Oleh Yosep Sudarso
DURANTE degli Alighieri, alias Dante (1 Juni 1265 - 13/14 September 1321), penyair dari Firenze, Italia, itu pernah berkata, "Kalau Anda memberi orang cahaya, ia akan menemukan jalannya sendiri." Menjelang usia emas NTT Desember nanti, petuah Dante ini bisa memberi inspirasi terutama dihubungkan dengan fakta 98.230 penganggur masih menyebar di 20 kabupaten/kota se-NTT (data Dinas Nakertrans NTT per 13 September 2008).
Persoalan tenaga kerja memang bukan persoalan NTT semata melainkan permasalahan global. Rasio yang tidak seimbang antara lapangan kerja yang tersedia dengan penambahan usia produktif menjadi penyebab utama masalah ini. Di NTT, rata-rata lowongan kerja setiap tahun hanya mampu menyerap sekitar belasan ribu tenaga kerja. Itu pun sebagiannya disumbangkan dari pos penerimaan CPNSD.
Walaupun demikian, data dari Dinas Nakertrans NTT juga memperlihatkan fakta lain yang menarik. Di tengah-tengah kesulitan pencari kerja mendapatkan pekerjaan, ternyata hingga September masih ada 206 lowongan kerja pada sektor swasta yang belum terisi.
Pelaksana Tugas (Plt) Kadis Nakertrans NTT, Lanang Ardike, berpendapat, lowongan kerja yang belum terisi ini disebabkan antara lain tidak tersedianya tenaga sesuai dengan kebutuhan. Beberapa kontraktor, misalnya, membutuhkan tenaga sopir alat-alat berat, namun di NTT berlimpah sopir angkot dan bus. Demikian pula tenaga-tenaga khusus untuk mencuci mutiara masih dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan pengembang mutiara di NTT.
Merujuk pada penjelasan ini, ternyata persoalan tidak terserapnya sejumlah lowongan terkait erat dengan Sumber Daya Manusia (SDM). Tentang hal ini, saya teringat pada ucapan Frans Seda, salah satu tokoh nasional asal NTT. Pada sebuah kesempatan di Hotel Kristal, ketika menemani Direktur Kelomok Kompas Gramedia (KKG), Yacob Utama, ia berucap, pemerintah dan seluruh rakyat sebaiknya memfokuskan perhatian pada pendidikan, entah formal maupun informal. Dengan topografi NTT seperti ini, menurutnya, sumber dana yang terbatas sebaiknya "diboroskan" pada peningkatan SDM.
Seda, saat itu, menyoroti perlunya disiapkan tenaga-tenaga terampil pada bidang yang cocok dengan alam NTT, seperti tenaga PPL pertanian, peternakan dan kelautan. Tetapi ia juga tidak lupa menggarisbawahi pentingnya ditanamkan keuletan bekerja, semangat gotong royong, pola hidup sederhana dan gemar menabung. Watak-watak ini dibutuhkan dalam membentuk karakter seseorang agar berdaya saing dan survive dalam persaingan dewasa ini.
Problematika tenaga kerja di NTT dewasa ini memang jauh lebih kompleks dari beberapa dekade lalu. Di kampung-kampung di beberapa kabupaten seperti Lembata, Flores Timur, Sikka, dan Ende, persoalan tenaga kerja sudah hampir sama usianya dengan perjalanan propinsi ini. Tidak ada dokumen tertulis, tetapi pengalaman menunjukkan di daerah-daerah itu fakta pengiriman tenaga kerja (baca: merantau) sudah berlangsung sejak tahun enam puluhan. Nama-nama tempat seperti Tawau, Kinabalu, Johor tidak lagi asing bagi warga-warga di pedalaman Adonara, Flores Timur, di daerah timur Sikka ataupun di sebagian wilayah Lio, Ende.
Awalnya, perantauan dilakukan oleh segelintir orang tetapi sejak dasawarsa 70-an hingga saat ini, perantauan sudah menjadi tren yang digemari warga NTT tidak saja dari kabupaten-kabupaten yang disebutkan tadi. Beberapa tahun terakhir, dengan agak gampang kita menyaksikan pengiriman tenaga kerja baik legal maupun ilegal dari kabupaten lain di daratan Timor, Sumba, Alor, Rote Ndao serta Manggarai, Ngada dan Nagekeo di Pulau Flores.
Bila dicermati lebih jauh, perantauan atau dalam bahasa birokrasi pengiriman TKI adalah strategi untuk mengatasi kemelut ekonomi. Artinya, faktor ekonomi masih menjadi pemicu utama keputusan seorang perantau pergi ke Tawau ataupun kebijakan pemerintah setempat mengirim TKI. Data terakhir menunjukkan, selama 2008 sudah 7.476 TKI (di antaranya 6.558 perempuan) yang dikirim ke luar negeri. Jumlah yang tidak jauh berbeda, terjadi setiap tahun dalam lima tahun belakangan.
Tetapi pada titik ini, kita dihadapkan dengan sebuah ironi. Setiap tahun, tidak kecil juga jumlah orang dari daerah lain di negeri ini yang menyerbu NTT. Para pedagang bakso dari Jawa, pengusaha rumah-rumah makan dari Padang, pedagang beras dan kayu dari Makassar adalah fakta di depan mata kita bahwa bumi NTT ternyata masih bisa memberikan kehidupan, bahkan berlimpah, kepada anak- anaknya.
Di saat kita merayakan emas NTT, bisakah ironi ini menjadi pijak permenungan kita bersama? Mengapa kita tidak berani membalikkan kebijakan untuk tidak terlalu gencar mengampanyekan pengiriman TKI? Bukankah persoalan perantauan tidak sedikit meninggalkan pula ekses sosial dalam rumah tangga dan masyarakat?
Radzi Saleh, dalam bukunya, "Breaking Fee, Harga Sebuah Kesuksesan," mengisahkan perjuangannya sebagai seorang anak desa yang mampu membawa ribuan orang mencapai impiannya masing-masing. Mengutip Denis Waitley, ia menulis, dalam hidup ini hanya ada dua pilihan: menerima keadaan hidup sebagaimana adanya atau menerima tanggung jawab untuk mengubah keadaan itu.
"Kunci sukses saya, ialah, saya memilih yang kedua, bahkan saya merasa bertanggung jawab untuk selalu mendorong siapa pun untuk memilih hal itu-- menerima tanggung jawab untuk mengubah keadaan hidup kita," kata Radzi Saleh.
Jiwa enterpreneur. Semangat kewirausahaan. Barangkali inilah kekurangan kita rakyat NTT. Tidak perlu semua tenaga kerja produktif memiliki jiwa ini. Namun dari 4 juta lebih penduduk NTT, sekiranya satu sampai lima persen di antaranya berjiwa wirausaha, bisa dipastikan taraf dan mutu hidup masyarkat kita jauh lebih baik.
Tidak fair bila ikhtiar ini kita bebankan semata pada pemerintah. Meskipun duet Lebu Raya-Esthon Foenay ketika dalam kampanye mencari simpati masyarakat sudah menjanjikan membuka lapangan kerja, tanggung jawab mestinya tetap dibebankan pada pundak kita bersama. Tentu untuk satu tujuan: demi generasi NTT lima puluh tahun ke depan. *
Pos Kupang edisi Sabtu, 20 September 2008 halaman 1
DURANTE degli Alighieri, alias Dante (1 Juni 1265 - 13/14 September 1321), penyair dari Firenze, Italia, itu pernah berkata, "Kalau Anda memberi orang cahaya, ia akan menemukan jalannya sendiri." Menjelang usia emas NTT Desember nanti, petuah Dante ini bisa memberi inspirasi terutama dihubungkan dengan fakta 98.230 penganggur masih menyebar di 20 kabupaten/kota se-NTT (data Dinas Nakertrans NTT per 13 September 2008).
Persoalan tenaga kerja memang bukan persoalan NTT semata melainkan permasalahan global. Rasio yang tidak seimbang antara lapangan kerja yang tersedia dengan penambahan usia produktif menjadi penyebab utama masalah ini. Di NTT, rata-rata lowongan kerja setiap tahun hanya mampu menyerap sekitar belasan ribu tenaga kerja. Itu pun sebagiannya disumbangkan dari pos penerimaan CPNSD.
Walaupun demikian, data dari Dinas Nakertrans NTT juga memperlihatkan fakta lain yang menarik. Di tengah-tengah kesulitan pencari kerja mendapatkan pekerjaan, ternyata hingga September masih ada 206 lowongan kerja pada sektor swasta yang belum terisi.
Pelaksana Tugas (Plt) Kadis Nakertrans NTT, Lanang Ardike, berpendapat, lowongan kerja yang belum terisi ini disebabkan antara lain tidak tersedianya tenaga sesuai dengan kebutuhan. Beberapa kontraktor, misalnya, membutuhkan tenaga sopir alat-alat berat, namun di NTT berlimpah sopir angkot dan bus. Demikian pula tenaga-tenaga khusus untuk mencuci mutiara masih dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan pengembang mutiara di NTT.
Merujuk pada penjelasan ini, ternyata persoalan tidak terserapnya sejumlah lowongan terkait erat dengan Sumber Daya Manusia (SDM). Tentang hal ini, saya teringat pada ucapan Frans Seda, salah satu tokoh nasional asal NTT. Pada sebuah kesempatan di Hotel Kristal, ketika menemani Direktur Kelomok Kompas Gramedia (KKG), Yacob Utama, ia berucap, pemerintah dan seluruh rakyat sebaiknya memfokuskan perhatian pada pendidikan, entah formal maupun informal. Dengan topografi NTT seperti ini, menurutnya, sumber dana yang terbatas sebaiknya "diboroskan" pada peningkatan SDM.
Seda, saat itu, menyoroti perlunya disiapkan tenaga-tenaga terampil pada bidang yang cocok dengan alam NTT, seperti tenaga PPL pertanian, peternakan dan kelautan. Tetapi ia juga tidak lupa menggarisbawahi pentingnya ditanamkan keuletan bekerja, semangat gotong royong, pola hidup sederhana dan gemar menabung. Watak-watak ini dibutuhkan dalam membentuk karakter seseorang agar berdaya saing dan survive dalam persaingan dewasa ini.
Problematika tenaga kerja di NTT dewasa ini memang jauh lebih kompleks dari beberapa dekade lalu. Di kampung-kampung di beberapa kabupaten seperti Lembata, Flores Timur, Sikka, dan Ende, persoalan tenaga kerja sudah hampir sama usianya dengan perjalanan propinsi ini. Tidak ada dokumen tertulis, tetapi pengalaman menunjukkan di daerah-daerah itu fakta pengiriman tenaga kerja (baca: merantau) sudah berlangsung sejak tahun enam puluhan. Nama-nama tempat seperti Tawau, Kinabalu, Johor tidak lagi asing bagi warga-warga di pedalaman Adonara, Flores Timur, di daerah timur Sikka ataupun di sebagian wilayah Lio, Ende.
Awalnya, perantauan dilakukan oleh segelintir orang tetapi sejak dasawarsa 70-an hingga saat ini, perantauan sudah menjadi tren yang digemari warga NTT tidak saja dari kabupaten-kabupaten yang disebutkan tadi. Beberapa tahun terakhir, dengan agak gampang kita menyaksikan pengiriman tenaga kerja baik legal maupun ilegal dari kabupaten lain di daratan Timor, Sumba, Alor, Rote Ndao serta Manggarai, Ngada dan Nagekeo di Pulau Flores.
Bila dicermati lebih jauh, perantauan atau dalam bahasa birokrasi pengiriman TKI adalah strategi untuk mengatasi kemelut ekonomi. Artinya, faktor ekonomi masih menjadi pemicu utama keputusan seorang perantau pergi ke Tawau ataupun kebijakan pemerintah setempat mengirim TKI. Data terakhir menunjukkan, selama 2008 sudah 7.476 TKI (di antaranya 6.558 perempuan) yang dikirim ke luar negeri. Jumlah yang tidak jauh berbeda, terjadi setiap tahun dalam lima tahun belakangan.
Tetapi pada titik ini, kita dihadapkan dengan sebuah ironi. Setiap tahun, tidak kecil juga jumlah orang dari daerah lain di negeri ini yang menyerbu NTT. Para pedagang bakso dari Jawa, pengusaha rumah-rumah makan dari Padang, pedagang beras dan kayu dari Makassar adalah fakta di depan mata kita bahwa bumi NTT ternyata masih bisa memberikan kehidupan, bahkan berlimpah, kepada anak- anaknya.
Di saat kita merayakan emas NTT, bisakah ironi ini menjadi pijak permenungan kita bersama? Mengapa kita tidak berani membalikkan kebijakan untuk tidak terlalu gencar mengampanyekan pengiriman TKI? Bukankah persoalan perantauan tidak sedikit meninggalkan pula ekses sosial dalam rumah tangga dan masyarakat?
Radzi Saleh, dalam bukunya, "Breaking Fee, Harga Sebuah Kesuksesan," mengisahkan perjuangannya sebagai seorang anak desa yang mampu membawa ribuan orang mencapai impiannya masing-masing. Mengutip Denis Waitley, ia menulis, dalam hidup ini hanya ada dua pilihan: menerima keadaan hidup sebagaimana adanya atau menerima tanggung jawab untuk mengubah keadaan itu.
"Kunci sukses saya, ialah, saya memilih yang kedua, bahkan saya merasa bertanggung jawab untuk selalu mendorong siapa pun untuk memilih hal itu-- menerima tanggung jawab untuk mengubah keadaan hidup kita," kata Radzi Saleh.
Jiwa enterpreneur. Semangat kewirausahaan. Barangkali inilah kekurangan kita rakyat NTT. Tidak perlu semua tenaga kerja produktif memiliki jiwa ini. Namun dari 4 juta lebih penduduk NTT, sekiranya satu sampai lima persen di antaranya berjiwa wirausaha, bisa dipastikan taraf dan mutu hidup masyarkat kita jauh lebih baik.
Tidak fair bila ikhtiar ini kita bebankan semata pada pemerintah. Meskipun duet Lebu Raya-Esthon Foenay ketika dalam kampanye mencari simpati masyarakat sudah menjanjikan membuka lapangan kerja, tanggung jawab mestinya tetap dibebankan pada pundak kita bersama. Tentu untuk satu tujuan: demi generasi NTT lima puluh tahun ke depan. *
Pos Kupang edisi Sabtu, 20 September 2008 halaman 1