Wartawan Pos Kupang (1992-1995)
TAK ada yang dapat dilakukan untuk mengenang 'kepergian' orang baik, kecuali merenungkan dalam-dalam tentang kebaikannya dan berupaya meneladani kebaikannya itu. Mungkin inilah yang sedang terjadi pada kita warga Nusa Tenggara Timur hari-hari ini, saat mengenang sosok Piet Alexander Tallo, salah seorang tokoh besar NTT. Wafatnya Piet A Tallo mengguratkan dukacita mendalam bagi segenap warga NTT.
Gubernur NTT dua periode ini (1998-2003 dan 2003-2008) telah berpulang kepada Sang Khalik Agung, Sabtu 25 April 2009 sekitar jam 20.30 WIB di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Seturut kacamata imaniah, kita percaya bahwa Tuhan telah menyembuhkan beliau secara tuntas dari sakit yang telah lama mendera tubuhnya. Dalam kesedihan yang masih menempel di relung hati, penulis pun membatin: "Masihkah akan lahir lagi pemimpin NTT yang berkarakter kuat seperti Piet A Tallo?"
Mengenang Pak Piet adalah mengenangkan sosok pemimpin yang berkarakter kuat. Ia tidak pernah alpa memberi sentuhan kultural pada basis dan arah kebijakan pemerintahannya. Melalui program-program pembangunan yang digagasnya, tampaknya ia lebih mengutamakan 'pembentukan karakter NTT', bahwa kekhasan alam NTT dan kekayaan kultural masyarakat NTT merupakan kekuatan yang dahsyat. Pak Piet selalu memberi petuah bahwa 'Pembangunan NTT harus dimulai dari apa yang dimiliki oleh rakyat'. Petuah ini tampaknya berdempetan erat dengan upayanya untuk membentuk karakter kepemimpinan di NTT, bahwa hal yang terpenting adalah bagaimana para pemimpin dapat menjaga martabat rakyatnya sekaligus daerahnya.
Adalah benar bahwa dalam konteks ber-NKRI, bantuan dana pembangunan dari pemerintah pusat merupakan kemestian, mengingat pendapatan negara berupa pajak dan lain sebagainya yang dikelola oleh pemerintah pusat, sesungguhnya berasal dari keringat rakyat di republik ini. Namun, hal itu jangan sampai membuat para pemimpin di NTT menjadi miskin kreativitas dalam mengelola potensi alam dan budaya NTT sendiri guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sangat mungkin bahwa melalui basis kebijakan dan program-program pemerintahannya, Pak Piet lebih mengutamakan terjaganya martabat NTT dengan membuat NTT mampu berdiri di atas kaki sendiri. Artinya, bantuan pemerintah pusat semestinya hanya diposisikan sebagai penopang, di hadapan pendapatan daerah yang seharusnya diperoleh melalui kerja keras, keseriusan, dan keikhlasan para pemimpin dalam mengelola kekayaan alam dan budaya NTT.
Teguh pada Prinsip
Menengok sejenak ke masa lalu, jejak-jejak karakter ketokohan dan kepemimpinan Pak Piet mulai menjadi 'pusat perhatian' publik saat ia menjabat Bupati Timor Tengah Selatan (TTS). Kala itu, ia menggulirkan 'program khusus' yang mengejutkan banyak pihak dan sempat mengundang kontroversi. Program yang dikenal sebagai 'Operasi Cinta Tanah Air' itu diperuntukkan bagi warga TTS yang kedapatan tidak sedang bekerja pada jam-jam produktif. Ia tanpa ragu akan memasukkan seonggok tanah ke dalam mulut siapa pun warga TTS yang ia dapati sedang duduk-duduk tanpa aktivitas di saat jam kerja produktif. Melalui operasi ini, konon ia bertekad mengubah mentalitas rakyat setempat agar berubah menjadi masyarakat produktif. Kendati operasi ini mendapat 'sorotan' dari pemerintah pusat, Pak Piet tetap bergeming. Apa yang didapati kemudian oleh TTS? Perlahan tapi pasti, TTS terus berkembang, bahkan TTS akhirnya dinyatakan sebagai wilayah percontohan otonomi daerah di NTT.
Melompat sejenak ke masa yang lain, saat NTT 'diguncang' oleh eksodus pengungsi Timor Timur (kini Timor Leste) pasca jajak pendapat yang dimotori Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1999 silam. Merespons lambannya sikap pemerintah pusat dalam menangani tekanan persoalan sosial akibat eksodus pengungsi Timtim, Pak Piet mengungkapkan analogi yang terasa mengiris hati. "Ibaratnya orang miskin membantu orang susah," ujar Pak Piet dalam suatu wawancara untuk menggambarkan kesulitan NTT menghadapi eksodus pengungsi Timtim. Ia teguh pada prinsipnya untuk terus menolong semampunya para pengungsi Timtim atas nama persaudaraan dan kemanusiaan. Namun, dengan analogi itu, Pak Piet sesungguhnya ingin mengusik perhatian pemerintah pusat agar memberikan perhatian ekstra terhadap dampak eksodus pengungsi Timtim ke wilayah NTT.
Terlepas dari kekukuhan sikap Pak Piet terhadap sebuah kebijakan yang telah
ditempuhnya, beliau tetaplah seorang pemimpin yang hangat pada siapa saja yang ia temui. Sekali ia mengenal nama seseorang, ia tidak akan pernah melupakannya sampai kapan pun. Itulah yang membuat siapa saja yang pernah mengenalnya selalu akan merasa dekat dengannya. Bagaimana pula Pak Piet selaku gubernur memperlakukan para staf atau bawahannya di kantor? Sebelum 'merantau' ke Jakarta, saat masih menjadi aktivis mahasiswa dan wartawan di Kupang, beberapa kali penulis berkesempatan bertemu Pak Piet. Ketika itu, penulis menyaksikan bagaimana Pak Piet 'menegur' bawahannya yang kurang sigap dan cekatan dalam bekerja. Dengan bahasa yang lugas dan suara yang keras Pak Piet 'memarahi' bawahannya, namun tidak terasa sama sekali nada kebencian di dalamnya. Yang terdengar adalah nada nasehat dari seorang bapak kepada anaknya. Yang terasa adalah semangat mengayomi dari pemimpin kepada yang dipimpin.
Berbasis Adat-Budaya
Pak Piet adalah pemimpin yang memegang teguh adat dan budaya dalam setiap ucapan, sikap, dan tindakannya. Bersamaan dengan itu, ia pun seorang religius yang taat. Ia merespons setiap peristiwa publik sebagai peristiwa bermartabat yang merupakan bagian dari penyelenggaraan dan berkat Tuhan. Pandangan-pandangan Pak Piet selalu berorientasi historik, tidak melupakan sejarah. Ia pun selalu mengingatkan setiap orang agar tidak boleh lupa pada adat, budaya, dan asal-usul. Watak kepemimpinannya memang berbasis kuat pada adat dan budaya.
Penulis menyimpan 'kenangan yang tak ternilai harganya' dari Pak Piet saat beliau berkenan memberikan sambutan untuk meresmikan peluncuran buku penulis, "Menabur Asa di Tanah Asal" di Hotel Kristal Kupang, 7 Februari 2006 yang lalu.
Melalui tulisan ini, izinkan penulis me-review sejumlah pointers penting dari sambutan beliau kala itu, yang semoga bermanfaat bagi segenap pembaca. Pertama, Pak Piet mengatakan, NTT dalam keterisolasiannya telah menimbulkan paradigma dan stigma yang keliru seperti yang selama ini kita dengar. Kedua, Pak Piet mengatakan, para penulis NTT telah mendorong terjadinya perubahan values atau tata nilai pada manusia-manusia NTT (Pak Piet menyebutkan beberapa nama wartawan/penulis yang mewakili generasi masing-masing, yakni Hendrikus Ola Hadjon/Azas, Damyan Godho dan Valens Doy (Alm)/Pos Kupang yang sudah menghasilkan ratusan orang penulis baru, Antonius Un/Gatra, Yuzak Riwu Rohi/Timex, dan Cyrillus Kerong/Bisnis Indonesia, juga Alo Liliweri yang pemikirannya diakui Pak Piet banyak digunakan oleh beliau).
Ketiga, Pak Piet mengatakan, melalui karya tulis atau apa pun, seseorang memberikan tiga hal kepada lingkungannya, yakni kekuatan dan daya untuk sukses, inspirasi yang memiliki rasa respek dan kesetiaan pada profesi, serta proteksi terhadap masa depan dan kepribadian. Keempat, Pak Piet menyebut contoh ungkapan dalam bahasa Lamaholot, "Kajo puke wai mata' untuk mengatakan bahwa jangan sampai kita lupa pada asal-usul. Menurut beliau, hal-hal yang kita alami di NTT sekarang ini karena kita lupa asal-usul, lupa diri, dan lupa segalanya.
Kelima, Pak Piet mengatakan, orang NTT jangan saling mencakar, tapi dari hati yang jernih harus menumbuhkan kebersamaan. Tidak mungkin prestasi dan prestise diperoleh dengan cara sendiri-sendiri atau melalui perbedaan yang tajam, namun harus dengan memupuk kebersamaan. Keenam, Pak Piet mengatakan, para pemimpin NTT di masa mendatang harus memiliki karakter serta tidak boleh keluar dari adat dan budaya. Ketujuh, Pak Piet mengatakan, untuk dapat maju setara dengan daerah lain, orang NTT tidak boleh kerdil dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.
Pak Piet yang baik hati, jasa-jasamu tak mungkin terlupakan. Engkau telah berbuat banyak bagi rakyat NTT, rakyat yang sangat engkau cintai hingga ajal datang menjemputmu. Pak Piet yang terkasih, kini engkau telah terlelap tenang dan damai dalam tidur abadi. Engkau meninggalkan begitu banyak kenangan untuk rakyat NTT. Pak Piet yang tercinta, doa-doa dari relung hati kami segenap rakyat NTT telah dipanjatkan kepada TUHAN Yang Maha Pengasih. Semoga doa-doa kami ikut pula menghantar jiwamu memasuki Kerajaan Surgawi, sekaligus mampu menjadi kekuatan spirit bagi keluarga berduka yang ditinggalkan. "Doa adalah lagu hati yang membimbing ke hadapan singgasana Tuhan, meski ditingkah oleh suara ribuan orang yang sedang meratap," begitu ucap Kahlil Gibran. *
Pos Kupang edisi Selasa, 28 April 2009 halaman 14