Semana Santa di Larantuka (2)

Oleh Syarifah Sifah

PADA hari Kamis Putih suasana sunyi-senyap. Jalan-jalan semuanya sudah ditutup. Tidak satu pun kendaraan lewat, sepeda dayung sekalipun. Suasana di Kapela Tuan Ma dan Kapela Tuan Ana tampak lengang. Armida terpasang dengan singkapan kain hitam, sangat megalitik. Sementara turo (tempat lilin) terpasang di sepanjang jalan menghiasi bibir pantai Kota Reinha.

Itu jugalah yang menjadi alasan pemerintah menunda pelaksanaan pemungutan suara untuk pemilu legislatif (pileg) di Kabupaten Flores Timur (Flotim) dan Lembata pada 14 April 2009. Penundaan itu sehubungan dengan hari Kamis Putih, peringatan perjamuan malam terakhir Yesus Kristus bersama murid-muridnya sebelum menderita sengsara dan wafat di salib.

Kamis (9/4/2009) sekitar pukul 11.00 siang, di tengah panas terik matahari membakar Kota Reinha, ratusan umat bersama anak-anak kecil berbondong-bondong menuju Kapela Tuan Ma (Bunda Maria) dan Tuan Ana (Tuhan Yesus). Mereka tak menghiraukan panasnya mentari. Hanya satu keinginan mereka, secepatnya tiba di Kapela Tuan Ma dan Tuan Ana lalu menumpahkan segala isi hati dan pikiran mereka.

Sebelum tiba di Kapela Tuan Ma, sekitar pukul 09.00 Wita, sudah dilakukan upacara Muda Tuan yaitu memudakan kembali patung Mater Dolorosa oleh para anggota konfreria (laskar Bunda Maria/perkumpulan kaum awam Reinha Rosari Larantuka yang telah disumpah). Baru pada pukul 11.00 itulah, permaisuri Raja Larantuka, Dona Martina Kanena Ximenez da Silva DVG membuka pintu Kapela Tuan Ma.

Sejak dibuka itulah, umat yang tadinya mengambil sikap duduk menunggu laksana orang bersemadi satu persatu merangkak menuju patung Tuan Ma yang diletakkan di tengah kapela. Mereka mencium telapak kakinya sesuai dengan tata aturan dalam prosesi cium Tuan Ma itu. 

Keluarga DVG atau Raja Larantuka dipersilakan pertama, diikuti lenjati Tuan Ma, Tuan Mardomu Pintu Tuan Ma, ketua suku-suku Tuan Ma, anggota konfreria dan ibu-ibu badan pemerintahan konfreria, perangkat kapela Tuan Ma dan umat peziarah. 

Suasana sangat khusuk. Para Denga Deo (abdi Tuhan) terus menyalakan lilin menerangi ruangan tempat Tuan Ma bersemayam. Yang terdengar hanya kidung-kidung pujian dan tangisan umat yang mencium kaki Tuan Ma. 

Ketika memandang Tuan Ma, kita akan menemukan bahwa patung Tuan Ma bergaya seni Timur Tengah. Patung ini indah, cantik, manis dan memesona. Balutan pakaian biru tua dihiasi manik-manik menambah pesona wajahnya. Bola matanya penuh kekuatan gaib, menyorot secara tajam menembus segala-galanya. Bibirnya tersenyum lembut keibuan. 

Keheningan malam dengan busana perkabungan, mahkota patung Tuan Ma bagaikan bidadari khayangan, anggun.
Semua tulisan yang tertera menggunakan bahasa Portugis. Portugis memberi andil besar terhadap Kota Reinha, Flores Timur. Sejarah mencatat itu. Kehadiran gereja Katolik di Pulau Timor dan Solor terjadi pada tahun 1520-an, tatkala kapal-kapal dagang Portugis tiba dari dan ke Malaka untuk perdagangan kayu cendana. Kesemapatan itu oleh saudagar-saudagar Portugis dimanfaatkan untuk memperkenalkan dan membaptis penduduk setempat menjadi Katolik.

Bangsa Portugis pertama kali membaptis Raja Larantuka, Ola Adobala, kemudian memberinya gelar Don Fransisko Ola Adobala DVG (Dias Viera de Godinho). Setelah dibaptis, Raja Larantuka kemudian menyerahkan tampuk kekuasaan Kerajaan Larantuka kepada anaknya Don Gaspar yang dikenal dengan Sira Demon yang menjadi raja pada tahun 1667. Dalam perjalanan, Don Gaspar juga dibaptis dan menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Bunda Maria yang ditandai dengan diserahkannya mahkota, tongkat dan rosario. Karena itu, Kota Larantuka kemudian menjadi Kota Reinha, kota pusat Kerajaan Katolik. 

Dari catatan sejarah diketahui bahwa seorang saudagar Portugis bernama Joao Soares telah mempermandikan 200 orang di Lewonama, sebuah kampung di ujung timur Pulau Flores, tidak terlalu jauh dari Larantuka. Kemudian seorang imam Dominikan P. Antonio da Taveria, OP sebagai pastor kapal Portugis telah mempermandikan sekitar 5.000 orang di Pulau Timor. Selain itu, ketika kapal yang ditumpanginya menyinggahi Lohayong di Pulau Solor dan Larantuka di Pulau Flores, beliau mendapati banyak orang Katolik di sana dan berkesempatan mempermandikan banyak orang.

Setelah kembali ke Malaka, Pater Antonio melaporkan hal itu kepada Uskup Malaka, Mgr. Jorge da Santa Lucia, OP dan segera uskup mengirim tiga misionaris Dominikan ke Solor. Hal ini terjdi pada tahun 1561. Oleh karenanya tahun ini ditetapkan sebagai tahun resmi awal karya misi Katolik di kawasan ini.
Ketua suku-suku Samana yang juga putra ketiga Raja Larantuka, Don Andreas Martinus DVG yang di temui disela-sela rangkaian acara cium Tuan Ma di Kapela Tuan Ma menuturkan, sejak 400 tahun silam masyarakat Kota Reinha sendiri sudah diberikan keyakinan Amotuan (tuan agung) tentang keberadaan Tuan Ma (Bunda Maria, Tuan Ana (Yesus) dan Tuan Menino (Yesus Kanak-kanak).

Ia mengakui, mencium Tuan Ma, Tuan Ana merupakan wujud pengakuan umat setelah menjalani puasa selama tujuh minggu dalam masa prapaskah. "Setiap umat mempunyai ujud masing-masing selama melakukan masa sili tapa pada masa prapaskah. Dalam masa itu, umat merenungi apa yang mereka lakukan selama setahun dan meakukan pertobatan. Di depan Tuan Ma dan Tuan Ana mereka menyampaikan segala ujud (hajat) mereka, baik ucapan syukur maupun permohonan pengampunan, juga meminta sesuatu yang diyakini akan dikabulkan lewat Tuan Ma dan Tuan Ana," kata Don.

Karena itu, peringatan Kamis Putih juga dalam rangkaian tradisi rohani Samana Santa, pekan suci yang merupakan budaya dari Portugis yang telah dilakukan 400 tahun lalu secara turun-temurun di Flotim hingga saat ini. (bersambung)

Pos Kupang edisi Sabtu, 11 April 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes