Tradisi Matita di Timor Tengah Utara |
Sebelum jenazah dimakamkan pada 7 September 2015 itu, semua anggota keluarga inti berada di dalam rumah. Di dalam sana Atoin Amaf masih menghitung pakaian dan sarung adat yang diantar para pelayat atau rakyat sebagai pemberian terakhir dari keluarga dan masyarakat kepada Gasper Bana almarhum.
Pakaian dan sarung lalu disusun rapi rapi di kaki peti jenazah. Ada harta yang disimpan di dalam peti. Jumlah sarung di sisi kaki kiri dan kaki kanan jenazah Gasper Bana harus sama. Peti pun diangkat. Tak berselang lama tempurung kelapa dipecahkan. Suara tangis keluarga dan kerabat yang duduk mengelilingi peti jenazah sontak pecah di ruangan berukuran 5x6 meter persegi itu.
Tangisan memecahkan keheningan. Bagian depan pintu rumah duka sudah dipadati warga yang ingin mengangkat dan menggoyang-goyang peti jenazah. Ada sebuah tempurung kelapa yang disiapkan untuk dipecahkan oleh salah seorang Atoin Amaf. Setelah peti jenazah diangkat dan hendak diarak keluar, tempurung kelapa dipecahkan.
Di depan jalan masyarakat tumpah ruah. Ada yang tertawa, dan ada yang seperti ingin melakukan sesuatu. Entah apa. Tak banyak bicara, sejumlah warga menuju peti jenazah yang dipikul.
Beberapa warga menyerbu peti jenazah, terjadi saling dorong, dan mereka menggoyang peti jenazah. Ada yang memakai daun dan memukul-mukul peti jenazah tersebut. Meski demikian, peti tetap dipegang erat sehingga tidak jatuh. "Ini masih kurang, kadang ada yang naik dan duduk di atas peti dan menggoyang-goyangkan peti," kata seorang warga.
Putra sulung almarhum yang dianggap sebagai pengganti almarhum, berjalan di depan peti jenazah yang diarak dan digoyang-goyang. Dia mengenakan pakaian adat lengkap. Jarak rumah duka ke tempat pemakaman sekitar 400 meter.
Saat diserbu dan digoyang-goyangkan peti jenazah nyaris jatuh. Untung ditahan sekuat tenaga oleh mereka yang memikul peti. Prosesi itu berjalan lancar. Saat pulang dari tempat pemakaman, sebelum memasuki rumah duka, para pengusung peti jenazah satu per satu diperciki Oe Maniki atau air berkat. Mereka diperciki air agar aura negatif saat mengarak peti jenazah dibersihkan sehingga masuk rumah dengan nyaman. Setelah diperciki air berkat barulah disuguh minuman dan makanan.
Demikian tradisi matita (menggoyang) peti jenazah di wilayah Bikomi, Kabupaten TTU. Ada dua poin penting dalam tradisi menggoyang peti jenazah, yakni kepercayaan dan adat istiadat. Tradisi menggoyang peti jenazah ini berlaku di wilayah Bikomi yang terdiri dari Bikomi Utara, Bikomi Tengah, Bikomi Nilulat, Bikomi Selatan dan di sekitar Kota Kefamenanu.
Tradisi matita dilakukan hanya untuk keturunan bangsawan atau keturunan raja, baik ianak-anak maupun orang dewasa untuk suku Ato-Bana dan Lake-Sanak yang mempunyai hubungan kekerabatan erat sebagai empat suku utama penguasa di wilayah Bikomi.
Kepada Pos Kupang, Rabu (23/9/2015), tokoh adat yang juga penjaga rumah adat Us Bana, Agustinus Bana, Bendiktus Sanak, Baltasar Sanak, dan Hironimus Sanak, mengatakan, sejak dahulu kala jenazah keturunan raja harus dipikul keluarga dan masyarakat hingga liang lahat. Menurutnya, saling dorong dan menggoyang peti jenazah merupakan wujud gotong- royong. Meski berat dan jarak rumah duka ke tempat pemakaman jauh, peti jenazah akan tetap dipikul dan digoyang-goyang.
Agustinus Bana menjelaskan, ada ritual sebelum pemakaman. Apabila dilakukan di Sonaf, ritual adat dipimpin oleh Usif. Jika dilakukan di rumah duka, upacara pemakaman dipimpin Atoin Amaf dalam hal ini paman kandung almarhum. Menurutnya, tidak ada pantun, puisi dan ayat-ayat khusus yang diucapkan sebelum peti jenazah diarak ke luar rumah untuk digoyang. Yang diucapkan saat iring-iringan peti Jenazah menuju liang lahat untuk dimakamkan adalah tutur adat oleh Atoin Amaf.
Ia mengatakan, tutur adat itu disebut takanab atau seonesbasnes yang artinya ucapan terakhir dan pemberitahuan kepada keluarga dan masyarakat, bahwa jenazah akan segera dibawa ke liang lahat.
Hironimus Sanak, mengatakan, makna menggoyang peti jenazah, yakni sebagai ungkapan rasa hormat terakhir kepada jenazah. "Kami tetap menggoyang peti jenazah dengan penuh semangat. Bersorak-sorai dan bersuka cita, namun tetap dijaga sedemikian rupa agar tidak jatuh. Menggoyang peti jenazah ini sebagai ucapan rasa memiliki atau rasa menyatu dengan jenazah," ujarnya.
Saat proses menggoyang peti jenazah, kata Hironimus, tidak pernah terjadi niutsae atau kerasukan. Namun, kerasukan sering terjadi ketika selesai pemakaman dan tiba di rumah duka. Saat itu salah satu keluarga dekat akan dimasuki roh dari almarhum, bisa juga roh dari nenek moyang dengan maksud menyampaikan sesuatu. "Saat Pak Gasper Bana meninggal terjadi kerasukan di rumah saat malam hari," katanya.
Mereka bertugas memikul peti jenazah, jelas Hiro, yakni keluarga terkait dan masyarakat yang hadir saat itu. Biasanya keluarga dekat pun terkadang tidak dapat mengambil bagian memikul peti jenazah. Antuasiasme masyarakat yang tinggi kerap menimbulkan aksi saling dorong antara sesama pemikul peti jenazah.
Kalau sudah terjadi demikian, keluarga tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya berjalan mengikuti perarakan hingga ke pemakaman. "Kadang kami kakak-adik juga tidak dapat memikul peti jenazah karena manusia begitu banyak. Belum lagi saling dorong," kata Hiro. (apson benu)
Hampir Punah
SEKRETARIS Dinas Pariwisata Kabupaten TTU, Yohanes Sanak mengatakan, tradisi menggoyang peti jenazah sebelum dimakamkan merupakan wisata budaya yang harus dilestarikan. Kebijakan untuk melestarikan tradisi budaya tersebut, kata Sanak, sudah dilakukan pemerintah.
Tahap pertama, jelas Sanak, sudah dilakukan oleh Dinas Pariwisata TTU, yakni inventarisasi lembaga adat dan tradisi-tradisi yang yang hampir punah. Langkah berikutnya membenahi lembaga adat. Tahun 2015 ini merupakan tahap terakhir proses inventarisiasi ditindaklanjutkan pertemuan para pemangku adat tahun 2016.
Pertemuan tersebut untuk mencari solusi guna mengembalikan tradisi budaya yang hampir punah. Sementara yang masih berjalan hingga saat ini, kata Sanak, diupayakan tetap bertahan dan bisa dikembangkan sesuai keunikan masing-masing daerah.
Diakuinya, setiap wilayah di TTU memiliki keunikan dan karateristik budaya yang berbeda. Wisata budaya paling diminati oleh wisatawan mancanegera. Jika nilai dan tradisi budaya ini dilestarikan akan menjadi magnet menarik wisatawan datang ke TTU. "Dalam konteks budaya, yang mahal itu adalah bagaimana pengembangan dan pemeliharaan," ujarnya. (abe)
Sumber: Pos Kupang Minggu 27 September 2015 hal 1