Hutan

DIA lahir di Jalan Kesehatan. Di rumah nomor enam. Dia lahir di tengah terik Kota Maumere. Hari itu, Rabu 17 September 2008. Hampir tengah hari. Lahirlah kata-kata ini. "Hutan masuk kota, kenapa tidak boleh?"

Hutan di tengah Kota Maumere, apa mungkin? Di bulan September, Maumere kembali ke wajah asli. Membakar kulit sejak Waioti. Menghirup debu di sejumlah sudut. Jalan-jalan lebih mulus. Berdiri banyak gedung baru. Hiruk-pikuk kendaraan riuh. Sepeda motor merajai jalanan. Berkelit gesit di antara mobil dan truk. Maumere manise masih seperti dulu!

Perbedaan di Jalan Kesehatan menggoda mata. Jalan yang sehat, sejuk dan segar. Sesekali terdengar cicit burung. Rumah di tengah "hutan". Ada pohon mangga, melinjo, jeruk, pisang, pepaya, nangka, jambu. Ada tanaman obat-obatan. Kumis kucing, sambiloto dan macam-macam tanaman. Daun gugur tak tersentuh. Berserak alami.

Sekitar lima menit terkesima di halaman rumah. Menikmati "oase" kecil di pusat Kota Maumere. Siapa bilang Maumere hanya mengenal panas dan debu?

Pintu rumah diketuk sekali, pemilik rumah bergegas membuka, menebarkan senyum dan sapa. "Selamat siang Om Viator, apa kabar?" "Baik-baik saja, cuma saya sudah kalah di mata. Tidak tahan kalau baca terlalu lama."

***

HUTAN masuk kota, kenapa tidak boleh? Pertanyaan retoris Viator Parera ketika kami berbincang tentang "hutan" di rumahnya. Lahan tidak seberapa luas namun asri dan sejuk. Halaman rumah itu penuh dengan tumbuhan yang bermanfaat.

"Kota masuk hutan, hutan-hutan dibabat untuk membangun kota baru. Kalau kota bisa masuk hutan, kenapa hutan tidak boleh masuk kota?" kata Viator Parera sambil tergelak.

"Halaman rumah ini saya jadikan hutan. Saya tanam segala macam tanaman. Daun yang gugur tidak dibuang. Daun-daun itu menjadi humus tanah, sehingga tanaman tumbuh baik sekali," kata penulis masalah pangan dan lingkungan yang produktif itu. Belakangan ini Om Viator agak jarang menulis karena menurunnya kemampuan mata.

Orang tua itu kemudian bercerita tentang tanaman obat-obatan yang juga penuh di halaman rumahnya. Menurut dia, tanaman obat seperti kumis kucing dibiarkan tumbuh liar. Tumbuh dengan susah payah mencari sumber makanan, tidak diberi pupuk, tidak dirawat. "Khasiat sebagai obat terletak di situ. Dia harus tumbuh sendiri dengan susah payah, tidak boleh manja misalnya tanam di lahan subur dan diberi pupuk. Kalau begitu khasiat obatnya akan hilang," kata Om Viator.

Pertemuan kami tak lama. Cuma sekitar 15 menit. Tetapi beta mendapat sesuatu: Hutan masuk kota dan khasiat tanaman obat. Seandainya ada yang mengikuti jejak kecil Viator Parera "membawa hutan ke kota", rasanya Maumere tidak perlu kering-kerontang. Tidak perlu berdebu pada musim kemarau seperti sekarang. Demikian pula dengan kota-kota lain di NTT semisal Kupang, Atambua, Ende, Waingapu, Larantuka, Lewoleba, Mbay dan sebagainya.

Hutan kota, seberapa kuat perhatian kita? Menunggu pemerintah menyiapkan lahan untuk paru-paru kota mungkin harapan yang terlalu tinggi. Kita bisa mulai dengan memenuhi halaman rumah dengan bunga atau aneka tanaman yang bermanfaat bagi kehidupan kita sendiri. Peduli terhadap bumi bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti dilakukan Viator Parera. (email: dionbata@poskupang.co.id)
Rubrik Beranda Kita (BETA) Pos Kupang edisi Senin, 22 September 2008 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes