Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape
INSTITUTE of Cross Timor for Common Property Resources Development (InCrEaSe) bekerja sama dengan Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang menyelenggarakan diskusi bertajuk, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT. Kegiatan dalam rangka memperingati 50 Tahun NTT ini dilaksanakan di ruang Redaksi Pos Kupang, Rabu (10/9/2008. Sekitar 30 orang dengan berbagai latar belakang hadir saat diskusi itu.
NUANSA lokal hadir di ruangan berukuran 12 x 7 meter lantai II Kantor Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang di Jalan Kenari 1, Kupang, Rabu (10/9/2008). Kesan pertama tertangkap dari selembar kain latar sepanjang 2,5 x 1 meter. Pada kain yang ditempel pada dinding itu tertera tulisan, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT.
Tulisan itu 'dibingkai' dengan tujuh foto. Semuanya menggambarkan aktivitas masyarakat NTT. Ada foto warga sedang membuat gula lempeng. Ada yang sementara menenun. Ada juga yang sedang memasak garam, mengalirkan air dengan bambu serta membuat keramik. Indah nian.
"Wah, ini kegiatan tanpa dana, tapi persiapannya luar biasa. Semoga kita dapat menghasilkan hal-hal yang luar biasa untuk membangun daerah," ujar Farry DJ Francis dari InCreaSe, yang selama diskusi bertindak sebagai moderator.
Kesan kedua, ditangkap dari latar belakang peserta diskusi. Dari tiga puluhan peserta, hanya Mr. Matzui Kasuhiza dan Petrarca Karetji (DZF-Sofei/Bakti) yang non NTT. Matzui adalah peneliti senior i-i net/Expert JICA berkebangsaan Jepang. Sedangkan Petrarca keturunan Ambon-Papua. Selebihnya adalah putra-putri NTT. Semua peserta duduk di belakang meja yang ditata membentuk 'U'.
Nuansa lokal memang sengaja dimunculkan. Itu karena topik yang didiskusikan adalah Membangun Kemandirian Masyarakat NTT. Hal-hal yang dipercakapkan tidak bisa lepas dari lokalitas daerah. Tentang potensi lokal.
Diskusi diawali dengan pemutaran sebuah film (video streaming) berdurasi 15 menit. Film itu menampilkan warga Desa Tunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, yang bergotong royong membuka jalan raya untuk menghubungkan beberapa desa. Di akhir cerita, masyarakat Tunbaun berhasil membangun jalan. Dengan jalan, mobilisasi manusia dan barang dari dan ke Tunbaun menjadi lancar.
Fakta potensi lokal beserta nilai-nilai budaya yang tersaji sebenarnya mau menepis stigma NTT sebagai daerah miskin. Pada tahun 1960-an, NTT dikenal sebagai panghasil kopra nomor empat di Indonesia. Sebagian besar orang Flores hidup dari kopra. Banyak orangtua menyekolahkan anaknya ke Jawa, tapi mereka tidak mati kelaparan di kampung. Tahun 1960-an Pulau Timor dikenal sebagai penghasil sapi. Presiden Soeharto sampai manjadikan Timor sebagai penghasil bibit ternak nasional.
Anggaran yang digelontorkan untuk membiayai pelaksanaan program-program pembangunan di NTT dari tahun ke tahun terus meningkat. Umumnya dikelola oleh pemerintah, swasta dan LSM.
Pada tahun 2008, misalnya, NTT mendapat anggaran dari APBN senilai Rp 10,7 triliun. Jumlah ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2007 yaitu Rp 9,2 triliun lebih. Ironisnya, angka kemiskinan di NTT semakin meningkat.
"Lebih ironis lagi, sekarang orang NTT perlu minyak goreng mesti beli bimoli (merek sebuah minyak goreng kemasan, Red). Mau makan daging harus datangkan ayam dari Surabaya. NTT mengalami kekurangan pangan hingga saat ini. Generasi NTT sekarang, generasi kurang gizi," kata Damyan Godho, saat memberi pengantar diskusi.
"Teman-teman LSM perlu introspeksi, apakah kehadiran LSM juga menolong masyarakat kita untuk mambangun dirinya sebaik mungkin sehingga ketika ia menghadapi masalah, mampu menolong dirinya?" sambung Damyan.
Semasa biduk NTT dinakhodai Gubernur El Tari, NTT bertekad menjadi daerah swasembada pangan. "Tanam, tanam dan tanam," demikian semboyan yang digelorakan El Tari kala itu. Masyarakat diwajibkan menanam.
Beberapa bupati menindaklanjuti program swasembada pangan dengan menggerakkan warga untuk bergotong-royong membangun irigasi. Di Manggarai, misalnya, masyarakat mambangun irigasi Lembor. Begitu juga di Mbay. Namun, tekad ini menjadi tidak jelas sepeninggal El Tari. Setelah dibangun irigasi, orang NTT tetap kelaparan. NTT menjadi daerah yang bergantung pada komoditi pangan yang dihasilkan daerah lain. Beras diimpor. Ubi dan jagung juga demikian.
Kondisi NTT dulu dan sekarang sebagaimana dipaparkan Damyan tidak berbeda dengan apa yang direkam Matzui Kasuhiza. Matzui mengatakan, pembangunan daerah-daerah di Indonesia mesti mulai dari desa. Pembangunan itu seyogyanya terdorong oleh rasa cinta. Cinta dapat menghasilkan motivasi yang kuat.
"Kalau kita membahas pembangunan desa atau pembangunan kampung, kita harus mencintai kampung kita. Kalau benci sama kampungnya, tidak mungkin kita bisa memperbaikinya," kata penasihat otonomi daerah di Provinsi Sulawesi Selatan yang cukup fasih berbahasa Indonsia ini.
Pertanyaan berikutnya, apakah Anda bangga atau malu dengan kampung halaman Anda. Kalau Anda malu, bagaimana bisa memperbaikinya. "Apalagi kalau merasa malu dan benci dengan tradisi-tradisi," kata Matzui.
Pembangunan tidak harus menjadikan kampung-kampung kita seperti Jakarta atau Singapura. Hal-hal yang dianggap kuno di desa-desa tidak harus diganti dengan yang baru yang dianggap modern.
Atas nama pembangunan, kita selalu mengadakan pelatihan atau kesempatan belajar S2 dan S3 kepada orang-orang kita ke luar negeri. "Tapi, jangan lupa sekolah atau pendidikan itu harus sambung dengan daerah setempat. Karena mereka yang belajar di luar negeri mendapatkan ilmu-ilmu yang belum tentu sama dengan ilmu setempat. Jadi sebenarnya perkembangan pendidikan bisa berfungsi agar siswanya tidak lari dari daerah setempat. Berapa banyak lulusan S2 dan S3 yang kembali ke kampung halamannya dan memberi kontribusi bagi pembangunan desa dan daerahya? Matzui mengajukan pertanyaan menggelitik. (bersambung)
Pos Kupang edisi Senin, 22 September 2008 halaman 1
INSTITUTE of Cross Timor for Common Property Resources Development (InCrEaSe) bekerja sama dengan Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang menyelenggarakan diskusi bertajuk, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT. Kegiatan dalam rangka memperingati 50 Tahun NTT ini dilaksanakan di ruang Redaksi Pos Kupang, Rabu (10/9/2008. Sekitar 30 orang dengan berbagai latar belakang hadir saat diskusi itu.
NUANSA lokal hadir di ruangan berukuran 12 x 7 meter lantai II Kantor Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang di Jalan Kenari 1, Kupang, Rabu (10/9/2008). Kesan pertama tertangkap dari selembar kain latar sepanjang 2,5 x 1 meter. Pada kain yang ditempel pada dinding itu tertera tulisan, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT.
Tulisan itu 'dibingkai' dengan tujuh foto. Semuanya menggambarkan aktivitas masyarakat NTT. Ada foto warga sedang membuat gula lempeng. Ada yang sementara menenun. Ada juga yang sedang memasak garam, mengalirkan air dengan bambu serta membuat keramik. Indah nian.
"Wah, ini kegiatan tanpa dana, tapi persiapannya luar biasa. Semoga kita dapat menghasilkan hal-hal yang luar biasa untuk membangun daerah," ujar Farry DJ Francis dari InCreaSe, yang selama diskusi bertindak sebagai moderator.
Kesan kedua, ditangkap dari latar belakang peserta diskusi. Dari tiga puluhan peserta, hanya Mr. Matzui Kasuhiza dan Petrarca Karetji (DZF-Sofei/Bakti) yang non NTT. Matzui adalah peneliti senior i-i net/Expert JICA berkebangsaan Jepang. Sedangkan Petrarca keturunan Ambon-Papua. Selebihnya adalah putra-putri NTT. Semua peserta duduk di belakang meja yang ditata membentuk 'U'.
Nuansa lokal memang sengaja dimunculkan. Itu karena topik yang didiskusikan adalah Membangun Kemandirian Masyarakat NTT. Hal-hal yang dipercakapkan tidak bisa lepas dari lokalitas daerah. Tentang potensi lokal.
Diskusi diawali dengan pemutaran sebuah film (video streaming) berdurasi 15 menit. Film itu menampilkan warga Desa Tunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, yang bergotong royong membuka jalan raya untuk menghubungkan beberapa desa. Di akhir cerita, masyarakat Tunbaun berhasil membangun jalan. Dengan jalan, mobilisasi manusia dan barang dari dan ke Tunbaun menjadi lancar.
Fakta potensi lokal beserta nilai-nilai budaya yang tersaji sebenarnya mau menepis stigma NTT sebagai daerah miskin. Pada tahun 1960-an, NTT dikenal sebagai panghasil kopra nomor empat di Indonesia. Sebagian besar orang Flores hidup dari kopra. Banyak orangtua menyekolahkan anaknya ke Jawa, tapi mereka tidak mati kelaparan di kampung. Tahun 1960-an Pulau Timor dikenal sebagai penghasil sapi. Presiden Soeharto sampai manjadikan Timor sebagai penghasil bibit ternak nasional.
Anggaran yang digelontorkan untuk membiayai pelaksanaan program-program pembangunan di NTT dari tahun ke tahun terus meningkat. Umumnya dikelola oleh pemerintah, swasta dan LSM.
Pada tahun 2008, misalnya, NTT mendapat anggaran dari APBN senilai Rp 10,7 triliun. Jumlah ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2007 yaitu Rp 9,2 triliun lebih. Ironisnya, angka kemiskinan di NTT semakin meningkat.
"Lebih ironis lagi, sekarang orang NTT perlu minyak goreng mesti beli bimoli (merek sebuah minyak goreng kemasan, Red). Mau makan daging harus datangkan ayam dari Surabaya. NTT mengalami kekurangan pangan hingga saat ini. Generasi NTT sekarang, generasi kurang gizi," kata Damyan Godho, saat memberi pengantar diskusi.
"Teman-teman LSM perlu introspeksi, apakah kehadiran LSM juga menolong masyarakat kita untuk mambangun dirinya sebaik mungkin sehingga ketika ia menghadapi masalah, mampu menolong dirinya?" sambung Damyan.
Semasa biduk NTT dinakhodai Gubernur El Tari, NTT bertekad menjadi daerah swasembada pangan. "Tanam, tanam dan tanam," demikian semboyan yang digelorakan El Tari kala itu. Masyarakat diwajibkan menanam.
Beberapa bupati menindaklanjuti program swasembada pangan dengan menggerakkan warga untuk bergotong-royong membangun irigasi. Di Manggarai, misalnya, masyarakat mambangun irigasi Lembor. Begitu juga di Mbay. Namun, tekad ini menjadi tidak jelas sepeninggal El Tari. Setelah dibangun irigasi, orang NTT tetap kelaparan. NTT menjadi daerah yang bergantung pada komoditi pangan yang dihasilkan daerah lain. Beras diimpor. Ubi dan jagung juga demikian.
Kondisi NTT dulu dan sekarang sebagaimana dipaparkan Damyan tidak berbeda dengan apa yang direkam Matzui Kasuhiza. Matzui mengatakan, pembangunan daerah-daerah di Indonesia mesti mulai dari desa. Pembangunan itu seyogyanya terdorong oleh rasa cinta. Cinta dapat menghasilkan motivasi yang kuat.
"Kalau kita membahas pembangunan desa atau pembangunan kampung, kita harus mencintai kampung kita. Kalau benci sama kampungnya, tidak mungkin kita bisa memperbaikinya," kata penasihat otonomi daerah di Provinsi Sulawesi Selatan yang cukup fasih berbahasa Indonsia ini.
Pertanyaan berikutnya, apakah Anda bangga atau malu dengan kampung halaman Anda. Kalau Anda malu, bagaimana bisa memperbaikinya. "Apalagi kalau merasa malu dan benci dengan tradisi-tradisi," kata Matzui.
Pembangunan tidak harus menjadikan kampung-kampung kita seperti Jakarta atau Singapura. Hal-hal yang dianggap kuno di desa-desa tidak harus diganti dengan yang baru yang dianggap modern.
Atas nama pembangunan, kita selalu mengadakan pelatihan atau kesempatan belajar S2 dan S3 kepada orang-orang kita ke luar negeri. "Tapi, jangan lupa sekolah atau pendidikan itu harus sambung dengan daerah setempat. Karena mereka yang belajar di luar negeri mendapatkan ilmu-ilmu yang belum tentu sama dengan ilmu setempat. Jadi sebenarnya perkembangan pendidikan bisa berfungsi agar siswanya tidak lari dari daerah setempat. Berapa banyak lulusan S2 dan S3 yang kembali ke kampung halamannya dan memberi kontribusi bagi pembangunan desa dan daerahya? Matzui mengajukan pertanyaan menggelitik. (bersambung)
Pos Kupang edisi Senin, 22 September 2008 halaman 1