Bukan Peti Mati Terakhir


Beta mau berkata lugas saja bahwa perbudakan modern di kampung halaman kita, Flobamora, belum usai bahkan semakin menjadi-jadi.

Di penghujung tahun 2023, Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menerima kiriman peti jenazah Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari negeri seberang.

Malah tiga sekaligus di bulan Desember saat sebagian besar masyarakat di bumi tenggara NKRI ini merayakan Natal.

Mengutip laporan Pos Kupang, ketiga PMI yang meninggal di luar negeri pada Desember 2023 adalah Yohanes Baptista Baga asal Desa Beru Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka.

Lenisius Soba asal Desa Zozozea, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, dan Piter Betan alias Petrus Doni Betan asal Kelurahan Lewolere, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur.

Tahun 2023 sebanyak 151 Pekerja Migran Indonesia (PMI) nonprosedural asal Provinsi NTT meninggal dunia di luar negeri, dominan di Malaysia.

Angka kematian yang bikin merinding. Bulu kuduk berdiri. Bayangkan setiap bulan rata-rata NTT menerima 12 peti mati.

Secara statistik dalam lima tahun terakhir, jumlah kiriman peti mati dari luar negeri ke NTT memang terus menanjak.

Pos Kupang mencatat pada 2018 sebanyak 105 jenazah PMI, 119 jenazah tahun 2019, sebanyak 87 jenazah pada tahun 2020, tahun 2021 sebanyak 121 jenazah, dan 106 jenazah tahun 2022. Tahun 2023 melonjak sampai 151 jenazah.

Sejak tahun 2018 hingga 2023, NTT menerima 689 peti jenazah PMI. Jumlah yang tidak sedikit bukan?

Sebagai pembanding, Kompas.id 23 Juli 2023 mewartakan, selama tahun 2018-2022, sedikitnya 516 pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur meninggal di luar negeri.

Dari jumlah itu, 499 orang di antaranya pekerja migran ilegal karena mereka berangkat ke negara lain tanpa dokumen resmi.

Menurut Koordinator Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia, Gabriel Goa, jumlah PMI asal NTT yang meninggal di luar negeri itu dihitung berdasarkan jumlah peti jenazah yang tiba melalui Bandara internasional El Tari, Kupang.

Selain melalui Bandara El Tari, sebenarnya masih ada peti jenazah PMI asal NTT yang tiba dengan kapal laut karena keluarga mengalami kesulitan biaya memulangkan jenazah dengan pesawat terbang.

Namun, jumlah peti jenazah yang dipulangkan dengan kapal laut itu tidak terdata.

”Dari 516 orang yang meninggal itu, hanya 17 orang yang berstatus pekerja migran prosedural. Pekerja resmi ini mendapatkan santunan yang diterima ahli waris. Sementara pekerja nonprosedural tidak mendapat santunan, bahkan memulangkan peti jenazah ke NTT pun susah payah karena menyangkut biaya,” kata Gabriel, Kamis (20/7/2023).

Kisah klasik memilukan ini entah kapan bisa berakhir. Sejak puluhan tahun lalu pekerja migran asal NTT nekat ke mancanegara bermodal fisik semata.

Mereka pergi mencari sesuap nasi tanpa dokumen resmi yang menjamin keselamatan, kenyamanan dan terutama hak-hak mereka sebagai pekerja.

Pemerintahan berganti rutin di bumi Flobamora. Kepemimpinan daerah pun beralih alami tapi jarum waktu seolah tidak bergerak di sini.

Perbudakan atau istilah tren tindak pidana perdagangan orang masih terjadi dalam langgam dan rupa baru sesuai zaman.

Di luar sana satu orang PMI mati apalagi PMI itu ilegal merupakan tragedi.

Jangan-jangan kita di sini justru menganggap 151 (peti jenazah) sekadar angka tanpa makna. Bukan urusan lu (anda) dan beta.

Peti mati PMI yang terus bertambah jumlahnya saban tahun (mestinya) membuat Nusa Tenggara Timur terluka.

Terluka karena kita benar-benar tak berdaya untuk menekan apalagi memeranginya. Peti mati telah menjadi elegi harian.

Luka mengangga lebar itu mendera pemerintah dan masyarakat. Pemimpin daerah terluka, gereja terluka, perguruan tinggi juga terluka.

Aktivis LSM, civil society, kaum cerdik pandai, tokoh agama, tokoh masyarakat, kaum muda, pun insan media massa terluka.

Kita semua terluka. Anda dan saya termasuk mereka yang sedang gigih berjuang merebut kursi eksekutif dan legislatif pada 14 Februari 2024.

Angka kemiskinan ekstrem di NTT gemuk amat. Lebih dari satu juta orang tertatih-tatih untuk sekadar memenuhi kebutuhan makan dan minum sehari-hari.

Posisi kita belum bergeser dalam klasemen kemiskinan nasional. Tetap tiga besar bersama sesama saudara di Papua yang pulaunya kaya raya.

Maka yakin dan percayalah 151 itu bukan peti mati terakhir! Mungkin segera tiba yang baru di beranda Nusa Tenggara Timur. Dan, kita terluka lagi.

Siapa peduli? 

Sumber: Pos Kupang


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes