Matahari


TUGAS paling berat bagi kami sekarang adalah mencari matahari. Tutur seorang petani asal Mangulewa, Kabupaten Ngada, NTT medio pekan lalu. Mencari matahari, ah mana mungkin? Bukankah matahari tak perlu dicari karena salah satu tanda kemahakuasaan Tuhan itu selalu datang secara alamiah setiap hari hingga kita mengenal siang dan malam?

Tapi begitulah yang sedang terjadi di sejumlah tempat di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) belakangan ini termasuk di wilayah Mangulewa. Hampir sepanjang tahun 2010 matahari merupakan kemewahan bagi petani Mangulewa, Mataloko dan sekitarnya. Meskipun dataran tinggi di Ngada itu selalu berkabut tetapi pada bulan Juni, Juli hingga Oktober biasanya selalu diterangi sinar matahari yang cukup. "Nah tahun ini hanya ada hujan sepanjang waktu. Jadi repot sekali," kata Gerardus, nama petani tersebut.


Gerardus dan para petani lainnya di sana membutuhkan sumber energi matahari untuk mengeringkan kopi, vanili, kakao dan cengkeh. Hujan yang terus mengguyur hingga bulan Juli sekarang membuat hasil komoditi perkebunan mereka membusuk. Maka satu-satunya jalan adalah mencari sinar matahari pada sejumlah lokasi di Ngada yang curah hujannya tidak setinggi dan sesering Mangulewa. "Masih untung hujan tidak merata di seluruh Ngada. Kawasan pesisir pantai lebih sering panas daripada hujan," ujarnya.


Untuk menjemur kopi, vanili dan cengkeh, Gerardus dan petani lainnya memilih lokasi terdekat yaitu Maumbawa - sekitar 20-an km selatan Mangulewa. Maumbawa terletak di pantai selatan Pulau Flores. Hujan tidak setiap hari turun di wilayah pesisir tersebut sehingga memungkinkan Gerardus mengeringkan hasil kebunnya.

Menurut Gerardus, mencari matahari sungguh merepotkan, makan ongkos, peras keringat dan butuh kesabaran tinggi. Para petani mesti mengeluarkan biaya ekstra untuk ongkos transport pulang-pergi. Mereka harus tinggal di Maumbawa selama beberapa hari menunggu sampai hasil kebunnya benar-benar kering dan siap dijual kepada pedagang pengumpul komoditi.

"Kita juga harus sabar karena saat tiba di Maumbawa tiba-tiba hujan turun di sana. Sekarang sudah tidak jelas lagi kapan musim panas, kapan musim hujan," katanya.

Kiranya pengalaman Gerardus dialami pula petani lainnya di beranda Flobamora yang kondisinya sama seperti di Mangulewa. Merekalah kelompok masyarakat yang sangat menderita akibat dampak anomali iklim. Air hujan dan sinar matahari yang datang tak menentu merusak hasil kebun yang merupakan sumber utama kehidupan para petani.

Kerinduan para petani di NTT saat ini adalah hujan dan matahari hadir seperti dulu. Dalam kondisi normal, hujan selama tiga hingga empat bulan cukup bagi mereka mengatur pola tanam. Anomali iklim justru membingungkan karena hujan dan panas tidak menentu. Petani mengira musim hujan telah tiba. Mendadak hujan berhenti ketika mereka telanjur menanam. Gagal panen akibat kegilaan iklim telah menjadi warta biasa selama beberapa tahun terakhir.

Tahun 2010 hujan cenderung over dosis. Tuan dan puan tentu telah merasakannya. Kota Kupang, misalnya, di bulan Juli biasanya terpanggang terik matahari. Kini meski tidak rutin setiap hari, hujan masih saja membasahi bumi karang Kupang.
Tidak mesti menjadi ahli pertanian untuk mengerti bahwa hujan dalam skala over dosis merupakan bencana bagi petani.

Tanaman palawija tidak bakal tumbuh sehat dan menghasilkan panen berlimpah jika hujan tiada henti turun dari langit.
Petani Rote Ndao dan Eban kini menjerit karena panenan bawang putih dan bawang merah menurun drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jeritan petani Rote Ndao dan Eban dirasakan para ibu rumah tangga yang harus mengeluarkan dana lebih untuk mendapatkan bawang merah dan putih.

Bayangkan saja harga bawang di pasar Kota Kupang yang biasanya Rp 7.500 per kg kini melonjak hingga Rp 30.000 sampai 40.000 per kg. Meniadakan bawang sebagai bumbu dapur tidaklah mungkin. Masakan tanpa bawang sama seperti makan tanpa garam, cabe, lombok dan jenis bumbu lainnya.

Jangan lupa, pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim tidak hanya berdampak pada bidang pertanian, perkebunan dan kelautan. Secara tidak langsung anomali iklim berdampak pada kesehatan manusia. Kasus penyakit menular cenderung meningkat hari-hari ini. Demikian pula dengan penyakit infeksi, noninfeksi dan malnutrisi. Salah satu jenis penyakit infeksi yang berpotensi meningkat adalah demam berdarah dengue (DBD). Hujan meningkat, genangan air berlimpah di banyak tempat. Di situlah sarang nyamuk aedes aegypti. Makin banyak sarang semakin banyak jentik nyamuk. Untuk hidup nyamuk perlu darah manusia. Maka ramai- ramailah mereka menyerang tubuh kita. Mengerikan!

Beberapa fakta di atas menegaskan betapa pemanasan global bukan isu bualan atau kampanye tanpa tujuan. Kerusakan lingkungan akibat keserakahan manusia telah mengorbankan manusia sendiri. Bagi putra-putri NTT yang kini getol mengeruk rahim bumi guna menambang mangan dan lain-lain, silahkan saja. Lanjutkan kerakusan demi uang semata! Toh dampaknya kita sendiri yang menikmati. Seperti menggali kuburan sendiri. Kalau bukan kita, pastilah anak cucu kelak.

Oh ya, mungkin gara-gara anomali iklim pejabat kita bicara tanpa pikir baru-baru ini. Harga cabe mahal, pejabat berwenang sarankan masyarakat berhenti konsumsi cabe. Kalau pakai logika ini, TDL (Tarif Dasar Listrik) naik berarti rakyat tidak usah pakai listrik. Harga beras naik tidak perlu lagi makan nasi.

Seorang kawan dalam status di akun facebooknya menyentil marah. Misalkan harga baju, celana dalam, celana luar, beha dan lain-lain naik semua, berarti rakyat tidak perlu lagi pakai busana. Telanjang bulat? Aih...keterlaluan, kawan!

Begitulah tuan dan puan. Anomali iklim rupanya tak sekejam anomali perhatian dan kepedulian dari mereka yang mendapat mandat rakyat untuk bertanggung jawab. Jenis anomali yang satu ini kerap terjadi di depan mata. (dionbata@gmail.com)

Pos Kupang Senin, 26 Juli 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes