Selama era reformasi ini, kegaduhan paling riuh selalu melibatkan dua aktor utama yakni kelompok eksekutif (pemerintah) di satu kubu berhadapan dengan kubu legislatif (DPR/DPRD). Bahan-bahan yang mereka racik guna memicu kegaduhan pun beragam mulai dari hal remeh-temeh hingga sesuatu yang sangat penting menyangkut hajat hidup orang banyak.
Cukup sering kita menyaksikan perkara yang menjadi sumber keributan para aktor politik tersebut sesungguhnya bukan hal yang luar biasa. Tetapi di mulut, sikap dan aksi para politisi urusan sepele terkesan seolah-olah super rumit hingga memerlukan diskusi panjang dan alot guna menemukan solusi yang tepat.
Bahkan dalam banyak kasus kita menyaksikan para elit politik dengan sengaja membiarkan masalah berlarut-larut sehingga energi dan waktu nyaris tersedot habis ke sana. Mereka mengabaikan hal yang lebih penting untuk diurus yaitu melayani serta memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pertikaian tidak hanya monopoli eksekutif versus legislatif. Di panggung politik Indonesia kegaduhan juga berlangsung di kalangan legislatif sendiri. Pertarungan di sana melibatkan utusan fraksi yang berkoalisi. Misalnya Koalisi A melawan B. Mereka saling menghujat atau menuding. Mengklaim diri sebagai yang benar sambil menyalahkan yang lain.
Pengalaman menunjukkan, dampak dari kegaduhan semacam ini selalu kontraproduktif. Sebut misalnya penetapan APBD tidak tepat waktu, lemahnya pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan dan pembangunan serta tidak bergulirnya program pembangunan daerah.
Ada banyak contoh pola kegaduhan seperti itu. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) kegaduhan yang kontraproduktif kerap terjadi. Masyarakat NTT kiranya tahu daerah mana saja yang elit politiknya tidak rukun. Yang menonjol dari perilaku mereka adalah saling menghujat, menjegal dan menghambat.
Hari-hari ini kita mendengar kabar dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Ada fraksi di DPRD setempat berniat mengajukan hak interpelasi terhadap Bupati TTS. Rencana tersebut ditentang empat fraksi lainnya. Jadilah dua kubu berbeda pendapat dan beda sikapnya.
Dalam alam demokrasi perbedaan merupakan hal yang wajar. Demokrasi akan semakin matang jika kita bisa menerima perbedaan. Namun, yang kita khawatirkan adalah perbedaan tersebut jangan sampai menimbulkan kegaduhan politik yang hanya menghabiskan energi positif. Sekarang ini yang sangat dibutuhkan rakyat TTS adalah membantu mereka agar tidak makin terpuruk akibat dampak kekeringan di daerah tersebut. Maka berhentilah memicu polemik yang tidak perlu. Kalau dapat diselesaikan secara elegan, mengapa tidak menempuh langkah itu? *
Sumber: Pos Kupang 6 Agustus 2015 halaman 4