PNS di Belu
SEBELUM menguraikan lebih lanjut tentang siapa sebenarnya sosok Bapak Piet Alexander Tallo, SH menurut versi saya, pertama sekali perlu ditegaskan bahwa tulisan ini semata-mata hanyalah secuil kenangan, setitik memori dan seuntai catatan lepas yang memang tersimpan rapi dalam buku harian saya sejak tahun 1988 sampai dengan tahun 2008 yang khusus saya buat ketika berkomunikasi dan berinteraksi baik secara langsung 'man to man' maupun secara tidak langsung melalui media dengan pribadi Piet Alexander Tallo, SH.
Setelah membaca kembali semua catatan harian tersebut saya mencoba mengkristalkannya dalam tiga terminologi yang merupakan resonansi dari hal-hal yang berada sebagai 'tremendum' dan 'fascinosum' dalam interaksi yang diwarnai suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) yang intens antara saya dengan beliau. Oleh karena itu, rangkaian tulisan ini pula tampaknya tidak dibuat dalam kondisi kebatinan yang menghantui para penulis sejarah masa lalu yang dikenal sebagai 'The battle of memories' yang cenderung menafsirkan suatu peristiwa belaka tetapi menyajikan kembali apa adanya makna dan pengertian yang terkandung dalam interaksi tersebut.
Dengan demikian keseluruhan tulisan ini hanyalah relung-relung renung yang dapat saya maknai, saya rasakan dan saya keluarkan kembali untaian interaksi saya selama 20 tahun dengan sosok Bapak Piet Alexander Tallo, SH. Dalam konteks inilah dapat dikatakan tulisan ini lebih bersifat renungan pribadi yang mungkin 'subyektif' nuansa pembeberannya tetapi senantiasa difilterisasi dengan indikator rasionalitas yang dikonstruksi oleh struktur realitas sosial.
Berikut ini akan diuraikan tiga terminologi berupa nilai substantif yang saya peroleh dan yang saya maknai dalam interaksi dengan beliau. Tiga terminologi di atas tampaknya tidak dapat mewakili kebesaran dan ketokohan Bapak Piet Alexander Tallo tetapi hendaknya dapat memberi gambaran awal kepada siapa saja yang hendak memahami nilai-nilai agung dan luhur yang telah ditinggalkan beliau dari waktu ke waktu.
Pertama, pada bulan Mei tahun 1988 ketika Pak Piet (demikian sapaan akrab mahasiswa FH Undana Kupang) memberi ujian skripsi untuk salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum (waktu itu saya duduk pada semester 6 FH Undana Kupang) di sela-sela waktu luangnya beliau menyatakan : seorang intelektual harus memandang suatu persoalan dari berbagai dimensi sebelum sampai pada suatu keputusan akhir, karena satu sudut pandang memiliki gambaran yang berbeda dengan sudut pandang yang lain, meskipun obyek yang disorot adalah satu 'understanding'. Makna yang saya tangkap pada waktu itu adalah bahwa sinar atau cahaya seorang guru atau dosen sebagai pengajar sekaligus pendidik tampak jelas dalam pribadi Bapak Piet Alexander Tallo.
Ia mengajarkan Ilmu Pengetahuan Hukum yang diperolehnya di UGM untuk mahasiswa Fakultas Hukum Undana dengan sangat cerdas dan sangat mudah dipahami anak didiknya. Ia membagikan pengalaman mendidik yang beliau dapat di perantauan Yogyakarta untuk adik-adiknya, anak-anaknya di Fakultas Hukum Undana Kupang dengan sangat sistematis dan komprehensif ibarat seorang guru besar sedang memberi studium generale. Pada tataran ini tampak jelas upaya-upaya transfer of knowledge sebagai bagian substantif dalam interaksi perkuliahan di kampus dilakukan Bapak Piet A. Tallo dengan sangat cerdas, akurat dan penuh tanggung jawab.
Kecintaan untuk mencerdaskan anak-anak NTT dan terobosannya untuk mempercepat proses up grade kualitas mahasiswa hukum khususnya di Undana Kupang ditunjukkannya dengan tetap menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Hukum Undana kendati beliau sudah menjadi Bupati Timur Tengah Selatan. Nilai tanggung jawab moral inilah yang ternyata senantiasa diberikan kepada masyarakat NTT dalam menapaki jalan-jalan panjang meraih kualitas pendidikan tinggi pada berbagai kesempatan beliau bertatap muka dengan makasiswa ataupum dengan kolega dosennya.
Kedua, pada tahun 1991 ketika saya menemui beliau di SoE di ruang kerja bupati untuk meminta petunjuk, saran dan pendapat tentang bagaimana seharusnya seorang sarjana beraktivitas dan hidup di tengah masyarakat, beliau menunjukkan kepada saya sebuah aquarium yang berisi beberapa ekor ikan dan menyatakan : "Lihatlah nak ikan-ikan itu, sesekali berenang ke atas permukaan air, lain waktu berada di tengah-tengah aquarium dan pada saat yang lain berada di dasar aquarium".
Makna yang dapat dipetik dari perilaku ikan-ikan itu, kata beliau, dapat dijadikan gambaran bagaimana sebetulnya perilaku dan sikap atau tindakan yang harus ada pada diri seorang sarjana khususnya dan pemimpin pada umumnya. Seorang sarjana tidak selalu berada di atas menara gading, tetapi senantiasa hidup bersama dan di antara masyarakat karena ilmu pengetahuan itu, kata beliau lagi, adalah netral dan pemahaman akan ilmu bukan semata mata 'knowledge for knowledge' tetapi pada intinya adalah 'knowledge for what'.
Filosofi ilmu di air tersebut sebetulnya menggambarkan bahwa segala sesuatu yang dijalani seseorang tentu dipengaruhi oleh ruang dan waktu dan memiliki dinamika yang berubah dari waktu ke waktu. Momentum ini saya maknai sebagai perwujudan dari sikap Pak Piet sebagai seorang bapak yang senantiasa memberi arahan (direction), sebagai pemimpin yang senantiasa memberi contoh yang baik bagi orang-orang yang berada di sekelilingnya dan sebagai komandan yang memberi perintah untuk dilaksanakan. Dalam konteks menjadi pemimpin inilah, experience Pak Piet menunjukkan nilai surplus yang patut dijadikan contoh bagi masyarakat NTT dan birokrat NTT secara khusus.
Dalam sejarah kepemerintahan dan kemasyarakatan di NTT, perjalanan panjang Bapak Piet sebagai seorang birokrat tampaknya dapat diberikan julukan 'Super Star', tidak ada duanya karena hanya beliaulah satu-satunya Gubernur NTT yang mengemban tugas sebagai gubernur 10 tahun yang sebelumnya menjadi Bupati TTS selama 10 tahun, 5 tahun menjadi wakil gubernur dan beberapa tahun menjadi Kepala Dinas Pendapatan Daerah NTT dan Kepala BKPMD NTT. Pengalaman ini sungguh luar biasa, tiada tandingan dan exellent, sehingga sebetulnya kepada beliau dapat diberikan gelar kepahlawanan di bidang kepemerintahan dan kemasyarakatan. Seorang pahlawan sejati senantiasa tidak pernah membanggakan kepahlawanannya baik dalam berkata-kata maupun dalam 'performance'. Konfigurasi inilah yang melekat pada diri Bapak Piet Alexander Tallo, SH. Dalam konteks sejarah NTT, Piet Alexander Tallo adalah bagian tak terpisahkan dalam perjuangannya untuk sekadar menggambarkan nilai-nilai sosial budaya yang dilestarikan dan ditumbuhkembangkan dalam proses membangun NTT. Dalam konteks sejarah, untaian perjuangan Piet Alexander Tallo dapat diklasifikasi sebagai langkah-langkah ke arah 'political finishing touch' dalam konteks 'generational history' yang telah menunjuk begitu besar pengaruh tokoh seperti Piet A. Tallo untuk NTT baik di masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.
Ketiga, pada tahun 1997 ketika saya mendapat kesempatan untuk bertemu beliau guna memohon saran untuk menentukan sikap dalam meniti karier sebagai seorang PNS yang barusan lulus tes CPNS, beliau dengan begitu penuh makna memberi gambaran yang ideal tentang pribadi seorang PNS. Menjadi PNS menurut beliau adalah menjadi pelayan masyarakat selain tentunya menjadi kelompok masyarakat yang senantiasa mengabdi untuk pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kebesaran dan kelekatan beliau sebagai aparatur negara yang bertumbuh, berkembang dan menjadi gemilang di bidang PNS dan birokrat telah memancarkan nilai-nilai lebih (value added) dalam mensinergikan fungsi substantif yang diemban aparat pemerintahan yaitu fungsi memerintah (besturen functie) sebagai conditio sine qua non dengan fungsi pelayanan (verzorgen functie) sebagai fungsi relatif yang keduanya saling komplementer.
Dalam konteks kepiawaian Bapak Piet A. Tallo, dalam menjalankan fungsi dasar aparat pemerintah tersebut tampak terkristalisasi dalam kepribadian beliau yang sangat negarawan melampaui batas-batas kelaziman yang biasa dilakukan seorang aparat pemerintah. Elaborasi nilai-nilai kenegarawanan beliau tampak dalam berbagai tindakan dan kebijaksanaan yang telah dilakukan bagi semua elemen masyarakat NTT. Sebut saja contoh kontemporer seperti kebijakan dan langkah strategisnya dalam menangani masalah pengungsi Timor Leste dan upayanya untuk mengentaskan derajat segregasi rasional yang tinggi pada masyarakat NTT adalah buah-buah keberhasilannya dalam merajut nilai kenegarawanan tulen sang tokoh bangsa yang lintas agama, lintas ras dan lintas kepentingan. Dalam masa kepemimpinannya pula kita telah mencatat dengan tinta emas, kaderisasi kepemimpinan yang sistematis, heterogen dan tidak memihak sehingga serta merta telah tumbuh dan berkembang iklim stabilitas sosial dalam merangkai tahap-tahap dalam pembangunan masyarakat NTT.
Dalam konteks inilah sebetulnya, dalam diri Bapak Piet Alexander Tallo tampaklah personifikasi yang transparan tentang seorang pribadi yang utuh, tokoh nasional yang serba bisa dan tentunya seorang hamba Allah yang mengabdikan seluruh hidup, kehidupan dan bahkan keluarganya untuk segala-galanya bagi masyarakat NTT. Karena itulah sudah sepantasnya dan seyogyanya kita boleh melepaspergikan beliau ke hadirat Allah di surga dengan seuntai kata kenangan "Bapak Piet Alexander Tallo, jasadmu boleh kembali ke tanah tetapi jiwa, semangat dan spirit yang telah bapak tunjukkan selama hidup di dunia ini biarlah menjadi kenangan yang selalu menghiasi langkah kami untuk mengingat dan mengenangmu hari kemarin, hari ini dan hari esok. Pak Piet adalah segalanya bagi kami di NTT, segalanya bagi bangsa dan negara. That's All'. *
Pos Kupang edisi Rabu, 29 April 2009 halaman 14