Sekarang saatnya visi gizi...!
KITA kehilangan tepuk sorak. Mulai hari ini tiada lagi yel-yel bergema- membahana. Tak terdengar lagi nyaring riuh suara menembus dinding rumah dan gedung, menggetarkan beton stadion atau menggoyang-goyang pucuk rerumputan.
Hari ini tiada lagi deru sepeda motor, raungan mobil konvoi di jalanan Flobamora.
Kita mulai kehilangan yang cantik rupawan di pojok sudut jalan, ranting, dahan dan batang pepohonan. Di layar kaca, radio dan kolom media cetak. Pemilu bukan sekadar sudah dekat. Waktunya sudah tiba. Tinggal dalam hitungan jam, tuan dan puan akan menuju TPS. Mempratikkan cara baru, centang atau contreng!
Delapan bulan lebih masa kampanye pemilu legislatif 2009 telah berakhir kemarin. Menyisakan banyak kenangan pahit dan manis. Suka dan duka. Jetih letih, senyum serta tawa. Kenangan itu niscaya membekas. Tertanam dengan beragam rasa.
Beta terkenang kisah kecil dari udik ini. Warta dari kampung halaman yang oto (mobil) masih susah masuk, sepeda motor mesti terseok-seok di jalan batu berlumpur. Aroma bakso, roti dan mie instan? Ah, masih jauh.
Suatu hari di bulan Februari akhir, datanglah seorang pemuda gagah bercelana jins, kemeja kotak-kotak, menenteng ransel dan kamera digital lima megapiksel. Tiba di kampung jelang senja disambut ramah sanak keluarga. Maklum, biar kuliah tak selesai karena orangtua ketiadaan ongkos, dialah pemuda andalan kampung itu. Dipandang cakap dan mengerti politik. Dia terpilih masuk tim sukses caleg. Pak Caleg, sebut saja namanya Om Jotu.
Pemuda itu keliling kampung, bertamu dari rumah ke rumah. Dengan sopan dan ramah dia mengundang warga kampung agar sudi mengikuti pertemuan sosialisasi dari Om Jotu. Kepada setiap orang yang diundang, pemuda itu membeberkan sekilas info tentang Om Jotu. "Caleg kita ini dijamin mutunya. Dia sekolah tinggi. Jangan tanya lagi gelarnya. Ada di muka nama dan belakang nama. Minggu lalu waktu sosialisasi di desa tetangga sebelah, manusia ngeri," katanya berapi-api.
Frase "manusia ngeri" jangan salah mengerti. Maksudnya banyak sekali manusia yang hadir mendengar sosialisasi Om Jotu. Jumlah tak terhitung hingga dilukiskan "ngeri". Ibu dan bapak yang mendengar cerita itu mengangguk-angguk.
"Untuk konsumsi, bapa, mama, kakak, adik, ipar, tanta, bibi, tak usah khawatir. Semua sudah beres. Nanti kita minum dan makan kue, makan siang, setelah itu minum dan kue lagi," kata pemuda hitam manis, jidat lebar, rambut keriting.
Dua hari kemudian tibalah sosialisasi dengan Om Jotu. Undangan sang pemuda tidak bertepuk sebelah tangan. Warga kampung berduyun-duyun menuju lokasi sosialisasi berhiaskan janur serta umbul-umbul partai Om Jotu. Sejam lebih warga menunggu. Bunyi gong waning menandai kehadiran Om Jotu bersama kelompok pendukung setia di ujung kampung. Pak Caleg dikalungi selendang tenunan asli.
Senyum lebar Om Jotu menebar ke mana-mana. Disalaminya satu demi satu warga kampung lalu menuju kursi dan meja yang diletakkan sedikit lebih tinggi di panggung kayu. Om Jotu melangkah pasti. Senyum tak henti-hentinya tersungging. Waktu itu kira-kira jam sebelas pagi. Terik mentari mulai terasa menggigit.
Setelah istirahat sejenak sambil mencicipi minuman dan kue, pemuda kampung itu membuka acara dengan sekapur sirih memperkenalkan Om Jotu. Tidak lebih dari lima menit. "Acara selanjutnya, waktu dan kesempatan kami berikan seluas-luasnya kepada caleg kebanggaan kita," katanya disambut tepuk sorak membahana yang terdengar mulai dari kursi paling belakang.
Om Jotu menyapa warga kampung dengan yel-yel penyemangat. Saya beri bukti, bukan janji! Kata-kata itu diucapkan sebanyak tiga kali dengan suara keras sambil kepalkan tangan kanan. Lalu dia perkenalkan diri, anggota keluarga, pengalaman kerja, pengalaman politik, pengalaman studi di dalam dan luar negeri. Beberkan visi dan misi partai, visi dan misi sebagai caleg.
Setiap akhir perkataan Om Jotu selalu disongsong tepuk sorak dan siulan panjang yang lagi-lagi terdengar awal dari kursi belakang terus merembet ke tengah dan depan. Sosialisasi meriah. Nama Om Jotu dielu-elukan. Belakangan baru ketahuan, Om Jotu punya tim tepuk, sorak dan siul dengan tugas menghidupkan suasana. Cara duduk mereka pun sudah diatur pemuda kampung yang tim sukses itu.
Lima puluh menit berlalu sorak dan tepuk masih bergemuruh. Om Jotu kian nyaring berkata-kata. Visi dan misi ditekankan berulang-ulang. Suara naik turun, berirama layaknya orator. Dia akan memperjuangkan ini, menghasilkan itu. Akan melawan koruptor, meningkatkan ekonomi rakyat kampung. Pengalaman lucu juga diceritakan. Sesekali terdengar tepuk tangan dan tawa lepas dari peserta yang hadir. Om Jotu belum sadar dan belum jua berhenti omong. Makin siang suasana makin hening. Yang terdengar kini cuma suara lengking dari bibir Om Jotu.
"Ah, tak terasa sudah satu jam lebih ya saya bicara," kata Om Jotu. "Bagaimana bapa dan mama, bisa mendukung saya. Apakah ada pertanyaan?" tanya Om Jotu.
Serentak terdengar jawaban dari kursi bagian tengah, "Makan duluuuu!!!!" Seseorang menimpali, "Kalau tadi bapa sudah paparkan visi dan misi, sekarang kita visi gizi dulu baru lanjutkan dengan tanya jawab."
Om Jotu terbahak. Baru disadarinya sorak dan tepuk sudah lama berhenti. Diliriknya jam tangan, waktu menunjukkan pukul satu siang lewat belasan menit. Tidak bisa tidak! Sosialisasi mesti berakhir di sini. Setelah makan siang tak mungkin lagi sesi tanya jawab karena Pak Caleg harus meninggalkan kampung. Dia pulang tanpa mendapat sepatah kata "dukung" dari warga kampung.
Begitulah kisah nyata seorang caleg. Dia sahabatku yang hari-hari ini bersama ribuan koleganya di beranda Flobamora sedang menunggu nasib. Apakah mungkin dipilih atau tidak dipilih oleh rakyat, si empunya kedaulatan?
Dapat dipastikan setiap caleg memiliki pengalaman unik, lucu bahkan menyakitkan selama masa sosialisasi diri, temu kader, jumpa simpatisan atau kampanye terbuka. Hormat dan salut akan perjuangan tuan dan puan. Kagum bagi optimisme yang mengental di dada. Kampanye Pemilu 2009 panjang dan melelahkan, mahal pula ongkosnya. Tetapi inilah demokrasi. Tidak mengenal makan siang gratis.
Pemilu sebagai pesta senantiasa menebarkan sensasi, drama, tipu daya, perjuangan serta hati yang ikhlas. Akal-akalan caleg bisa terwujud dalam beragam bentuk. Mulai dari sekadar mendadak ramah hingga bergaya sinterklas. Siapa bilang yang busuk cuma politisi? Selalu ada tim sukses busuk, penyelenggara busuk, pengawas busuk dan pemilih busuk. Sebagai WNI yang berhak memilih, siapakah tuan dan puan pada 9 April 2009? Pemilih busuk atau konstituen terhormat?
Bukan saatnya lagi tepuk sorak. Waktunya bersikap dengan kesadaran. Kalau tidak memilih, tuan tidak berhak menggugat! Pemilu 2009 tidak sempurna, caleg pun bukan malaikat. Jadi, untuk apa mencercah kegelapan? Mari nyalakan lilin. Ayo, centang salah seorang dari mereka! (dionbata@poskupang.co.id)
Pos Kupang edisi Senin, 6 April 2009 halaman 1