Oleh Kanis Jehola
"KALAU terjadi perang dunia ketiga, yang direbut bukan batas wilayah, tetapi air. Krisis air saat ini sudah menjadi masalah global. Karena itu sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menyelamatkan sumber mata air guna mengatasi krisis air ini."
Itulah peringatan sekaligus ajakan Menteri Pekerjaan Umum (PU), Ir. Djoko Kirmanto, saat menyampaikan sambutan di Hotel Kristal-Kupang, Kamis, 5 Mei 2005 lalu. Kehadiran Kirmanto di NTT saat itu dalam rangka ke Atambua, ibukota Kabupaten Belu, guna meresmikan penggunaan Embung Haliwen.
Peringatan Kirmanto ini bukannya tak mendasar. Krisis air saat ini, baik untuk kebutuhan air minum atau konsumsi maupun irigasi, terjadi di mana-mana. Tidak hanya terjadi di wilayah NTT, tapi juga luar NTT. Terjadinya krisis air ini disinyalir akibat ulah manusia sendiri. Manusia mengeksploitasi hutan dengan melakukan penebangan liar untuk kepentingannya sendiri. Penggundulan hutan mengakibatkan berkurangnya resapan air ke dalam tanah sehingga suplai dan penyediaan air di dalam tanah ikut berkurang. Kurangnya air yang masuk ke dalam tanah berakibat sedikitnya air yang keluar dari dalam tanah melalui sumber mata air.
Sekitar tahun 1970 hingga tahun 1980-an saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, sumber mata air Ponglengang benar-benar menjadi sumber hidup warga Desa Goreng Meni di Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai. Mata air dengan debit yang besar itu mampu mengairi ratusan hektar sawah di wilayah itu, selain untuk kebutuhan air minum. Saking banyaknya, air dari sumber mata air itu banyak yang dibuang ke kali untuk selanjutnya mengalir ke laut. Hutan di gunung sumber mata air itu pun lebat. Warga desa setempat pun tidak kesulitan mendapatkan kayu api/kayu bakar, karena banyak kayu kering tersedia di hutan itu.
Memasuki tahun 1990-an, kondisinya mulai berubah. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, hutan di sumber mata air itu yang sebelumnya lebat dan terkenal 'angker' mulai dibabat warga. Pembabatan hutan tidak hanya untuk kebutuhan bahan bangunan, tapi juga untuk membuka lahan baru atau kebun. Gunung yang tadinya lebat dengan pohon menjadi gundul.
Dampak pembabatan hutan dan pembukaan lahan baru di hutan sumber mata air itu pun mulai terasa. Sejak tahun 2000, debit air dari mata air Ponglengang mulai menurun. Longsoran pun terjadi di mana-mana. Dan, saat ini debit air dari sumber mata air itu tidak mencukupi untuk mengairi ratusan hektar sawah di wilayah itu. Banyak lahan sawah yang tidak digarap. Warga pun menjerit kelaparan.
Kasus yang sama terjadi di hutan Watu Cie dan Rana Poja. Watu Cie dan Rana Poja yang dulunya lebat dan 'angker' karena hutannya kini jadi botak. Longsoran pun terjadi. Debit mata air Wae Wake menurun drastis. Di Cancar, pada awal bulan Agustus lalu diberitakan, 600 ha dari 1000 hektar sawah tidak bisa digarap karena pasokan air dari Irigasi Wae Palo menurun drastis. Kekeringan juga terjadi di areal persawahan Desa Watunggelek dan Desa Nggorang, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), akibat berkurangnya debit air pada dua saluran irigasi yang bersumber dari Wae Mese dan Wae Moto, yang mengairi persawahan itu.
Di TTU, sekitar 600 hektar tanaman padi di Desa Ponu, Kecamatan Biboki Anleu, krisis air setelah sumber air Ponu yang mengairi areal tersebut mulai mengering. Di Nagekeo, warga transmigrasi lokal di Desa Waekokak, Kecamatan Aesesa, resah karena kekeringan melanda. Lahan padi sawah 320 hektar dan lahan kering 160 hektar di kawasan itu tak dapat diolah karena ketiadaan air.
***
BEBERAPA kasus di lokasi persawahan di Manggarai, Nagekeo dan TTU ini merupakan salah satu contoh nyata bahwa NTT saat ini sudah masuk dalam kondisi kekurangan air. Tahun 2003 lalu, saat ikut dalam kunjungan DPRD NTT ke Kabupaten Manggarai, Bupati Manggarai saat itu, Drs. Anthony Bagul Dagur menyampaikan keluhannya tentang menurunnya produksi pangan di Kabupaten Manggarai. Menurutnya, produksi pangan (gabah) di Manggarai setiap tahunnya menurun drastis. Penyebabnya karena maraknya pembabatan hutan secara ilegal oleh masyarakat. Pembabatan hutan mengakibatkan debit air untuk kebutuhan irigasi menurun. Menurunnya debit air ini mengakibatkan lahan persawahan masyarakat tidak diairi dan digarap semuanya. Sawah yang dulunya digarap tigakali setahun kini hanya digarap sekali setahun pada musim hujan karena ketiadaan air.
Menurunnya produksi pangan di Manggarai akibat kekurangan air bukan hanya menjadi keluhan Bagul Dagur, tapi juga keluhan Bupati Manggarai saat ini, Drs. Christian Rotok. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke daerah itu tahun 2007 lalu, Bupati Rotok melaporkan bahwa daerahnya terancam kehilangan produksi 17.416 ton gabah kering panen (GKP) atau setara 10.449 ton beras, saat panen raya bulan Mei hingga Juni 2007 lalu.
Kecemasan akan kekurangan air itu bukan hanya terjadi di beberapa daerah tapi juga terjadi di Kupang. Masalah krisis air di Kota Kupang akhir-akhir ini semakin terasa seiring bertambahnya jumlah penduduk di kota ini dan terus menurunnya debit air yang disuplai untuk memenuhi kebutuhan warga kota setiap tahunnya. "Lima puluh tahun lalu, kali di Gua Lordes sampai di Oepura itu dipenuhi kepiting dan udang, tapi sekarang tidak ada lagi. Jangankan kepiting dan udang, air saja tidak ada," kata Ketua HATHI (Himpunan Ahli Teknik Hidrolik Indonesia) Cabang NTT, Ir. Obet Sabetu, M.Eng, di Kupang, Kamis (4/9/2008).
Apa yang dikatakan Obet memang sesuai dengan apa yang dirasakan selama ini. Sekitar dua puluh tahun lalu, suplai air PDAM Kupang digilir antara dua sampai tiga hari sekali jalan. Tapi dalam enam tahun terakhir ini digilir sampai berminggu bahkan berbulan-bulan baru jalan. Debit air yang digunakan PDAM Kupang pun setiap tahun menurun drastis.
Tahun 2007 lalu, misalnya, sumber mata air Oepura yang tidak pernah terpengaruh dengan musim kemarau, mengalami penurunan drastis dari 40 liter/detik menjadi hanya delapan liter/detik. Sumber air Baumata dari 75 liter/detik menjadi 18-20 liter/detik, air Sagu dari 119 liter/detik menjadi hanya sekitar 18 liter/detik. Penurunan debit yang sangat drastis juga terjadi pada sumber mata air lainnya. Penurunan debit air pada sumber mata air ini diperkirakan akan terus terjadi jika tidak ada upaya penyelamatan terhadap sumber-sumber mata air. Dan, berdasarkan trend, penurunan debit air baku akhir-akhir ini, maka diperkirakan sepuluh tahun mendatang, Kota Kupang, bahkan NTT umumnya akan mengalami krisis air baku hebat. "Ini terjadi jika daerah-daerah resapan air tidak segera diselamatkan mulai dari sekarang," kata Direktur Utama PDAM Kupang, Masya Djonu, di Kupang tahun 2007 lalu.
Kondisi yang terjadi saat ini tentunya tak perlu dibiarkan terus. Mulai saat ini kita perlu melakukan berbagai upaya agar krisis air yang sudah terjadi saat ini tidak terus bertambah hingga menimbulkan persoalan yang kian besar bagi generasi dan anak cucu kita di tahun-tahun mendatang. Mungkinkah hal ini bisa dilakukan?
"Australia Utara yang pada kondisi ekstrim turun hujan hanya tiga tahun sekali kebutuhan airnya bisa terpenuhi. NTT dengan curah hujan rata- rata 1.200 mm per tahun dan di Manggarai 2.500 mm per tahun, mengapa tidak? Semuanya tergantung kita," kata Obet.
Persoalan yang terjadi selama ini ialah karena air hujan yang turun ke wilayah NTT banyak yang mengalir ke laut, ketimbang yang meresap ke dalam tanah. Hal ini terjadi karena masyarakat di daerah ini tidak memelihara lingkungan. Di mana-mana terjadi pembabatan hutan secara liar (illegal logging) oleh masyarakat, sehingga hutan yang lebat berubah menjadi padang ilalang. Lokasi yang dulunya menjadi daerah tangkapan air kini berubah menjadi lokasi permukiman penduduk.
Karena itu, tugas kita ke depan ialah menjaga dan merawat lingkungan di sekitar kita. Negara memang menjamin bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang ada di dalamnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tetapi pemanfaatan itu harus digunakan secara rasional dengan memperhatikan keseimbangan dengan alam di sekitar kita. Air memang harus digunakan semaksimalnya tapi kita juga harus berupaya agar ketersediaan air di dalam tanah itu tetap terjaga dengan membuat jebakan-jebakan, sumur resapan, embung atau waduk di daerah tangkapan air. Selain itu, kita juga perlu menjaga keseimbangan lingkungan dengan menanam tanaman pengganti tatkala kita menebang pohon untuk kebutuhan kita. *
Pos Kupang edisi Sabtu, 6 September 2008 halaman 1
"KALAU terjadi perang dunia ketiga, yang direbut bukan batas wilayah, tetapi air. Krisis air saat ini sudah menjadi masalah global. Karena itu sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menyelamatkan sumber mata air guna mengatasi krisis air ini."
Itulah peringatan sekaligus ajakan Menteri Pekerjaan Umum (PU), Ir. Djoko Kirmanto, saat menyampaikan sambutan di Hotel Kristal-Kupang, Kamis, 5 Mei 2005 lalu. Kehadiran Kirmanto di NTT saat itu dalam rangka ke Atambua, ibukota Kabupaten Belu, guna meresmikan penggunaan Embung Haliwen.
Peringatan Kirmanto ini bukannya tak mendasar. Krisis air saat ini, baik untuk kebutuhan air minum atau konsumsi maupun irigasi, terjadi di mana-mana. Tidak hanya terjadi di wilayah NTT, tapi juga luar NTT. Terjadinya krisis air ini disinyalir akibat ulah manusia sendiri. Manusia mengeksploitasi hutan dengan melakukan penebangan liar untuk kepentingannya sendiri. Penggundulan hutan mengakibatkan berkurangnya resapan air ke dalam tanah sehingga suplai dan penyediaan air di dalam tanah ikut berkurang. Kurangnya air yang masuk ke dalam tanah berakibat sedikitnya air yang keluar dari dalam tanah melalui sumber mata air.
Sekitar tahun 1970 hingga tahun 1980-an saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, sumber mata air Ponglengang benar-benar menjadi sumber hidup warga Desa Goreng Meni di Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai. Mata air dengan debit yang besar itu mampu mengairi ratusan hektar sawah di wilayah itu, selain untuk kebutuhan air minum. Saking banyaknya, air dari sumber mata air itu banyak yang dibuang ke kali untuk selanjutnya mengalir ke laut. Hutan di gunung sumber mata air itu pun lebat. Warga desa setempat pun tidak kesulitan mendapatkan kayu api/kayu bakar, karena banyak kayu kering tersedia di hutan itu.
