KITA pernah memiliki Dwi Tunggal yang luar biasa reputasinya. Soekarno-Hatta. Berjuang bersama, dihukum dan dibuang, bangkit dan bahu-membahu hingga tegak berdiri sebuah bangsa bernama Indonesia. Mereka proklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Kita hapal "luar kepala" sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Tapi Dwi Tunggal itu tak pernah abadi. Sulit dilukiskan sebagai legendaris. Setelah satu dasawarsa bersama menakhodai Republik baru dalam badai, dalam onak dan duri, duet Soekarno-Hatta pecah. Tahun 1956, Mohammad Hatta mengundurkan diri dari kursi wakil presiden karena merasa tidak sejalan lagi dengan Bung Karno yang memperkenalkan Demokrasi Terpimpin.
Tentang sikap Hatta, tegas jelas dalam bukunya Demokrasi Kita (Penerbit: PT Pustaka Antara, Jakarta 1966). Pedas dan lugas pria Minang itu mengeritik demokrasi terpimpin ala Bung Karno, sumber pemicu keretakan Dwi Tunggal.
... diktator yang bergantung pada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistem yang dilahirkan Soekarno tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistemnya akan rubuh seperti rumah kartu...
Hatta benar. Demokrasi itu tumbang, bahkan jauh sebelum Bung Karno meninggal dunia tahun 1970. Semenjak Hatta mundur dari kekuasaan, Bung Karno bagaikan elang dengan satu sayap patah berdarah.
Bung Karno masih terbang tinggi di langit Nusantara. Pidato-pidatonya tetap membakar dada setiap putra-putri Ibu Pertiwi. Namun, jalan si Bung tak lagi lapang. Tak ada figur seberani Hatta yang mengingatkannya. Bung Karno membubarkan partai politik, menghukum yang dianggap berbahaya. Mengobarkan perang. Ganyang Malaysia! Tahun 1964, MPR mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Kita semua sudah tahu akhir kisah itu.
Tetapi keduanya sungguh Bapak Bangsa dengan keteladanan tinggi. Mereka berbeda pandangan politik. Tidak untuk persaudaraan. Sampai akhir hayat dalam kesahajaannya, Bung Karno-Bung Hatta tetap bersahabat. Mereka tidak saling melukai. Tak pernah menyerang pribadi atau keluarga. Mereka mampu menempatkan diri. Bisa bersikap proporsional. Warisan ini abadi. Akan dikenang selalu.
***
ROH Dwi Tunggal agaknya tak pernah mati. Toh kini hadir di mana-mana, di banyak tempat, di seantero Nusantara. Jumlahnya bukan puluhan saja. Konteks berbeda, rupa dan karakter bernuansa. Mereka maju berdua-dua. Maju tak gentar ke gelanggang pilkada. Pemilihan umum kepala daerah oleh rakyat secara langsung.Mereka disapa pasangan. Dijunjung sebagai paket. Mengusung visi dan misi yang sama yakni pro rakyat. Ketika terpilih dan dilantik, mereka bersumpah di hadapan Tuhan dan sesama untuk sepenuh hati mengabdi kepada rakyat.
Kemesraan begitu cepat berlalu. Bulan madu paling lama setahun. Tahun kedua mulai berulah, tahun ketiga bergolak. Perang! Ada yang diam-diam. Tak sedikit yang buka-bukaan. Mereka piawai bersilat lidah. Cerdas membungkus argumen. Sigap menyibak alasan. Tuding-menuding. Semua merasa paling benar.
Tak seia sekata, sehati-sesuara, sehaluan-sejalan menuju pantai cita-cita. Inikah takdir demokrasi kita? Demokrasi serba instan. Langsung kawin, tak butuh pacaran. Langsung bulan madu, tak harus mengenal diri lebih jauh. Langsung bertempur, langsung jua membuka aib di hadapan umum. Duet kepemimpinan daerah, jangan-jangan cuma ilusi? Sekadar fatamorgana politik.
Dua minggu yang lalu, saat menunggu jadwal keberangkatan ke Kupang dengan Batavia Air di Bandara Internasional "Dwi Tunggal" Soekarno-Hatta Jakarta, tak sengaja bertemu sobat lama. Dia bukan pria biasa. Dia kepala wilayah yang sesaat lagi usai masa jabatannya. Kurang terkenal. Prestasinya pun pas-pasan. Tapi sobat itu akur dengan pasangannya. Tak terdengar rusuh. Tak ribut merebut sesuatu. Tak terngiang riak-retak. Jauh dari kecam, berjarak dengan hasut selama lima tahun.
Apa resepmu bung? "Tahu diri. Hanya itu. Tahu di mana kita duduk atau berdiri. Tahu mengapa dan untuk apa kita berada kursi kekuasaan yang nikmat itu. Berbakti untuk rakyat, kata-kata itu terlalu berat bagi saya... Mudah diucap, mudah lupa dan sulit mewujudkannya selama kita berkuasa... Berakhir dengan harmonis, tinggal itulah yang harus saya jaga..." Dwi Tunggal, kenapa tak pernah setia sampai akhir? Mengapa riang melukai? (email: dionbata@poskupang.co.id)
Rubrik Beranda Kita (BETA) Pos Kupang edisi Senin, 8 September 2008 halaman 1
Tapi Dwi Tunggal itu tak pernah abadi. Sulit dilukiskan sebagai legendaris. Setelah satu dasawarsa bersama menakhodai Republik baru dalam badai, dalam onak dan duri, duet Soekarno-Hatta pecah. Tahun 1956, Mohammad Hatta mengundurkan diri dari kursi wakil presiden karena merasa tidak sejalan lagi dengan Bung Karno yang memperkenalkan Demokrasi Terpimpin.
Tentang sikap Hatta, tegas jelas dalam bukunya Demokrasi Kita (Penerbit: PT Pustaka Antara, Jakarta 1966). Pedas dan lugas pria Minang itu mengeritik demokrasi terpimpin ala Bung Karno, sumber pemicu keretakan Dwi Tunggal.
... diktator yang bergantung pada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistem yang dilahirkan Soekarno tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistemnya akan rubuh seperti rumah kartu...
Hatta benar. Demokrasi itu tumbang, bahkan jauh sebelum Bung Karno meninggal dunia tahun 1970. Semenjak Hatta mundur dari kekuasaan, Bung Karno bagaikan elang dengan satu sayap patah berdarah.
Bung Karno masih terbang tinggi di langit Nusantara. Pidato-pidatonya tetap membakar dada setiap putra-putri Ibu Pertiwi. Namun, jalan si Bung tak lagi lapang. Tak ada figur seberani Hatta yang mengingatkannya. Bung Karno membubarkan partai politik, menghukum yang dianggap berbahaya. Mengobarkan perang. Ganyang Malaysia! Tahun 1964, MPR mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Kita semua sudah tahu akhir kisah itu.
Tetapi keduanya sungguh Bapak Bangsa dengan keteladanan tinggi. Mereka berbeda pandangan politik. Tidak untuk persaudaraan. Sampai akhir hayat dalam kesahajaannya, Bung Karno-Bung Hatta tetap bersahabat. Mereka tidak saling melukai. Tak pernah menyerang pribadi atau keluarga. Mereka mampu menempatkan diri. Bisa bersikap proporsional. Warisan ini abadi. Akan dikenang selalu.
***
ROH Dwi Tunggal agaknya tak pernah mati. Toh kini hadir di mana-mana, di banyak tempat, di seantero Nusantara. Jumlahnya bukan puluhan saja. Konteks berbeda, rupa dan karakter bernuansa. Mereka maju berdua-dua. Maju tak gentar ke gelanggang pilkada. Pemilihan umum kepala daerah oleh rakyat secara langsung.Mereka disapa pasangan. Dijunjung sebagai paket. Mengusung visi dan misi yang sama yakni pro rakyat. Ketika terpilih dan dilantik, mereka bersumpah di hadapan Tuhan dan sesama untuk sepenuh hati mengabdi kepada rakyat.
Kemesraan begitu cepat berlalu. Bulan madu paling lama setahun. Tahun kedua mulai berulah, tahun ketiga bergolak. Perang! Ada yang diam-diam. Tak sedikit yang buka-bukaan. Mereka piawai bersilat lidah. Cerdas membungkus argumen. Sigap menyibak alasan. Tuding-menuding. Semua merasa paling benar.
Tak seia sekata, sehati-sesuara, sehaluan-sejalan menuju pantai cita-cita. Inikah takdir demokrasi kita? Demokrasi serba instan. Langsung kawin, tak butuh pacaran. Langsung bulan madu, tak harus mengenal diri lebih jauh. Langsung bertempur, langsung jua membuka aib di hadapan umum. Duet kepemimpinan daerah, jangan-jangan cuma ilusi? Sekadar fatamorgana politik.
Dua minggu yang lalu, saat menunggu jadwal keberangkatan ke Kupang dengan Batavia Air di Bandara Internasional "Dwi Tunggal" Soekarno-Hatta Jakarta, tak sengaja bertemu sobat lama. Dia bukan pria biasa. Dia kepala wilayah yang sesaat lagi usai masa jabatannya. Kurang terkenal. Prestasinya pun pas-pasan. Tapi sobat itu akur dengan pasangannya. Tak terdengar rusuh. Tak ribut merebut sesuatu. Tak terngiang riak-retak. Jauh dari kecam, berjarak dengan hasut selama lima tahun.
Apa resepmu bung? "Tahu diri. Hanya itu. Tahu di mana kita duduk atau berdiri. Tahu mengapa dan untuk apa kita berada kursi kekuasaan yang nikmat itu. Berbakti untuk rakyat, kata-kata itu terlalu berat bagi saya... Mudah diucap, mudah lupa dan sulit mewujudkannya selama kita berkuasa... Berakhir dengan harmonis, tinggal itulah yang harus saya jaga..." Dwi Tunggal, kenapa tak pernah setia sampai akhir? Mengapa riang melukai? (email: dionbata@poskupang.co.id)
Rubrik Beranda Kita (BETA) Pos Kupang edisi Senin, 8 September 2008 halaman 1