Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape
PEMBANGUNAN mulai dari makan. Demikian dikatakan Matzui Kashiza. Mengapa? "Karena makan merupakan kegiatan manusia yang paling pokok. Manusia harus makan untuk hidup dan sehat. Makanan yang sehat menciptakan manusia yang sehat. Selanjutnya, daerah yang sehat menciptakan negara yang sehat. Dan, negara menjadi sehat jika daerahnya sehat," kata Matzui memberi alasan.
Matzui betul. Kita hidup tidak hanya untuk makan. Tetapi untuk hidup, kita membutuhkan makanan. Karena makanlah kita bisa bekerja produktif. Karena terpenuhinya kebutuhan gizi, maka kita bisa mengembangkan diri dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi diri, daerah dan bagi kehidupan manusia. Sebaliknya, kita tahu bahwa orang-orang lapar cenderung destruktif. Karena laparlah, maka orang bisa bermata gelap dan tidak bisa menghasilkan karya apa-apa.
Matzui lantas memberi pertanyaan lanjutan yang membuat peserta diskusi terperangah. Sederhana formulasinya, tapi bermakna dalam. Masyarakat sehari-hari makan apa? Apakah makanan dan cara makannya sehat dari segi ilmu gizi? Makanan tersebut berasal dari mana? Dari desa sendiri atau dari luar desa? Usaha tani atau nelayan untuk dikonsumsi/dimakan oleh siapa?
Semua kita tahu bahwa NTT adalah daerah pertanian. Ada sekitar 80 persen masyarakat NTT menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Umumnya mereka tinggal di desa-desa. Tapi soal mengurus pertanian, kita melakukannya tapi tidak secara serius. Sektor pertanian kita abaikan. Selama ini kita selalu berpikir sepotong-sepotong apabila membicarakan soal pembangunan pertanian. Tidak heran kalau NTT sering dilanda kelaparan. Dan, itu terjadi terus menerus seolah-olah menjadi ciri khas daerah berpenduduk 4 juta jiwa ini. Kita sendiri lebih percaya hal-hal dari luar ketimbang hal-hal yang kita punya.
Makanya kita terima makanan dari luar tapi tidak mau bikin makanan sendiri. Sekarang, warga sudah tidak menyimpan jagung, kacang dan ubi. Yang ada di rumah adalah supermi dan lain sebagainya yang siap saji. Yang serba instan. Kalau supermi dan jagung diletakkan di meja lalu disuruh memilih, seorang anak pasti memilih supermi. "Supermi lebih enak," demikian komentar anak-anak!
Sektor pertanian betul-betul diabaikan. Selama ini kita selalu berpikir sepotong-sepotong apabila membicarakan pembangunan pertanian. Kalaupun ada produk pertanian yang dihasilkan, tidak untuk dikonsumsi sendiri. Kalaupun ada yang dijual, uang yang diperoleh digunakan membeli hand phone (HP), televisi, judi dan mabuk-mabukan. Semestinya digunakan untuk menghidupkan usaha tani dan membangun wadah meningkatkan pendapatan petani. Karena, biarpun tidak ada uang petani bisa hidup dengan mengonsumsi sendiri hasil pertanian. Hubungan atara petani/nelayan di desa dan konsumen di kota juga tidak indah. Orang kota selalu menganggap orang desa tidak berarti.
Matzui sungguh menggugah. Dia mengritik pola makan kita. Menurutnya, pola makan kita tidak sesuai dengan ilmu gizi. Saat makan biasanya yang paling banyak diambil adalah nasi, sementara lauknya sedikit. Sesuatu yang sangat berbeda dengan orang Jepang. Untuk orang Jepang, yang paling banyak diambil adalah lauk, bukan nasi.
Kita jujur mengakui bahwa selama ini memang kita mengandalkan beras sebagai pangan pokok. Bagi masyarakat NTT ternyata selain dijadikan sebagai sumber karbohidrat, beras juga menjadi sumber protein. Akibat kemiskinan dan krisis ekonomi, banyak penduduk tidak bisa mengonsumsi pangan sumber protein (daging, ikan dan telur) secara cukup. Akhirnya, beras menjadi sasaran untuk dijadikan pangan sumber protein yang makin banyak dikonsumsi.
Dari berbagai latar belakang itu, mau tidak mau perhatian terhadap makanan harus diberikan. Kita punya potensi pangan lokal. Andai saja kita fokus, maka pasti ada makanan khas daerah yang dihasilkan dan menjadi produk unggulan.
"Saya mau tanya, Gubernur NTT dia makan beras? Siapa yang bikin? Sayurnya itu siapa yang bikin/buat? Kenapa saya mengatakan begitu, karena apa pun yang petani bikin dikonsumsi oleh gubernur bukanlah hal yang begitu besar.
Berarti petani dianggap petani teladan yang menghasilkan beras yang bagus karena bisa diterima oleh gubernur. Ini sangat bermanfaat dan mendorong semangat petani. Yang terpenting dari makan adalah kita membahagiakan masyarakat," kata Matzui.
Sementara Romo Maxi Un Bria memperkenalkan gagasan pembangunan mulai dari minum, dengan bercermin dari kisah kemandiran masyarakat Desa As Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Belu.
Desa As Manulea berada di dataran tinggi. Masyarakatnya mengalami kesulitan air bersih sejak ratusan tahun. Di sekitar daerah itu, memang ada sumber air, tetapi letaknya berada di dataran rendah yang jarak jangkauan dari rumah penduduk 2-5 km. Anak-anak sekolah dasar, kaum perempuan termasuk para ibu hamil, harus menghabiskan 2 sampai 6 jam setiap hari untuk mengambil air dari sumber air di dataran rendah menuju tempat pemukiman yang semuanya berada di dataran tinggi. Air itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masak dan minum.
Sudah pasti mereka yang malas tidak turun ke dataran rendah, mereka cukup membasuh wajah dengan embun atau air hujan yang kebetulan ditampung. Kekurangan air bersih turut membuat anak-anak sekampung merasa minder jika ada tamu yang datang ke desa itu. Tubuh mereka kotor karena tidak mandi.
Kesulitan air mendorong masyarakat As Manulea untuk mengatasinya. Muncul inisiatif yang ditindaklanjuti dengan membentuk wadah sebagai forum urun rembuk warga. Bagaimana menghadirkan air bagi masyarakat As Manulea?
"Kami sepakat bahwa masyarakat harus mulai dari diri sendiri. Bergerak membangun secara swadaya. Panitia bersinergi dengan gereja, masyarakat adat dan pemerintah. Masyarakat termotivasi dan akhirnya secara swadaya masing-masing kepala keluarga menyumbangkan dana Rp 250 ribu. Dari 640 KK masyarakat 4 desa, terhimpunlah dana sebesar Rp 160 juta," kata Romo Maxi.
Inisiatif masyarakat As Manulea direspon pemerintah kabupaten dengan memberi bantuan stimulan berupa 1 genzet listrik. Semenjak itu masyarakat secara swadaya membangun rumah genzet, membeli pipa dan membangun bak penampung utama.
Para tua adat mengawali pengerjaan penarikan air bersih mulai dari pembersihan lokasi sumber air masyarakat adat, pemindahan alur sungai sampai selesainya pekerjaan dengan menggunakan ritus-ritus ada. Banyak pihak juga mulai ikut berpartisipasi, hingga selesai dan diresmikan pada tanggal 13 Januari 2005.
Sejak hadirnya air - sekarang sudah tiga tahun - masyarakat Desa As Manulea mengalami perubahan pola hidup. Pembangunan rumah-rumah dilengkapi langsung dengan toilet. Anak-anak sudah lebih ceria dan bersih. Ada cukup waktu bagi anak-anak untuk bermain dan belajar, tidak harus membuang banyak waktu untuk mengambil air. Kaum perempuan juga dapat menggunakan waktu secara produktif untuk menenun dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain. Air juga dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Pekarangan ditata dan ditanami tanaman penghasil pangan sehingga jarang terdengar kabar masyarakat As Manulea rawan pangan.
Kisah kemandirian masyarakat As Manulea dalam mendekatkan air dari dataran rendah ke dataran tinggi telah menggugah sebagian orang untuk datang dan belajar di Desa As Manulea. "Ternyata kita bisa membangun desa mulai dari makan dan minum. Apa yang kita makan dan minum? Menaman tanaman tidak untuk mendapatkan uang dan membeli makanan. Tetapi menghasilkan makanan untuk kita makan. Ini menjadi penting untuk pembelajaran. Berpikir untuk maju satu langkah. Kembali ke dasar, bukan berarti kembali ke belakang," kata Farry Francis, moderator dikusi. (bersambung)
Pos Kupang edisi Selasa, 23 September 2008 halaman 1
PEMBANGUNAN mulai dari makan. Demikian dikatakan Matzui Kashiza. Mengapa? "Karena makan merupakan kegiatan manusia yang paling pokok. Manusia harus makan untuk hidup dan sehat. Makanan yang sehat menciptakan manusia yang sehat. Selanjutnya, daerah yang sehat menciptakan negara yang sehat. Dan, negara menjadi sehat jika daerahnya sehat," kata Matzui memberi alasan.
Matzui betul. Kita hidup tidak hanya untuk makan. Tetapi untuk hidup, kita membutuhkan makanan. Karena makanlah kita bisa bekerja produktif. Karena terpenuhinya kebutuhan gizi, maka kita bisa mengembangkan diri dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi diri, daerah dan bagi kehidupan manusia. Sebaliknya, kita tahu bahwa orang-orang lapar cenderung destruktif. Karena laparlah, maka orang bisa bermata gelap dan tidak bisa menghasilkan karya apa-apa.
Matzui lantas memberi pertanyaan lanjutan yang membuat peserta diskusi terperangah. Sederhana formulasinya, tapi bermakna dalam. Masyarakat sehari-hari makan apa? Apakah makanan dan cara makannya sehat dari segi ilmu gizi? Makanan tersebut berasal dari mana? Dari desa sendiri atau dari luar desa? Usaha tani atau nelayan untuk dikonsumsi/dimakan oleh siapa?
Semua kita tahu bahwa NTT adalah daerah pertanian. Ada sekitar 80 persen masyarakat NTT menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Umumnya mereka tinggal di desa-desa. Tapi soal mengurus pertanian, kita melakukannya tapi tidak secara serius. Sektor pertanian kita abaikan. Selama ini kita selalu berpikir sepotong-sepotong apabila membicarakan soal pembangunan pertanian. Tidak heran kalau NTT sering dilanda kelaparan. Dan, itu terjadi terus menerus seolah-olah menjadi ciri khas daerah berpenduduk 4 juta jiwa ini. Kita sendiri lebih percaya hal-hal dari luar ketimbang hal-hal yang kita punya.
Makanya kita terima makanan dari luar tapi tidak mau bikin makanan sendiri. Sekarang, warga sudah tidak menyimpan jagung, kacang dan ubi. Yang ada di rumah adalah supermi dan lain sebagainya yang siap saji. Yang serba instan. Kalau supermi dan jagung diletakkan di meja lalu disuruh memilih, seorang anak pasti memilih supermi. "Supermi lebih enak," demikian komentar anak-anak!
Sektor pertanian betul-betul diabaikan. Selama ini kita selalu berpikir sepotong-sepotong apabila membicarakan pembangunan pertanian. Kalaupun ada produk pertanian yang dihasilkan, tidak untuk dikonsumsi sendiri. Kalaupun ada yang dijual, uang yang diperoleh digunakan membeli hand phone (HP), televisi, judi dan mabuk-mabukan. Semestinya digunakan untuk menghidupkan usaha tani dan membangun wadah meningkatkan pendapatan petani. Karena, biarpun tidak ada uang petani bisa hidup dengan mengonsumsi sendiri hasil pertanian. Hubungan atara petani/nelayan di desa dan konsumen di kota juga tidak indah. Orang kota selalu menganggap orang desa tidak berarti.
Matzui sungguh menggugah. Dia mengritik pola makan kita. Menurutnya, pola makan kita tidak sesuai dengan ilmu gizi. Saat makan biasanya yang paling banyak diambil adalah nasi, sementara lauknya sedikit. Sesuatu yang sangat berbeda dengan orang Jepang. Untuk orang Jepang, yang paling banyak diambil adalah lauk, bukan nasi.
Kita jujur mengakui bahwa selama ini memang kita mengandalkan beras sebagai pangan pokok. Bagi masyarakat NTT ternyata selain dijadikan sebagai sumber karbohidrat, beras juga menjadi sumber protein. Akibat kemiskinan dan krisis ekonomi, banyak penduduk tidak bisa mengonsumsi pangan sumber protein (daging, ikan dan telur) secara cukup. Akhirnya, beras menjadi sasaran untuk dijadikan pangan sumber protein yang makin banyak dikonsumsi.
Dari berbagai latar belakang itu, mau tidak mau perhatian terhadap makanan harus diberikan. Kita punya potensi pangan lokal. Andai saja kita fokus, maka pasti ada makanan khas daerah yang dihasilkan dan menjadi produk unggulan.
"Saya mau tanya, Gubernur NTT dia makan beras? Siapa yang bikin? Sayurnya itu siapa yang bikin/buat? Kenapa saya mengatakan begitu, karena apa pun yang petani bikin dikonsumsi oleh gubernur bukanlah hal yang begitu besar.
Berarti petani dianggap petani teladan yang menghasilkan beras yang bagus karena bisa diterima oleh gubernur. Ini sangat bermanfaat dan mendorong semangat petani. Yang terpenting dari makan adalah kita membahagiakan masyarakat," kata Matzui.
Sementara Romo Maxi Un Bria memperkenalkan gagasan pembangunan mulai dari minum, dengan bercermin dari kisah kemandiran masyarakat Desa As Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Belu.
Desa As Manulea berada di dataran tinggi. Masyarakatnya mengalami kesulitan air bersih sejak ratusan tahun. Di sekitar daerah itu, memang ada sumber air, tetapi letaknya berada di dataran rendah yang jarak jangkauan dari rumah penduduk 2-5 km. Anak-anak sekolah dasar, kaum perempuan termasuk para ibu hamil, harus menghabiskan 2 sampai 6 jam setiap hari untuk mengambil air dari sumber air di dataran rendah menuju tempat pemukiman yang semuanya berada di dataran tinggi. Air itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masak dan minum.
Sudah pasti mereka yang malas tidak turun ke dataran rendah, mereka cukup membasuh wajah dengan embun atau air hujan yang kebetulan ditampung. Kekurangan air bersih turut membuat anak-anak sekampung merasa minder jika ada tamu yang datang ke desa itu. Tubuh mereka kotor karena tidak mandi.
Kesulitan air mendorong masyarakat As Manulea untuk mengatasinya. Muncul inisiatif yang ditindaklanjuti dengan membentuk wadah sebagai forum urun rembuk warga. Bagaimana menghadirkan air bagi masyarakat As Manulea?
"Kami sepakat bahwa masyarakat harus mulai dari diri sendiri. Bergerak membangun secara swadaya. Panitia bersinergi dengan gereja, masyarakat adat dan pemerintah. Masyarakat termotivasi dan akhirnya secara swadaya masing-masing kepala keluarga menyumbangkan dana Rp 250 ribu. Dari 640 KK masyarakat 4 desa, terhimpunlah dana sebesar Rp 160 juta," kata Romo Maxi.
Inisiatif masyarakat As Manulea direspon pemerintah kabupaten dengan memberi bantuan stimulan berupa 1 genzet listrik. Semenjak itu masyarakat secara swadaya membangun rumah genzet, membeli pipa dan membangun bak penampung utama.
Para tua adat mengawali pengerjaan penarikan air bersih mulai dari pembersihan lokasi sumber air masyarakat adat, pemindahan alur sungai sampai selesainya pekerjaan dengan menggunakan ritus-ritus ada. Banyak pihak juga mulai ikut berpartisipasi, hingga selesai dan diresmikan pada tanggal 13 Januari 2005.
Sejak hadirnya air - sekarang sudah tiga tahun - masyarakat Desa As Manulea mengalami perubahan pola hidup. Pembangunan rumah-rumah dilengkapi langsung dengan toilet. Anak-anak sudah lebih ceria dan bersih. Ada cukup waktu bagi anak-anak untuk bermain dan belajar, tidak harus membuang banyak waktu untuk mengambil air. Kaum perempuan juga dapat menggunakan waktu secara produktif untuk menenun dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain. Air juga dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Pekarangan ditata dan ditanami tanaman penghasil pangan sehingga jarang terdengar kabar masyarakat As Manulea rawan pangan.
Kisah kemandirian masyarakat As Manulea dalam mendekatkan air dari dataran rendah ke dataran tinggi telah menggugah sebagian orang untuk datang dan belajar di Desa As Manulea. "Ternyata kita bisa membangun desa mulai dari makan dan minum. Apa yang kita makan dan minum? Menaman tanaman tidak untuk mendapatkan uang dan membeli makanan. Tetapi menghasilkan makanan untuk kita makan. Ini menjadi penting untuk pembelajaran. Berpikir untuk maju satu langkah. Kembali ke dasar, bukan berarti kembali ke belakang," kata Farry Francis, moderator dikusi. (bersambung)
Pos Kupang edisi Selasa, 23 September 2008 halaman 1