Ignas Kleden (kompas) |
Gelombang reformasi 1998 mengubah peta politik dan demokrasi bangsa Indonesia. Namun, satu hal yang hingga kini belum berubah secara signifikan adalah pendidikan.
”Pendidikan kita tidak mengajarkan orang untuk berpikir, tetapi untuk tunduk pada kekuasaan,” ucap sosiolog Ignas Kleden (68), 18 Juni 2016, di Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten.
Pendidikan yang sangat mengutamakan kontrol dan memasung kreativitas adalah warisan tradisi Orde Baru yang mengajarkan siapa pun untuk taat pada kekuasaan, bukan pada pikiran. Dalam ujian, misalnya, anak-anak disodori dengan pilihan ganda. Mereka dituntut memberikan jawaban kepada pemberi jawaban, bukan berpikir kreatif mengelaborasi sebuah pertanyaan.
Dari sisi kepraktisan, soal-soal yang menyediakan pilihan ganda lebih memudahkan guru atau dosen untuk memeriksa jawaban dan memberikan nilai. Namun, praktik seperti ini memasung kreativitas anak didik.
Praktik pendidikan yang tunduk pada kekuasaan hingga sekarang belum berubah dan belum disadari banyak kalangan sebagai sebuah masalah. Padahal, hal ini adalah ”pekerjaan rumah” besar yang harus segera diselesaikan negara.
”Di Jerman, anak tidak dilatih untuk belajar tentang sesuatu, tetapi bagaimana mempraktikkan sesuatu,” ujar lelaki yang meraih gelar master dan doktor di Jerman tersebut.
Ignas mencontohkan, ketika seorang anak belajar bahasa Inggris di Jerman, sekolah langsung mencarikan anak tersebut kawan pena dari Inggris. Beberapa kosakata yang dikuasai langsung digunakan dalam praktik mengirim surat kepada teman barunya di luar negeri.
”Ketika anak belajar renang, mereka langsung diajak ke kolam renang, bukan membaca buku tentang renang di perpustakaan. Kita belum sampai pada inti filosofi pendidikan seperti ini,” ujar Ignas.
Teori sebagai doktrin
Pendidikan yang mengajarkan agar tunduk pada kekuasaan cenderung mengarahkan seseorang untuk menerima teori sebagai doktrin, bukan sebagai instrumen. Padahal, metode dan teori mestinya dihayati sebagai alat, bukan sebagai doktrin.
”Orang yang punya martil sebagai alat cenderung mengubah segala sesuatu menjadi paku. Hal ini keliru karena alat yang kita pegang mestinya disesuaikan dengan masalah yang sedang kita hadapi,” kata Ignas.
Pendidikan kita tidak mengajarkan orang untuk berpikir, tetapi untuk tunduk pada kekuasaan.
Hal serupa terjadi dalam kehidupan beragama. Dalil-dalil agama sering dipahami sebagai doktrin semata-mata bukan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan diri. Karena itu, tidak mengherankan, ada jurang yang lebar antara tingkat pendidikan dan perilaku masyarakat. Terjadi pula konflik antarpemeluk agama karena setiap pihak menganggap ajaran agama sebagai doktrin.
”Pendidikan kita masih mendidik seseorang untuk taat pada kekuasaan, bukan untuk taat pada akal sehatnya. Ini proyek besar yang harus segera diselesaikan bersama. Pendidikan hanya bisa berubah kalau kita membenahi infrastrukturnya. Pertama, gaji pengajar harus mencukupi karena peran mereka sangat penting untuk membangun kebudayaan dan politik yang benar. Kedua, pendidikan harus menjadi isu politik yang sentral, bukan sekadar persoalan teknis semata,” tuturnya.
Dari filsafat ke sosiologi
Refleksi Ignas tentang pendidikan merupakan buah dari studi panjangnya di Jerman.
Lima tahun setelah keluar dari pendidikan calon imam Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero, Maumere, Nusa Tenggara Timur, Ignas mengambil master filsafat di Hochschule für Philosophie München pada 1979-1982.
Kemudian, antara tahun 1989 dan 1995, Ignas melanjutkan studi doktoral bidang sosiologi di Universitas Bielefeld, Jerman.
Ignas merasa sangat beruntung pada 1979 mendapat kesempatan belajar di Jerman melalui beasiswa Katholischer Akademischer Ausländer-Dienst (KAAD). Sejak awal, ia memang ingin belajar pendidikan ilmu sosial di negara tersebut.
”Untuk menyiapkan tesis, saya menulis selama enam bulan. Berbeda dengan ujian di Indonesia, pengajar di Jerman menguji apa yang mahasiswa ketahui. Jadi, kami betul-betul mendalami apa yang kami pelajari. (Pengalaman) ini benar-benar pencerahan buat saya,” kata Ignas.
