DALAM hitungan detik ratusan juta uang milik sembilan nasabah BCA di Bali raib. Uang itu ditarik manusia siluman dari sejumlah lokasi Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dalam waktu hampir sama. Siapa yang tidak panik?
Kehebohan tak sebatas Bali. Pergerakan manusia siluman sangat cepat, serentak dan melintasi benua. Dalam tempo 48 jam, tercatat 200 nasabah BCA menjadi korban pencurian dengan total uang sekitar Rp 5 miliar, nasabah BNI 19 orang dengan kerugian sekitar Rp 200 juta dan 3 nasabah BRI dengan kerugian Rp 48,5 juta. Lokasi penarik duit mulai dari Denpasar, Jakarta hingga Makassar. Dari Moskow sampai Toronto. Waw!
Masuk akal bila orang lantas berkesimpulan bahwa pembobolan uang nasabah tersebut merupakan hasil kerja suatu jaringan menggunakan teknologi tinggi. Teknologi yang belum sempat diantisipasi manajemen bank sebelumnya. Laporan media massa yang mengutip para pakar menguatkan kesimpulan tersebut.
"Kartu kredit bobol. ATM pun sama. Kalau begini jadinya kita sebaiknya kembali ke cara lama. Simpan saja uang di bawah kasur dan bantal," tulis seorang teman facebookers dalam statusnya. Teman lain menimpali, "Pada akhirnya, satu-satunya tempat paling aman menyimpan uang adalah di balik kutang ibunda tersayang."
Tentu tak pernah ada tempat yang paling aman menyimpan uang. Sistem apapun punya kekurangan. Toh berpulang kepada manusia. Jika ada niat dan kesempatan tembok tebal pun bisa jebol.
Bobolnya anjungan tunai mandiri BCA sekadar menjelaskan, betapa pencuri selalu cerdik memanfaatkan setiap kelemahan. Otak mereka lebih keras berpikir soal cara membongkar sistem teknologi pengamanan ATM yang dianggap paling canggih sekalipun.
***
TEKNOLOGI anjungan tunai mandiri (ATM) yang telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia sungguh memanjakan nasabah bank. Kapan dan di manapun seseorang dapat mengambil uang tunai sesuai kebutuhannya.
Popularitas ATM rupanya menular ke lapangan hidup yang lain. Di wilayah hukum dan kriminal, misalnya, sejak lama orang mengenal istilah ATM. Tentu bukan hal baru bagi tuan dan puan apalagi bagi mereka yang pernah mengalami sendiri.
Seseorang atau sekelompok orang yang terkena kasus hukum kerap dijadikan "kartu ATM" oleh oknum penegak hukum yang haus duit.
Kasusmu menjadi semacam "mesin uang" yang kapan saja bisa diambil sesuka hati, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, pemberkasan BAP, penuntutan hingga ruang sidang lembaga peradilan yang mulia. Semua tahapan itu berpeluang sebagai "kartu ATM" untuk oknum tertentu.
Modus BAP bolak-balik, BAP jalan di tempat sampai berulang tahun atau tiba-tiba hilang lalu dinyatakan SP3 patut diduga bermotif "ATM" tadi. Uang bisa menjadi candu kehidupan. Beberapa korban pernah bercerita, ketika tabungan mereka di bank menipis, si pengurus kasus memberi saran dan usul. Jual rumah, jual mobil atau jual tanah. Jual mobil kepadanya dengan harga murah meriah. Atau jual rumah dan tanah dengan harga jauh di bawah standar pasar.
"Praktik ATM itu benar. Daripada uangmu habis, lebih baik jalani saja proses hukum. Lakukan perlawanan hukum dengan akal sehat. Kalau Anda beri uang kepada penyidik, pengacara atau hakim, uang Anda bakal habis dan tidak ada jaminan Anda bebas dari jeratan hukum," kata seorang teman yang berprofesi sebagai hakim.
Dalam kasus sel mewah bak kamar hotel berbintang lima yang dinikmati Artalyta Suryani alias Ayin di Rutan Pondok Bambu-Jakarta, sulit menampik kemungkinan praktik "kartu ATM" bagi petugas rumah tahanan. Di republik pelupa ini orang tidak malu mengumpulkan uang dengan cara-cara menjijikkan.
Dunia pendidikan kita pun tidak luput dari praktik "kartu ATM". Sejumlah sekolah, terutama sekolah favorit atau unggulan dengan cara halus menjadikan orangtua/wali murid sebagai "tambang uang". Demi masa depan anak, orangtua manapun rela mematuhi permintaan sekolah. Sebagai contoh, sekolah swasta unggulan di Pulau Jawa sudah membuka pendaftaran murid baru tahun ajaran 2010 jauh-jauh hari yakni sejak bulan Oktober dan November 2009.
Jangan dulu bicara uang muka atau uang pembangunan. Biaya formulir pendaftaran saja sudah bikin merinding. Sekolah mematok angka mulai dari terendah Rp 70.000 hingga Rp 210.000. Mahal betul formulir itu. Kira-kira terbuat dari bahan apa? Toh isi formulir bukan jaminan anak tuan lolos seleksi. Cukup sering sekolah tidak manusiawi. Adakah praktik itu di beranda Flobamora? Silakan tuan dan puan telusuri sendiri. Sulit mengatakan tak mungkin!
Lebih sadis "kartu ATM" yang satu ini, yakni perdagangan perempuan dan anak. Tahun 2009 tercatat 3.222 manusia Indonesia yang jadi korban perdagangan manusia (trafficking). Menyedihkan sebab dari jumlah ribuan itu, 219 orang adalah anak-anak Flobamora (baca Kompas, 18 Januari 2010 hal 1). Dari sisi gender sungguh mengerikan, yakni 2.873 adalah perempuan. Dari sisi kelompok umur tercatat bayi 5 orang, anak-anak 808 orang dan orang dewasa 2.409 orang. Motif perbudakan modern itu adalah uang dengan manusia sebagai komoditas.
"Bung lupa, masih ada satu jenis ATM lagi. Namanya SPPD. Tapi ini ATM yang sah dan halal karena ketentuannya memang demikian. Itu hak kami pegawai negara yang pakai lambang Garuda," kata seorang teman pamogpraja di Kupang. Oh ya? Beta tak sungguh percaya karena teman ini doyan bercanda.
"Sifat SPPD fleksibel banget," tambah kawan itu. Sekali perjalanan dinas luar seorang pegawai negara (apalagi pejabat eselon kelas kakap) bisa kantongi dua atau tiga SPPD, disesuaikan dengan urusan masing-masing. Lazimnya satu SPPD berlaku untuk empat-lima hari. Untuk satu urusan yang cuma habiskan waktu dua hari, misalnya, seorang pegawai tetap dapat jatah biaya SPPD empat atau lima hari yang telah dialokasikan. "Artinya kami bisa berhemat to? Lebihnya buat saving. Pokoknya SPPD kami tidak boleh diutak-atik," kata kawanku itu.
Wah, benar juga ya? Sontak teringat kabar terbaru tentang adanya `perang terbuka' antara legislatif dan eksekutif di beranda Flobamora gara-gara SPPD. "ATM" terganggu siapa pun pasti marah, bukan? Juga rumor tentang pejabat tertentu yang setiap akhir pekan terbang ke Surabaya, Yogyakarta, Medan atau Jakarta. Dia lebih lama melakukan perjalanan dinas sampai bawahan bingung bila hendak berkonsultasi untuk suatu urusan. Kira-kira berapa SPPD yang dia habiskan sebulan? Husss...jangan sirik, itu haknya. Ya, sudah! (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang edisi Senin, 25 Januari 2010 halaman 1