Oleh Yusran Pare
BERITA mengejutkan itu datang dari ujung timur Jawa Barat, Indramayu. Empat belas orang tewas, belasan lain dirawat di rumah sakit setempat. Mereka bertumbangan setelah meminum minuman keras yang dicampur bahan-bahan lain. Sebagian terbesar dari korban itu anak-anak muda, satu lelaki paro baya, dan satu perempuan muda.
Disebut mengejutkan, karena jumlah korbannya demikian banyak. Malah terlalu banyak, kerena sehelai pun nyawa manusia sangatlah berharga. Lebih mengejutkan, karena baru dua tahun silam, insiden serupa di Indramayu merenggut nyawa tujuh anak muda.
Rupanya peristiwa itu tak cukup jadi cambuk untuk mengingatkan masyarakat dan aparat setempat betapa berbahayanya minuman keras beredar tanpa kontrol dan kendali. Apalagi di lingkungan masyarakat yang tingkat pendidikan dan pengetahuannya belum memadai secara merata di tengah kondisi sosial ekonomi yang tidak seimbang.
Indramayu sesungguhnya daerah kaya. Setidaknya kabupaten berpenduduk 1,6 juta jiwa ini merupakan lumbung padi besar yang menyangga dan memberi sumbangan penting bagi ketersediaan pangan secara nasional. Ia juga memiliki Balongan, kilang yang memproduksi 10.500-an barrel bahan bakar minyak setiap hari (data 2003), yang mestinya juga memercikkan kemakmuran bagi penduduk sekitarnya.
Namun kekayaan Indramayu ternyata belum mampu menyejahterakan warganya. Jika tidak, tak mungkin ada sekitar 1 juta penganggur di daerah itu (data 2006). Tak mungkin pula 90.000 warganya terpaksa mengais-ais rejeki di negeri orang sebagai tenaga kerja Indonesia. Sekitar 75 persen dari jumlah itu adalah para perempuan yang kebanyakan bekerja di sektor domestik. Kata lain untuk jongos.
Jika daerah itu sudah memberi peluang memadai bagi warganya untuk menyejahterakan diri, tak mungkin pula ribuan perempuan Indramayu melata-lata di keremangan dunia malam kota besar di berbagai pelosok di Tanah Air, dan itu tidak pernah terpantau jumlah maupun mobilitasnya.
Apakah kondisi seperti itu juga yang kemudian merangsang segelintir penduduknya untuk mengakrabi kebiasaan mabuk-mabukan? Belum jelas benar. Yang jelas, kemiskinan memang seringkali dianggap sebagai akar dari sejumlah masalah sosial. Satu di antara masalah itu adalah kebiasaan mabuk-mabukan.
Boleh jadi, dengan mabuk -lantas tertidur- orang "melupakan" sejenak kesulitan hidupnya. Tapi kebiasaan itu juga menyeret dampak buruk lain, yakni tingginya angka kriminalitas. Kalau orang itu minum untuk diri sendiri sampai mabuk sekali pun, dan langsung mendengkur begitu teler, tak jadi soal. Yang repot dalah para peminum tanggung yang gentayangan lalu ngoceh sana-sini dan tindakannya kurang terkontrol sehingga kadang memancing keributan.
Bagi sebagian penduduk di suatu daerah miskin di bagian timur Indonesia di mana minuman keras -olahan tradisional- sudah jadi minuman sehari-hari, banyak warga yang memang minum sampai mabuk. Biasanya, mereka membeli minuman setelah barang hasil bumi mereka laku di pasar. Selain digunakan untuk membeli keperluan hidup keluarga, mereka juga menyisihkannya untuk membeli minuman lokal, dan meminumnya sampai mabuk dan tertidur, (http://yusranpare.wordpress.com/2007/10/21/pendekar-mabuk/).
Di kota-kota besar, ada kecenderungan pada sebagian orang jalanan meminum minuman keras semata untuk stimulan. Mereka sengaja mabuk -atau setidaknya tampil seperti sedang mabuk- untuk meningkatkan efek teror terhadap sasaran yang akan dipalak atau diperasnya.
Dalam kasus Indramayu, tampaknya para peminum itu bukan semata untuk dirinya sendiri agar sekejap bisa melarikan diri dari ralitas, melainkan sudah sampai pada tahap memburu kepuasan maksimum secara bersama-sama dengan cara cepat, mudah, dan murah, karena memang sebatas itulah yang mereka mampu.
Ketidaktahuan dan keterbatasan pemahaman yang mungkin disebabkan kurangnya pendidikan -yang konon karena kemiskinan- di tengah kendornya pengawasan antarsesama warga, telah membuat orang gegabah mencampuradukkan bahan-bahan untuk dikonsumsi, sehingga jadi cairan maut yang menewaskan lebih selusin orang.
Ini harus jadi bahan renungan dan pelajaran bagi segenap pihak, sebab ini bukan peristiwa yang bisa dibiarkan berlalu begitu saja. Kejadian seperti ini tak pantas terus terulang, di Indramayu atau di manapun di wilayah tanah air. (*)
http://yusranpare.wordpress.com/2008/09/14/generasi-oplos/
BERITA mengejutkan itu datang dari ujung timur Jawa Barat, Indramayu. Empat belas orang tewas, belasan lain dirawat di rumah sakit setempat. Mereka bertumbangan setelah meminum minuman keras yang dicampur bahan-bahan lain. Sebagian terbesar dari korban itu anak-anak muda, satu lelaki paro baya, dan satu perempuan muda.
Disebut mengejutkan, karena jumlah korbannya demikian banyak. Malah terlalu banyak, kerena sehelai pun nyawa manusia sangatlah berharga. Lebih mengejutkan, karena baru dua tahun silam, insiden serupa di Indramayu merenggut nyawa tujuh anak muda.
Rupanya peristiwa itu tak cukup jadi cambuk untuk mengingatkan masyarakat dan aparat setempat betapa berbahayanya minuman keras beredar tanpa kontrol dan kendali. Apalagi di lingkungan masyarakat yang tingkat pendidikan dan pengetahuannya belum memadai secara merata di tengah kondisi sosial ekonomi yang tidak seimbang.
Indramayu sesungguhnya daerah kaya. Setidaknya kabupaten berpenduduk 1,6 juta jiwa ini merupakan lumbung padi besar yang menyangga dan memberi sumbangan penting bagi ketersediaan pangan secara nasional. Ia juga memiliki Balongan, kilang yang memproduksi 10.500-an barrel bahan bakar minyak setiap hari (data 2003), yang mestinya juga memercikkan kemakmuran bagi penduduk sekitarnya.
Namun kekayaan Indramayu ternyata belum mampu menyejahterakan warganya. Jika tidak, tak mungkin ada sekitar 1 juta penganggur di daerah itu (data 2006). Tak mungkin pula 90.000 warganya terpaksa mengais-ais rejeki di negeri orang sebagai tenaga kerja Indonesia. Sekitar 75 persen dari jumlah itu adalah para perempuan yang kebanyakan bekerja di sektor domestik. Kata lain untuk jongos.
Jika daerah itu sudah memberi peluang memadai bagi warganya untuk menyejahterakan diri, tak mungkin pula ribuan perempuan Indramayu melata-lata di keremangan dunia malam kota besar di berbagai pelosok di Tanah Air, dan itu tidak pernah terpantau jumlah maupun mobilitasnya.
Apakah kondisi seperti itu juga yang kemudian merangsang segelintir penduduknya untuk mengakrabi kebiasaan mabuk-mabukan? Belum jelas benar. Yang jelas, kemiskinan memang seringkali dianggap sebagai akar dari sejumlah masalah sosial. Satu di antara masalah itu adalah kebiasaan mabuk-mabukan.
Boleh jadi, dengan mabuk -lantas tertidur- orang "melupakan" sejenak kesulitan hidupnya. Tapi kebiasaan itu juga menyeret dampak buruk lain, yakni tingginya angka kriminalitas. Kalau orang itu minum untuk diri sendiri sampai mabuk sekali pun, dan langsung mendengkur begitu teler, tak jadi soal. Yang repot dalah para peminum tanggung yang gentayangan lalu ngoceh sana-sini dan tindakannya kurang terkontrol sehingga kadang memancing keributan.
Bagi sebagian penduduk di suatu daerah miskin di bagian timur Indonesia di mana minuman keras -olahan tradisional- sudah jadi minuman sehari-hari, banyak warga yang memang minum sampai mabuk. Biasanya, mereka membeli minuman setelah barang hasil bumi mereka laku di pasar. Selain digunakan untuk membeli keperluan hidup keluarga, mereka juga menyisihkannya untuk membeli minuman lokal, dan meminumnya sampai mabuk dan tertidur, (http://yusranpare.wordpress.com/2007/10/21/pendekar-mabuk/).
Di kota-kota besar, ada kecenderungan pada sebagian orang jalanan meminum minuman keras semata untuk stimulan. Mereka sengaja mabuk -atau setidaknya tampil seperti sedang mabuk- untuk meningkatkan efek teror terhadap sasaran yang akan dipalak atau diperasnya.
Dalam kasus Indramayu, tampaknya para peminum itu bukan semata untuk dirinya sendiri agar sekejap bisa melarikan diri dari ralitas, melainkan sudah sampai pada tahap memburu kepuasan maksimum secara bersama-sama dengan cara cepat, mudah, dan murah, karena memang sebatas itulah yang mereka mampu.
Ketidaktahuan dan keterbatasan pemahaman yang mungkin disebabkan kurangnya pendidikan -yang konon karena kemiskinan- di tengah kendornya pengawasan antarsesama warga, telah membuat orang gegabah mencampuradukkan bahan-bahan untuk dikonsumsi, sehingga jadi cairan maut yang menewaskan lebih selusin orang.
Ini harus jadi bahan renungan dan pelajaran bagi segenap pihak, sebab ini bukan peristiwa yang bisa dibiarkan berlalu begitu saja. Kejadian seperti ini tak pantas terus terulang, di Indramayu atau di manapun di wilayah tanah air. (*)
http://yusranpare.wordpress.com/2008/09/14/generasi-oplos/
Minuman Keras Beracun Sudah Tewaskan 16 di Indramayu
Cirebon, (ANTARA News) - Korban tewas akibat minuman keras (Miras) di Kabupaten Indramayu bertambah menjadi 16 orang.Selain itu, belasan korban lain dirawat di berbagai rumah sakit.
Sabtu malam (13/9/2008) kembali jatuh korban tewas yaitu Waskum, asal Desa Cibereng, Kecamatan Terisi, di RSUD Indramayu.
Sebelumnya pada Jumat (12/9), Roni (35) warga Karangasem, Ludoyong, Kecamatan Terisi, tewas di rumahnya. Pada Kamis, Slamet (40), warga Desa Tulungagung, Kecamatan Kertasmaya, juga meninggal akibat minuman tersebut.
Korban tewas akibat miras beracun itu mulai berjatuhan sejak Senin (8/9) lalu, dengan tanda-tanda yang sama yaitu pusing, perut panas, kemudian kehilangan kesadaran antara 5 sampai 12 jam setelah meneggak minuman itu.
Sejak itu, para korban mulai dilarikan keluarganya ke sejumlah rumah sakit, umumnya sudah dalam kondisi tak sadarkan diri. Terakhir Ahmad Rivai (20) warga Karangasem, Ludoyong, Kecamatan Terisi, masuk ke Rumah Sakit Bhayangkara Indramayu (RSBI) pada hari Sabtu (13/9) kemarin sekitar pukul 02.00 WIB.
Saat ini tercatat 18 orang yang masih dirawat di berbagai rumah sakit, namun diperkirakan jumlah korban masih cukup banyak karena sebagian dirawat di rumah.
Semula, pesta Miras diketahui hanya terjadi di Kecamatan Losarang, namun ternyata sebaran miras yang dijual murah antara Rp11.000 sampai Rp15.000 per botol juga menjangkau Kecamatan Gabuswetan, Terisi, Kandanghaur, dan Kertasmaya.
Kepala RSBI, Kompol dr Asep Hendradiana Sp.An, M.Kes, menjelaskan bahwa seluruh korban tewas maupun kritis, mengalami keluhan yang sama yakni penglihatan kabur, mual, muntah, pusing, dan sulit bernapas.
"Para korban mengalami gejala keracunan alkohol.Diduga bahan racikan Miras itu mengandung racun," katanya.
Beberapa korban mengungkapkan, mereka mencampur juga dengan "lotion" anti nyamuk sehingga daya racunnya semakin bertambah.
Asep masih menunggu hasil laobratorium dari urine dan muntahan para korban untuk mencari sebab utama kematian para korban.(*)
http://www.antara.co.id/arc/2008/9/14/minuman-keras-beracun-sudah-tewaskan-16-di
indramayu/