Memasuki tahun 1990-an, kondisinya mulai berubah. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, hutan di sumber mata air itu yang sebelumnya lebat dan terkenal 'angker' mulai dibabat warga. Pembabatan hutan tidak hanya untuk kebutuhan bahan bangunan, tapi juga untuk membuka lahan baru atau kebun. Gunung yang tadinya lebat dengan pohon menjadi gundul.
Dampak pembabatan hutan dan pembukaan lahan baru di hutan sumber mata air itu pun mulai terasa. Sejak tahun 2000, debit air dari mata air Ponglengang mulai menurun. Longsoran pun terjadi di mana-mana. Dan, saat ini debit air dari sumber mata air itu tidak mencukupi untuk mengairi ratusan hektar sawah di wilayah itu. Banyak lahan sawah yang tidak digarap. Warga pun menjerit kelaparan.
Kasus yang sama terjadi di hutan Watu Cie dan Rana Poja. Watu Cie dan Rana Poja yang dulunya lebat dan 'angker' karena hutannya kini jadi botak. Longsoran pun terjadi. Debit mata air Wae Wake menurun drastis. Di Cancar, pada awal bulan Agustus lalu diberitakan, 600 ha dari 1000 hektar sawah tidak bisa digarap karena pasokan air dari Irigasi Wae Palo menurun drastis. Kekeringan juga terjadi di areal persawahan Desa Watunggelek dan Desa Nggorang, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), akibat berkurangnya debit air pada dua saluran irigasi yang bersumber dari Wae Mese dan Wae Moto, yang mengairi persawahan itu.
Di TTU, sekitar 600 hektar tanaman padi di Desa Ponu, Kecamatan Biboki Anleu, krisis air setelah sumber air Ponu yang mengairi areal tersebut mulai mengering. Di Nagekeo, warga transmigrasi lokal di Desa Waekokak, Kecamatan Aesesa, resah karena kekeringan melanda. Lahan padi sawah 320 hektar dan lahan kering 160 hektar di kawasan itu tak dapat diolah karena ketiadaan air.
***
BEBERAPA kasus di lokasi persawahan di Manggarai, Nagekeo dan TTU ini merupakan salah satu contoh nyata bahwa NTT saat ini sudah masuk dalam kondisi kekurangan air. Tahun 2003 lalu, saat ikut dalam kunjungan DPRD NTT ke Kabupaten Manggarai, Bupati Manggarai saat itu, Drs. Anthony Bagul Dagur menyampaikan keluhannya tentang menurunnya produksi pangan di Kabupaten Manggarai. Menurutnya, produksi pangan (gabah) di Manggarai setiap tahunnya menurun drastis. Penyebabnya karena maraknya pembabatan hutan secara ilegal oleh masyarakat. Pembabatan hutan mengakibatkan debit air untuk kebutuhan irigasi menurun. Menurunnya debit air ini mengakibatkan lahan persawahan masyarakat tidak diairi dan digarap semuanya. Sawah yang dulunya digarap tigakali setahun kini hanya digarap sekali setahun pada musim hujan karena ketiadaan air.
Menurunnya produksi pangan di Manggarai akibat kekurangan air bukan hanya menjadi keluhan Bagul Dagur, tapi juga keluhan Bupati Manggarai saat ini, Drs. Christian Rotok. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke daerah itu tahun 2007 lalu, Bupati Rotok melaporkan bahwa daerahnya terancam kehilangan produksi 17.416 ton gabah kering panen (GKP) atau setara 10.449 ton beras, saat panen raya bulan Mei hingga Juni 2007 lalu.
Kecemasan akan kekurangan air itu bukan hanya terjadi di beberapa daerah tapi juga terjadi di Kupang. Masalah krisis air di Kota Kupang akhir-akhir ini semakin terasa seiring bertambahnya jumlah penduduk di kota ini dan terus menurunnya debit air yang disuplai untuk memenuhi kebutuhan warga kota setiap tahunnya. "Lima puluh tahun lalu, kali di Gua Lordes sampai di Oepura itu dipenuhi kepiting dan udang, tapi sekarang tidak ada lagi. Jangankan kepiting dan udang, air saja tidak ada," kata Ketua HATHI (Himpunan Ahli Teknik Hidrolik Indonesia) Cabang NTT, Ir. Obet Sabetu, M.Eng, di Kupang, Kamis (4/9/2008).
Apa yang dikatakan Obet memang sesuai dengan apa yang dirasakan selama ini. Sekitar dua puluh tahun lalu, suplai air PDAM Kupang digilir antara dua sampai tiga hari sekali jalan. Tapi dalam enam tahun terakhir ini digilir sampai berminggu bahkan berbulan-bulan baru jalan. Debit air yang digunakan PDAM Kupang pun setiap tahun menurun drastis.
Tahun 2007 lalu, misalnya, sumber mata air Oepura yang tidak pernah terpengaruh dengan musim kemarau, mengalami penurunan drastis dari 40 liter/detik menjadi hanya delapan liter/detik. Sumber air Baumata dari 75 liter/detik menjadi 18-20 liter/detik, air Sagu dari 119 liter/detik menjadi hanya sekitar 18 liter/detik. Penurunan debit yang sangat drastis juga terjadi pada sumber mata air lainnya. Penurunan debit air pada sumber mata air ini diperkirakan akan terus terjadi jika tidak ada upaya penyelamatan terhadap sumber-sumber mata air. Dan, berdasarkan trend, penurunan debit air baku akhir-akhir ini, maka diperkirakan sepuluh tahun mendatang, Kota Kupang, bahkan NTT umumnya akan mengalami krisis air baku hebat. "Ini terjadi jika daerah-daerah resapan air tidak segera diselamatkan mulai dari sekarang," kata Direktur Utama PDAM Kupang, Masya Djonu, di Kupang tahun 2007 lalu.
Kondisi yang terjadi saat ini tentunya tak perlu dibiarkan terus. Mulai saat ini kita perlu melakukan berbagai upaya agar krisis air yang sudah terjadi saat ini tidak terus bertambah hingga menimbulkan persoalan yang kian besar bagi generasi dan anak cucu kita di tahun-tahun mendatang. Mungkinkah hal ini bisa dilakukan?
"Australia Utara yang pada kondisi ekstrim turun hujan hanya tiga tahun sekali kebutuhan airnya bisa terpenuhi. NTT dengan curah hujan rata- rata 1.200 mm per tahun dan di Manggarai 2.500 mm per tahun, mengapa tidak? Semuanya tergantung kita," kata Obet.
Persoalan yang terjadi selama ini ialah karena air hujan yang turun ke wilayah NTT banyak yang mengalir ke laut, ketimbang yang meresap ke dalam tanah. Hal ini terjadi karena masyarakat di daerah ini tidak memelihara lingkungan. Di mana-mana terjadi pembabatan hutan secara liar (illegal logging) oleh masyarakat, sehingga hutan yang lebat berubah menjadi padang ilalang. Lokasi yang dulunya menjadi daerah tangkapan air kini berubah menjadi lokasi permukiman penduduk.
Karena itu, tugas kita ke depan ialah menjaga dan merawat lingkungan di sekitar kita. Negara memang menjamin bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang ada di dalamnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tetapi pemanfaatan itu harus digunakan secara rasional dengan memperhatikan keseimbangan dengan alam di sekitar kita. Air memang harus digunakan semaksimalnya tapi kita juga harus berupaya agar ketersediaan air di dalam tanah itu tetap terjaga dengan membuat jebakan-jebakan, sumur resapan, embung atau waduk di daerah tangkapan air. Selain itu, kita juga perlu menjaga keseimbangan lingkungan dengan menanam tanaman pengganti tatkala kita menebang pohon untuk kebutuhan kita. *
Pos Kupang edisi Sabtu, 6 September 2008 halaman 1