ilustrasi |
MODUS operandi trafficking (perdagangan manusia) di negeri ini belum banyak berubah. Pola kerja sindikat itu masih sama dan sebangun sejak satu dasawarsa lalu. Simpel tetapi terus memakan korban. Para pelaku lazimnya pergi ke pelosok kampung, memberi tawaran kerja di luar daerah atau mancanegara dengan gaji tinggi kepada remaja putus sekolah dari keluarga tak mampu.
Tuntutan ekonomi membuat banyak remaja tergiur. Mereka bergegas meninggalkan kampung halaman. Mengikuti orang yang mengajak. Sejak saat itu sesungguhnya remaja kampung sudah berada dalam kontrol penuh sindikat yang sesuka hati mulai mencabik-cabik masa depannya.
Kisah pilu itu sudah berulang dan kali ini menimpa dua anak baru gede (ABG) asal Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Dua gadis berusia 14 tahun, Rachel Apriska Ngaloh dan Meryl Tondatuon yang rencananya dikirim bekerja di Singapura dan Malaysia malah disekap selama sebulan di Batam. Tepatnya di RT 2 RW 12 Blok F Nomor 66, Sengkuang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Untung keduanya punya nyali cukup besar. Rachel dan Meryl berhasil meloloskan diri dari lokasi penyekapan di rumah penampungan, Selasa (20/3) sekitar pukul 08.00 WIB. Kini mereka dalam pengawasan pihak berwenang dan sedang diupayakan pemulangan ke Sulut antara lain berkat bantuan keluarga Kawanua di Kota Batam. Kita bersyukur kedua remaja tersebut masih bisa diselamatkan sebelum 'diperjualbelikan' sindikat trafficking lebih jauh.
Kejadian yang menimpa Rachel dan Meryl hendaknya menjadi perhatian pemerintah dan semua stakeholder terkait di Sulut agar tidak tidak terjadi lagi korban baru. Sulut mestinya tidak boleh menganggap remeh praktik trafficking.
Berdasarkan data International Organization for Migration (IOM) tahun 2010, Sulawesi Utara masih termasuk sepuluh besar provinsi di Indonesia yang menjadi lumbung trafficking. Sulut masuk kelompok itu bersama Sumatera Utara, Lampung, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat , Kalimantan Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Korban trafficking dari daerah itu umumnya dijadikan pekerja seks komersial, penghibur bayaran bahkan paling buruk justru sekadar menjadi pemuas nafsu majikan mereka.
Data IOM juga menyebutkan, negara-negara di Asia tenggara yang menjadi tujuan trafficking antara lain Singapura, Malaysia, Brunei, Filipina dan Thailand.Tujuan lainnya kawasan timur tengah seperti Arab Saudi dan Iran serta negara Asia Timur semisal Taiwan, Hong Kong, Jepang dan Korea Selatan. Dengan iming-iming pekerjaan dan gaji besar, perempuan dan anak-anak Indonesia dibawa dengan cara ilegal atau tanpa surat-surat resmi.
Pengalaman dua perempuan muda Sulut, Rachel dan Meryl merupakan salah satu contoh. Lemahnya perhatian pemerintah serta pengawasan dari otoritas berwenang memudahkan pelaku trafficking beroperasi dengan leluasa dan gampang lolos dari sergapan.
Bagaimana Sulut merespons penyekapan terhadap Rachel-Meryl guna menekan kasus trafficking? Tentu saja diperlukan agenda lokal yang konkret. Salah satu yang bisa dikerjakan adalah memetakan potensi lumbung trafficking di Sulut. Perlu disurvei, sesungguhnya daerah mana di provinsi ini yang paling banyak menjadi korban trafficking. Cari tahu sebab musababnya. Apakah semata karena kemiskinan atau ada faktor lain?
Dengan mengetahui wilayah rawan trafficking di Sulut, niscaya solusi akan lebih mudah diterapkan. Perdagangan manusia adalah bentuk modern dari perbudakan yang seharusnya tidak boleh ada lagi di muka bumi karena sungguh merendahkan martabat manusia. Itulah harapan kita. (*)
Tribun Manado, Jumat 23 Maret 2012 hal 10