan. Sedangkan sisa batang jagung diletakkan pada sudut kanan rumah.
Giliran berikutnya pelayanan membuat tanda salib menggunakan air sirih pinang di dahi, dada, sendi kaki dan tangan kepada pemangku rumah adat. Kepadanya diberi minum tuak putih. Sebelum meminumnya, meski leluhur sudah "diberi makan" di woko, pemangku rumah adat wajib menuangkannya lagi sedikit tuak ke tanah. Selanjutnya pemangku adat disuguhi makan jagung muda yang telah dibakar dan sisa makan lainnya diberikan kepada leluhur di dalam lekar. Makanan ini bisa dihabiskan, bisa pula ada sisa dan dimakan oleh anggota keluarga lain.
"Setelah upacara ini, saya boleh makan jagung. Tetapi, kalau setahun itu tidak ada ritual adat, maka anak laki-laki sulung pemangku rumah adat tidak bisa makan jagung selama setahun. Pada tahun berikutnya, anak laki sulung tidak bisa makan jagung panen tahun sebelumnya. Kecuali jagung yang dipanen pada tahun itu yang sudah dibuat ritual," kata Lukas.
Lukas menambahkan, semua pemangku rumah adat di Ile Ape memegang teguh ritual ini. Kebiasaan serupa juga masih berlaku di Atadei. Anak laki-laki yang sulung akan mewarisi lagi ritual ini ketika orangtuanya tak kuat lagi. (Eugenius Mo'a)
Pos Kupang edisi Sabtu, 4 April 2009 halaman 10