Pada tahun 1981, Ignas menyelesaikan pendidikan S-2 filsafat. Awal 1982, ia pulang ke Indonesia dan bekerja di redaksi majalah Prisma yang dipimpin Daniel Dhakidae sembari menunggu istrinya menyelesaikan studi doktoral. Bertepatan dengan peristiwa runtuhnya Tembok Berlin, November 1989, Ignas kembali ke Jerman memulai studi doktoralnya di Universitas Bielefeld.
Pergolakan sosial
Sebelum belajar di Jerman, Ignas mengalami pergolakan peralihan Orde Lama ke Orde Baru. Pada waktu yang hampir bersamaan, Gereja Katolik mengalami perubahan radikal seiring digelarnya Konsili Vatikan II (1962-1965).
”Kelas kami mengalami peristiwa-peristiwa pergolakan itu. Saya kemudian ragu dan keluar dari pendidikan calon imam,” ungkapnya.
Begitu keluar dari seminari tahun 1974, Ignas langsung merantau ke Jakarta. Berbekal pengalaman menulis di beberapa majalah, seperti Horison, Budaya Jaya, dan Basis, Ignas mantap hijrah ke Ibu Kota.
Sesampai di Jakarta, Ignas bekerja di kantor Konferensi Waligereja Indonesia pada bagian dokumentasi. Ia kemudian pindah bekerja ke Yayasan Obor Indonesia yang dipimpin Mochtar Lubis. Di sana, Ignas dipercaya sebagai editor penerjemahan buku.
Di Yayasan Obor Indonesia, Ignas ditawari Selo Sumardjan untuk bekerja di Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Dari sini pula ia mulai tertarik untuk menekuni ilmu sosial.
Yayasan Ilmu-ilmu Sosial fokus pada tiga program utama. Pertama, latihan penelitian lapangan di empat daerah, yaitu Aceh, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Kedua, mengirimkan para peserta latihan terbaik untuk studi program master dan S-3 ke luar negeri. Ketiga, menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku klasik ilmu sosial.
Tawaran kerja dari Selo Sumardjan akhirnya diterima Ignas. Ia mendapat tugas menjalankan program ketiga pada penerjemahan dan penerbitan buku-buku klasik ilmu sosial.
Pada kurun 1976-1979, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial sangat aktif menjalankan program-programnya. Waktu itu, yayasan ini mendapatkan anggaran besar dari Asia Foundation. ”Setiap hari Rabu, di Yayasan Ilmu-ilmu Sosial saya selalu menyimak diskusi dari para tokoh besar sosiologi, seperti Selo Sumardjan, Soedjatmoko, dan Harsja Bachtiar,” ujarnya.
Dalam berbagai diskusi, para sosiolog itu memberikan penilaian terhadap para peserta pelatihan penelitian lapangan. Mereka juga memberikan rekomendasi kepada para lulusan pelatihan yang memenuhi syarat untuk melanjutkan studi ke luar negeri serta membahas buku-buku sosiologi yang akan diterjemahkan dan dibukukan.
Pada waktu itu, peminat pelatihan penelitian lapangan sangat tinggi. Penelitian ini memang menarik karena Clifford Geertz saat itu didatangkan ke Indonesia guna membantu memperkuat pengamatan empiris di lapangan yang dirasa masih kurang.
Ignas selalu mendengarkan diskusi-diskusi hebat para sosiolog. Hanya saja, dia gelisah karena pembicaraannya tidak pernah membahas nilai-nilai di dalam ilmu sosial. Karena itu, dalam disertasi, ia kemudian mengevaluasi seluruh penelitian Clifford Geertz tentang Indonesia, mulai dari pertanian, perdagangan, perkotaan, aliran politik, hingga agama.
(Artikel di atas pernah terbit di harian Kompas, 27 Juni 2016, sehari sebelum Ignas Kleden menerima Penghargaan Cendekiawan Berdedikasi 2016 dari harian Kompas)
Pada hari ini, Senin (22/1/2024), pukul 03.46 WIB, Ignas mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Suyoto, Jakarta Selatan, setelah sekian lama menderita sakit. Saat ini, jenazah Ignas disemayamkan di Rumah Duka St Carolus, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat. Mewakili keluarga, Bona Beding menyampaikan bahwa misa requiem dan pemakaman Ignas Kleden akan diinformasikan kemudian.
RIP... Ignas Kleden... meski jasadmu pergi, pemikiranmu akan tetap abadi....
Sumber: Kompas.id