HARI Sabtu, 10 Maret 2007. Saya menemui Piet Alexander Tallo, S.H, di ruang kerjanya untuk suatu wawancara. Garis-garis ketuaan terlihat nyata di wajahnya. Tetapi semangatnya tetap prima. Seperti biasa, kata-katanya selalu jelas dan tegas. Kuat mengekspresikan apa yang ingin dikatakannya kepada lawan bicaranya.
Sekenanya saya mengganggunya, "Bapak menjadi gubernur pada waktu yang salah, yakni ketika Indonesia baru dilanda krisis moneter dengan imbas yang begitu jauh dan ketika pengungsi Timor Timur membanjiri NTT.
"
Beliau diam sejurus. "Ya, salib itu harus dihadapi, bukan untuk dihindari. Tetapi saya percaya, bersama semua warga NTT kita bisa keluar dari setiap masalah yang ada," jawabnya serius.
Tidak berhenti di situ, saya kemudian mengajukan sebuah pertanyaan, "Dibanding dengan semua yang pernah menjadi kepala daerah di NTT, hanya bapaklah orang yang paling lama menjabat sebagai kepala daerah. Menjadi Bupati Timor Tengah Selatan sepuluh tahun, menjadi Wakil Gubernur NTT lima tahun dan dua periode menjadi Gubernur NTT. Berarti 25 tahun bapak menjabat kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Keberuntungan apa yang membuat garis tangan bapak seperti itu?" Sambil tersenyum, dia menjawab, "Semuanya sudah diatur Yang di Atas. Tidak ada yang kebetulan, semua orang punya jalan nasib sendiri-sendiri yang telah ditentukan. Saya sangat percaya itu." Dan, kami pun larut dalam dialog. Saat hendak pamit, beliau mengatakan, "Saya akan kontak kamu atau Dion (Dion DB Putra, Pemred Pos Kupang--Pen) kalau saya ingin ke Pos Kupang. Saya tidak mau kastau kapan saya pergi supaya jangan ada kesan formal."
Secara pribadi, saya kurang dekat dengan Piet Tallo. Bertemu langsung dengannya pun cuma tiga kali. Pertama awal 1999 di Ende, ketika beliau memperkenalkan program Tiga Batu Tungku saat mulai menjabat sebagai gubernur. Kedua di ruang kerjanya itu; dan ketiga saat beliau memenuhi janjinya mendatangi Pos Kupang, Kamis 30 Agustus 2007 siang.
Tetapi dari tiga pertemuan itu, dan kemudian mengikuti sepak terjangnya sebagai Bupati TTS, wakil gubernur dan Gubernur NTT, satu kesan kuat dari sosok Tallo yang tertangkap, yakni aktif berpikir dan berbuat. Tallo adalah pemimpin yang tidak bisa tinggal diam. Dia sangat aktif, baik aktif berpikir, juga aktif melakukan apa yang diikhtiarkannya.
Ketika memimpin TTS dua periode, boleh dibilang Tallo menjadi bupati primadona di NTT. Pada masanya, TTS menjadi kabupaten contoh di NTT untuk penerapan otonomi daerah. Sebuah polling nakal yang dibuat Pos Kupang tahun 1993 menempatkannya sebagai tokoh paling populer di NTT.
Sosok ini tidak bisa tenang, berpangku tangan saja. Dia akan sangat gerah dan gusar kalau rakyatnya duduk berpangku tangan saja. Di TTS, Piet Tallo dikenal sebagai bupati 'bertangan besi'. Dia tidak segan-segan menyumpal mulut rakyatnya dengan tanah kalau tidur 'melenggang kea' saja. Dia memimpin dengan 'tangan besi' karena ingin rakyatnya maju, keluar dari keterkungkungan. Dia ingin tampil sebagai sosok dengan semangat mesianik guna memberi asa bagi rakyatnya.
Sesuatu yang selalu terkenang bagi siapa saja yang pernah kenal dekat dengannya adalah sikapnya yang pasti melihat realitas. Idiom tidak ada yang kebetulan di bawah kolong langit menjadi begitu simptomatik di mulut Tallo. Bahwa NTT terdiri dari keanekaragaman suku, budaya bukan merupakan sesuatu yang kebetulan. Bahwa geopolitik NTT kuat dicirikan oleh pertarungan antara Flores, Timor dan Sumba dan antara Katolik dan Protestan, juga bukan suatu kebetulan.
Tetapi di tangan Tallo, apa yang 'bukan kebetulan' itu diolah menjadi sumber kekuatan, modal sosial dan spirit budaya membangun NTT. Sikap, tingkah laku, pandangan hidup, kebiasaan masyarakat NTT sangat dihargainya sebagai modalitas meniti jembatan pembangunan di NTT. Dengan rumusan lain, Tallo menjadikan kekuatan sosial, budaya, adat NTT dan juga faktisitas yang faktual di NTT menjadi investasi paling penting membangun NTT. 'Membangun dengan apa yang ada pada rakyat' kemudian menjadi inti nukleus pemikiran Tallo.
Kekuatan historis kultural dan historis religius menjadi pendekatan ampuh yang dipakainya menyelesaikan setiap soal dan masalah. Agaknya, pengalamannya sepuluh tahun menjadi Bupati TTS dan lima tahun menjadi Wakil Gubernur NTT membuka matanya melihat kekuatan budaya NTT menjadi aset yang begitu dahsyat. Program Tiga Batu Tungku pada periode pertama kepemimpinannya menjadi gubernur (1998-2003) dan kemudian Tiga Pilar Pembangunan pada periode kedua (2003-2008), karena itu, boleh dilihat sebagai pengejawantahan sikap dan pandangannya itu.
Kristalisasi pandangannya, pola pendekatan yang dipakainya dan disain program pembangunan yang diterapkannya dapat dibaca sebagai upaya Tallo menjadikan NTT sebagai NTT yang sejati, bukan NTT dalam tiruan warna dan kacamata daerah lain. Dalam kata-katanya sendiri, "Kita harus mengembangkan kecerdasan masyarakat kita, meningkatkan mental dan sikap kerja. Kecerdasan yang berkembang, mentalitas yang penuh harapan, serta sikap kerja yang tangguh, semuanya adalah etos yang harus terus dimunculkan."
Hal lain yang menarik dari sosok Tallo adalah keramatnya angka tiga. Pasti tiga bukan kebetulan buat Tallo. Tiga Batu Tungku, Tiga Pilar Pembangunan, juga jelas bukan sekadar tiga. Dalam wawancara dengannya, Tallo memberi alasan mengapa programnya selalu tiga. "Tiga itu bagi saya adalah simbol Bapak, Anak dan Roh Kudus. Tiga juga punya nilai spiritual bagi saya. Ada iman, pengharapan dan kasih," kata Tallo.
Tampilnya Tallo di panggung politik NTT juga pasti bukan sebuah kebetulan sejarah. Dia tampil pada zamannya dan menjadi anak kandung zamannya ketika kondisi NTT hancur-hancurnya bersama Indonesia diterpa krisis moneter. Nasib NTT semakin parah, ketika arus besar warga Timor Timur mengalir ke NTT.
Hari Sabtu, 25 April 2009 menjelang pergantian hari, Piet Tallo menghembus nafas terakhir disaksikan istri dan anak-anaknya. "Sudah selesai Ver," katanya kepada Vera, putrinya. Nafasnya sudah selesai. Putus. Jasadnya telah dingin dan kaku. Hari ini tubuh fana itu dibaring berkalang tanah. Tetapi Piet Alexander Tallo mewariskan contoh bagaimana mesti menghidupi kehidupan. Karena itu bukan kebetulan kalau lakon hidupnya akan menggairahkan begitu banyak orang setelah kematiannya.
Si penyair Rainer Maria Rilke bukan sekadar merawak rambang ketika dia berteriak lantang, "Siapa pun yang dengan sungguh memahami dan merayakan kematian, pada saat itu juga memuliakan kehidupan. "Requiem aeternam dona ei, Domine. *
Pos Kupang edisi Rabu, 29 April 2009 halaman 1