ilustrasi |
Sebanyak 12 peserta yang tidak mendapat kamar tidur meminta tambahan kasur dari panitia. Kasus itu mereka bentangkan di lantai ruang tengah gedung Nusa Lontar II yang diubah menjadi ruang tidur. Peserta Diklat yang mendapatkan kamar tidur pun tidak merasa nyaman karena selain kondisi WC tersumbat, sejumlah pintu kamar, pintu WC dan lemari rusak, sehingga tidak bisa dikunci.
Ada lagi kamar tidur yang kaca jendelanya pecah sehingga peserta berinisiatif sendiri mencari tripleks, memotong lalu menutupi lubang jendela itu. Kamar Diklat itu berukuran 3x3 meter persegi, dengan dua tempat tidur dan satu kasur yang diletakkan di lantai di antara dua tempat tidur. Seprei yang dipakai umumnya berwarna kecoklatan.
Di salah satu kamar, dua kasur berselimutkan seprei baru bermotif warna coklat dan merah. Seprei itu ternyata dibeli sendiri peserta Diklat Pim 4. Setiap kamar memiliki satu lemari kayu yang beberapa di antaranya alami kerusakan kunci.
Ketua Kelas Pim IV Angkatan VI, Ibrahim Isreng, SPi menjelaskan, peserta Diklat 40 orang dan sudah mengikuti pelatihan sejak 19 Agustus 2015. Pada 3 September 2015, mereka pulang ke daerah asal untuk menyusun program perubahan dan masuk kembali 9 September 2015. Saat datang kembali itu, 12 peserta tidak dapat kamar karena kamar sudah ditempati peserta Diklat angkatan yang baru.
Kepala Badan Diklat Provinsi NTT, Klemens Meba yang dikonfirmasi di ruang kerjanya, Kamis (10/9/2015), menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh peserta Diklat atas ketidaknyamanan itu. Didampingi Domi Taek dari panitia, Meba mengatakan, Badan Diklat NTT baru memiliki 40 kamar. Jika satu kamar ditempati tiga orang, maka total daya tampung 120 orang. Namun saat ini, peserta sudah melebihi kapasitas yaitu 160 orang, sehingga 40 peserta tidak mendapat pelayanan yang baik.
Meba menyesalkan sikap panitia yang tidak mengatur jadwal Diklat peserta sesuai ketersediaan sarana di sana. Peserta angkatan VI sebanyak 80 orang (40 orang Pim 3 dan 40 orang Pim 4) dan Diklat angkatan VII peserta 80 orang. Mengenai sarana prasanara yang tidak memadai, Meba mengakui. Usia gedung Diklat NTT hampir 12 tahun. Meskipun ada dana pemeliharaan rutin, tapi hal itu belum mengatasi kerusakan. "Atas kekurangan dan ketidaknyaman para peserta Pim, saya minta maaf. Itu kekurangan kami, tolong dimaklumi. Kami benahi secepatnya," kata Meba.
Kita beri apresiasi untuk peserta Diklat Pim 4 yang berani mengungkap ketidaknyaman ini. Apresiasi yang sama juga kita berikan untuk Klemens Meba yang dengan ksatria mengakui kekurangan sekaligus memohon maaf kepada peserta. Tentu saja tidak berakhir di sini. Pembenahan menyeluruh mesti segera dilakukan agar Badan Diklat Provinsi NTT sungguh menjadi tempat yang nyaman untuk mendidik para calon pemimpin unit atau SKPD di lingkungan pemerintah daerah.
Menurut catatan kita, Badan Diklat Provinsi NTT itu pernah menjadi tempat yang menyenangkan hingga dipercaya menyelenggarakan Diklat Pim level regional. Para peserta berasal dari sejumlah provinsi di Indonesia. Indah nian kalau 'prestasi' masa lalu itu terulang bahkan lebih cemerlang lagi di hari-hari mendatang. **
Sumber: Pos Kupang 12 September 2015 hal 4