Suara


SUARA-suara itu terdengar berulang. Dari Atambua hingga Kupang dari Mbay sampai Manggarai, Larantuka hingga Waikabubak, dari Bajawa ke Borong tembus Ba'a. Ende juga SoE, Kefa, Lembata pun Kalabahi. Suara itu, serupa cicit pipit di mayang-mayang gelagah sabana. Seumpama nyanyi jangkrik di rerumputan tropis tahan kering semusim. Suara-suara itu, suara anak Flobamora beremblim Merah Putih.

Siang itu, sepenggal siang sepekan silam, suara itu kembali mengaum. Mengaum diam-diam. Tak lengking mencabik langit tenggara Republik. Cuma desah riuh membatin. Menghardik sunyi. Tapi suara-suara itu nyata. Suara itu, suara kambuhan keluarga besar Korpri. Suara pasca pilkada!


Setelah tujuh April tahun dua ribu sembilan, lengkaplah sudah 12 pesta pilkada di beranda rumah Flobamora selama 2008. Sebanyak 24 putra terbaik (putri masih dinomorduakan!) Nusa Tenggara Timur telah sah dan resmi mengenakan lambang Garuda di dada. Ada muka baru, ada wajah lama. 

Terpilih dari banyak yang melamar. Meraih singgasana setelah lelah berjuang meraih cinta mayoritas rakyat. Sesudah gontai berbantai kata dengan lawan tanding, setelah jerih berjepit dan bakugigit visi misi. Mereka terpilih dengan ongkos tak sedikit.

Dan, suara-suara itu menjemput mereka dengan riang, genit sekaligus pongah. Suara tepuk dada, suara sorak bergembira. Suara ketidakpuasan, gundah gulana, suara sinis mengerang. Kiranya tuan tahu apa yang hendak beta kata. Niscaya puan paham apa yang beta cakapkan. Pasca pilkada kita segera tahu ke mana arah cerita.

Pilkada langsung tiga tahun sudah umurnya. Kiprah dan terjang sepaknya masih sama dan serupa. Masih seperti yang dulu. Yang ikut memenangkan menghitung jasa, kalkulasi tiap tetes keringat, jerih lelah. Yang menang sinis menindis kubu kalah. Lirih bergumam bangga, "Kau masuk kotak, kawan!"

Mutasi, itulah agenda perdana pasca pelantikan bupati-wakil bupati hasil pilkada langsung sejak 2005. Bahasa kerennya penataan birokrasi. Bupati-wakil bupati memandang perlu membentuk semacam kabinet baru guna mendukung pelaksanaan visi dan misi selama kampanye. Apa iya??

Bahasa lurusnya mutasi, memilah kawan dan lawan. Memilih si Poni masuk kotak, mendorong si Pona naik panggung. Bahasa gaulnya bagi-bagi kue jabatan dan kuasa bagi pendukung, kepada anggota tim sukses yang telah berkeringat.

Siapa bilang kepala daerah terpilih hidup tenang? Setelah dilantik, dikepung penagih janji. Yang tak lelah meminta pamrih. Usai sumpah jabatan, jumpa tukang sorong badan, tunjuk muka. Tercengang dihadiahi macam-macam. Hadiah politik. Gratis hari ini, besok ada ekornya. Menolak enggan, terima pun beban. Dilema! Makin hari semakin banyak penjilat. Makin hari kian banyak pelapor Asal Bapak Senang. Tiada awas, sang kepala terlelap dalam pelukan bual. Tidur dimanja kemunafikan.

Suara-suara itu, suara yang berulang bukan? Suara lirih kepala-wakil kepala daerah terpilih menghadapi dilema. Mungkin tak terucap lugas meski dada sesak bergelora. Apa daya! Sukses pilkada langsung adalah kerja tim raksasa. Kerja bareng manusia sekampung besar dengan macam-macan agenda.

Maka balas jasa tak terelakkan. Yang pahit ini tak indah dikata, tapi mesti diucapcakapkan. Mutasi birokrasi kita adalah wajah mutasi balas jasa. Mau sekolah sampai ke negeri Cina sekalipun, memiliki pengalaman segudang pun, tapi bila tuan bukan tim sukses dan gagap "main cantik" akan tergusur pasrah. Profesionalisme itu sayup terkubur di era pilkada langsung.

Suara itu, suara-suara berulang. Tahukah tuan dan puan ada pejabat setinggi kepala biro dan kepala dinas tak cakap menyusun renstra? Mau bilang apa, itulah kewenangan kepala daerah memilih orang. Bayangkan kapasitasnya jika dokumen sepenting rencana stategis (renstra) tak cakap digarap dan rampung tepat waktu? 

Suara-suara itu sungguh mengganggu. Tapi inilah buah pilkada langsung yang kita sepakati sebagai cara berdemokrasi nan elok. Si tukang jalan dijunjung. Pencuri tulang dipuja. Yang bodoh dapat tempat. Yang cakap jadi staf. Yang tua pikun diusung, masa dinas dipanjang-panjangkan, yang muda energik dicampakkan. Peduli apa pada kriteria ilmu kali otak kali watak?

Suara-suara itu, suara kegetiran. Memang tidak semua buah pilkada rusak membusuk. Tidak semua bodoh, tak semua loyalis buta. Ada mutiara. Ada emas. Tapi mutiara, berapa jumlah aparatur mutiara di rumah kita? Profil Nusa Tenggara Timur hari ini belum jua terungkit menjulang. Kita masih begini ini. Aparatur pemerintah sebagai motor, panas tidak, dingin pun bukan!

Mutasi alias penataan birokrasi itu dapat menjadi bibit perpecahan. Biasanya soal jatah kepala dan wakil kepala daerah. Wakil punya jagoan, kepala punya andalan. Syukur kalau sejalan, seide. Umumnya tarik-tarikan kepentingan. Salah atur, duet pilkada sontak remuk redam di bulan pertama.

Suara itu, suara perpecahan masih bernada dasar sama. Pilkada memperlihatkan, bibit perpecahan biasanya soal uang. Tepatnya proyek. Bupati persempit ruang gerak wakil bupati. Pak wakil kegerahan lalu bernyanyi kepada publik. Aku sudah tak tahan lagi. Aku dicampakkan dalam pawai pembangunan kampung halaman. Pendukung ikut nimbrung. Suara sumbang ramai terdengar. Di mana-mana. Suara-suara itu, nyanyian itu bukan lagu baru bukan?

Sehati-sesuara, ajakan berulang yang disampaikan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya dalam setiap acara pelantikan kepala daerah hasil pilkada 2008 kita tunggu buktinya. Maafkan beta jika batin masih meragu.

***
PEKAN ketiga di awal tahun, secuil pengalaman kecil ini menghampiri. Mengurus surat izin untuk kebutuhan tempat kerja, beta percaya urusan itu akan mudah. Paling lama tuntas sehari dua. Surat izin ini penting agar usaha kami tidak melanggar aturan negara. Syaratnya tidak rumit. Semua berkas telah lengkap. Petugas yang menerima mengangguk-anggukkan kepala. Syarat oke. Biaya administrasi sudah masuk bukti kas. Tak ada soal. "Tapi Bapak harap bersabar karena pejabat berwenang membuat paraf sedang tugas ke luar daerah selama seminggu," kata pegawai penerima berkas di instansi A. 

Tuan dan puan yang pernah berurusan dengan instansi pemerintah pastilah tahu siapa tukang paraf. Tanpa parafnya, surat apapun tak akan diteken kepala dinas, kantor atau badan. Paraf menunjukkan surat lolos sensor. Sudah sesuai prosedur, juklak, juknis.

Seminggu berikut beta datang lagi. Si tukang paraf belum masuk kerja. Lima belas menit baru kutahu, abang tukang paraf sakit flu dan batuk. "Besok datang lagi. Pagi-pagi," kata pegawai yang sama. 

Kudatang lagi pada waktunya. Tukang paraf sedang rapat dengan pimpinan. Hari menjelang senja baru surat izin itu diparaf dan naik ke meja kepala dinas. "Besok baru bisa diambil. Pak kepala sudah pulang rumah," lagi-lagi kata penerima berkas. Tanpa senyum. Tanpa tawa. Tanpa beban!

Besoknya lagi ketika menunggu surat ditandatangi kepala, kulihat sejumlah pria dan wanita berseragam di kantor itu asyik bercengkerama. Mereka riang ria. Mereka sungguh tak tahu resahnya menanti segurat tanda tangan dan cap. Sungguh tak mendengar suara bergumam, apa arti sebuah pelayanan pemerintah?

Ah, seandainya mereka mau tahu betapa beta sangat membutuhkan segurat tanda tangan yang cukup menentukan nasib banyak orang. Mereka mungkin berdalih nyaring, bukan kau yang memilihku, tapi bosku. Bosku kepala daerah. Kepala wilayah hasil kumpulan terbanyak suara-suara rakyat. Suara kami yang memilih.

Suara-suara itu, suara kegetiran. Ketika rindu menatap Nusa Tenggara Timur hari ini, terngiang lagi suara-suara dari masa lalu. Birokrasi kita kaya struktur, masih makmur inefisiensi. Suaminya kecongkakan, isterinya ingat diri. Motto dia: Bila bisa dipersulit kenapa dipermudah. Dari rahimnya lahir anak kandung bernama kebodohan, cucunya kemiskinan. Itulah kita. Suara-suara itu, suara kegetiran berulang. Entah sampai kapan? (dionbata@poskupang.co.id)

Pos Kupang edisi Senin, 13 April 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes