Netralitas Tentara Nasional Indonesia

ilustrasi
SEJAK  pekan lalu isu tentang oknum  bintara pembina desa (babinsa) masuk keluar rumah penduduk mengarahkan mereka untuk memilih calon presiden (capres) tertentu  pada pilpres tahun 2014 semakin menghangat.

Para pihak yang diduga menggunakan peran babinsa tersebut, baik dari kubu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa maupun Joko Widodo-Jusuf Kalla secara resmi sudah menampik keterlibatan mereka. Kubu Prabowo menegaskan, mereka tidak akan menempuh langkah seperti itu karena merusak citra Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan antidemokrasi. Bantahan serupa pun disuarakan kubu Joko Widodo.

Namun demikian, tetap saja isu tersebut bergulir deras hingga hari-hari ini. Dalam konteks politik  pemilihan umum (pemilu), penggelindingan isu semacam itu hendaknya dimengerti sebagai 'perang' opini meraih simpati masyarakat pemilih.

Pada masa kampanye Pilpres saat ini,  dua kubu pasangan capres-cawapres RI niscaya akan terus menggulirkan isu-isu krusial untuk mengganggu lawan politik sekaligus memperkuat posisinya sendiri. Konstituen yang sudah melek politik akan memposisikan isu babinsa tersebut sebagai warna-warni Pilpres 2014. Pemilih cerdas tak akan banyak terpengaruh. Mereka sudah tahu siapa yang bermain dengan semangat fair play dan siapa yang justru menggunakan cara-cara sebaliknya.

Menurut pandangan kita, kasus babinsa menarik perhatian publik karena berkenaan dengan diskursus soal  netralitas Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI (Pilpres) tahun 2014.  Walaupun kita sudah menjalani era reformasi selama belasan tahun tetapi 'trauma' terhadap dwi fungsi TNI dalam jagat sosial politik negeri ini belum sepenuhnya pulih.  Peran TNI yang cukup dominan pada rezim Orde Baru sangat diharapkan tidak terjadi lagi.

Kendati belum ideal, secara institusional reformasi di tubuh TNI telah berlangsung dengat sangat bagus. Spirit reformasi tersebut tidak boleh dikotori oleh ulah oknum tertentu yang berusaha menyeret TNI terlibat dalam politik praktis. Politik kekuasaan yang berpotensi memecah-belah masyarakat.

Sesuai amanat konstitusi, TNI harus menjaga netralitasnya dalam pemilu. TNI harus berdiri di tengah, merangkul dan mengayomi semua pihak yang berkompetisi dalam pemilu. Sikap TNI bukan memihak si A sambil berusaha menolak si B.
Kita sependapat dengan peringatan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku panglima TNI ketika bertatap muka dengan ratusan perwira TNI pekan lalu.

Presiden kala itu sempat mengungkapkan kekecewaannya karena ada indikasi jenderal TNI aktif mengajak atau mengimbau terkait dukungan saat Pilpres. Kiranya tindakan seperti itu tidak terulang. Bangsa ini amat mencintai TNI yang profesional. Jangan sampai TNI terjebak pada kepentingan politis sesaat. Semoga! *

Sumber: Pos Kupang 11 Juni 2014 hal 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes