In Memoriam Pater John Dami Mukese, SVD


John Dami Mukese (kanan)

"Kain kafan telah terbentang
Ciptakan tata warna tembus pandang 
Pada corak-corak abadi busana kematian 
Yang tak pernah berdusta 
Tentang liku-liku hidup kita"

(Kematian, karya John Dami Mukese)

POS KUPANG-- Kutipan di atas adalah penggalan puisi karya John Dami Mukese berjudul "Kematian". Tentu puisi ini bukan ditujukan pada dirinya sendiri, akan tetapi kematian adalah kepastian, dan kepastian itu kini bersamanya.

 Penyair metafor John Dami Mukese, SVD -biasa disapa Pater Dami. Pada puisi "Deburan Cinta Kedua "John Dami Mukese menulis "Deburan ombak Nanganesa -Deburan cintaku yang kedua -Buah-buah perawan kekasihku -sempurnakan citra keperawananku."


Demikian pula dalam puisi "Semadi" ditulisnya "Di tepi kali kecil aku bersemadi -Sendirian ditemani percak-percik air ... Pada angkasa sunyi mengembara -Membawa aku pulang ke mayapada."

Pater John Dami Mukese, sudah pulang ke keabadian. Penggalan puisi "Kematian", secara tegas mengatakan bahwa kematian tidak pernah berdusta setelah menyerahkan segenap hidupnya sebagai imam biarawan.

Cintanya pada panggilan hidupnya adalah cinta pertama, sedangkan hal-hal lainnya adalah "cinta kedua". hal ini digambarkan secara metaforis melalui simbol-simbol alam. Kenyataan yang menjelaskan bahwa kepenyairannya berakar pada pengalaman masa kecilnya.

 John Dami Mukese: belum selesai

Sekitar tahun 2005 bersama Pater Paul Budi Kleden, SVD kami berencana menulis tentang kepenyairan Pater Dami sebagai hadiah pesta perak tahbisannya sebagai imam.

 Pada waktu itu, Pater Budi sudah siapkan tulisannya. Suster Wilda pun (kalau tidak salah ingat) juga sudah mengirim tulisannya untuk Pater Dami.

Saya sendiri bersama Ida Ayu Sruthy siapkan tulisan berjudul "Pandangan Dunia Penyair Musim Kesenangan Sekali."

 Membaca puisi-puisi Mukese, kami berdua sebenarnya berjalan bersama puisi-puisinya. Kami pergi ke kampung halaman, masa kecil, kehidupan keluarga, dunia dan alam kehidupan Mukese sendiri. Kami mencoba menyelam dan "hidup bersamanya" ketika  makna alam dan simbol-simbol metaforis yang ditampilkannya berusaha  kami pegang. 

Pater Dami sedang studi doktoral di Manila ketika itu. Dalam salah satu suratnya Pater Dami menulis begini, "Kalau Ibu Mary serius mau melakukan apresiasi hasih karya saya, carilah kesempatan untuk menengok kampung saya sebelum menulis sesuatu tentang dunia kepenyairan saya (eh, kalau saya layak menyandang gelar mulia "penyair" itu)".

Secara fisik kami memang tidak pernah ke Lengko Ajang -Pembe kampung halamannya. Namun kami menemukan "dunia" Mukese melalui
puisi-puisinya. 

Sayangnya kerja bersama Pater Paul Budi Kleden, Suster Wilda, dan Ida Ayu Sruthy tetap tertinggal sebagai draf. Belum selesai belum disentuh kembali, sampai pada hari yang mengejutkan. Pater Dami sudah meninggal.

Musim Kesenangan Sekali
 

 John Dami Mukese dilahirkan di  Menggol, Lambaleda, Manggarai (Flores Barat), 24 Maret 1950.

Sebagaimana yang ditulis Pater Dami sendiri, Menggol, pada tahun 1950-an adalah sebuah Sekolah Dasar Katolik yang termasuk dalam wilayah Paroki Benteng Djawa, Hamente atau Kedaluan Lambaleda (sekarang Kecamatan Lambaleda).

  Profesi ayahnya adalah seorang Guru SD.  Tahun 1955, Mukese dan keluarga pindah ke Pembe, Kedaluan Congkar (Manggarai Timur Utara, sekarang dalam wilayah Kecamatan Sambi Rampas).

Pembe kampung asli bapanya. Di kampung inilah  keluarga Mukese menetap sampai sekarang. Mukese lebih  lebih dikenal sebagai "Orang Pembe". Tempat kelahiran, asal daerah orang tua dan keluarganya, sangat berarti bagi perjalanan kreatif Mukese sebagai penyair.

Pater Dami dibaptis oleh P. Anton Moelmann, SVD, seorang misionaris Belanda, yang waktu itu   bertugas asistensi di Paroki Benteng Djawa. P. Anton Moelmann ternyata kemudian menjadi Dosen Mukese di Seminari Tinggi Ledalero dalam mata kuliah Sejarah Filsafat dan Sejarah Gereja.

Ia dibaptis dengan nama Yohanes Damasenus.  Karena salah penulisan, dia  lebih dikenal dengan nama Yohanes Damianus dan disingkat John Dami. Waktu didaftar di Seminari Kisol, namanya hanya  ditulis Damianus Mukese.  

Nama aslinya   adalah Mukese. Nama itu adalah nama buatan atau ciptaan ayahnya sebagai peringatan akan peristiwa penting yang dialaminya bersama keluarga. Mukese adalah akronim dari tiga kata, "Musim Kesenangan Sekali" (gaya bahasa tahun 50-an, menurut Mukese).

Nama ini sudah terlanjur disalahtafsir dan dipopulerkan oleh orang-orang yang tidak tahu persis sejarah namanya. Disebutkan bahwa Mukese berasal dari kata-kata "Musim Kering Sekali". Namun tafsiran terakhir ini menurut Mukese,  sama sekali tidak benar. Bapanya sendiri menjelaskan kepadanya sejarah namanya sebagai berikut.

Makenbat sampai kadimas

Pada tahun 1950, hasil panen sangat melimpah di wilayah Manggarai, khususnya di sekitar Menggol. Keadaan itu persis berlawanan dengan situasi ketika kakak, saudara  lelaki di atasnya, lahir pada tahun 1947.

Pada waktu itu terjadi paceklik hebat. Wabah kelaparan terjadi di mana-mana. Karena itu  dia diberi nama "Makenbat" yang merupakan akronim dari "Masa Kelaparan Hebat". Karena Mukese kemudian lahir dalam musim kelimpahan (kesenangan), musim itu jadi dasar penamaannya, sebagai kontras terhadap nama kakaknya. Jadi tafsiran "musim kering sekali" sama sekali tidak benar.

Selain karena tidak sesuai dengan kisah asli pemberiannya, juga tidak sesuai dengan situasi atau keadaan musim waktu Mukese dilahirkan. Bulan Maret di Manggarai bukanlah musim kering, apalagi musim kering sekali. Di pedalaman Manggarai pada bulan Maret masih banyak turun hujan.

Dalam bulan ini para petani ladang tradisional (tahun 50-an), khusus di wilayah pedalaman Manggarai seperti Menggol, biasanya sedang asyik memanen jagung, ditingkah harapan yang mekar menyaksikan padi juga mulai membunting dan berbunga.

 Satu suasana yang sungguh menciptakan rasa senang atau suka cita.
Bapa dari Mukese  adalah seorang Guru SD yang amat sederhana, tetapi cukup kreatif, terutama dalam soal memberi nama kepada anak-anaknya. Anak ketiga (yang hidup) dalam keluarga,   lahir waktu Jepang masuk Manggarai tahun 1944.

Untuk memperingati peristiwa bersejarah itu Bapa menamai dia "Zahnidam", yang merupakan akronim dari "Zaman Heiho (tentara) Nipon Datang (ke) Manggarai".

Setelah mamanya meninggal (tahun 1960),     menikah lagi tahun 1965. Dari pernikahan ini lahir seorang putera, dan diberinya nama "Kadimas" yang merupakan akronim dari "Karunia di Masa Senja".

Makna Nama Bagi John Dami Mukese

Tentang nama, Shakespeare memang bertanya, "what is in the name?"  Ada apa dengan nama, atau dalam versi lain, mengapa nama begitu dipersoalkan? Bagi Mukese, "nomen ist omen", satu ungkapan Latin yang mau mengatakan bahwa nama, betapa pun sederhananya, memiliki makna atau arti tertentu bagi yang empunya nama.  

Dalam hal Mukese, nama Mukese memiliki pengaruh besar dalam hidupnya. Tidak secara kebetulan Mukese dilahirkan dalam masa yang cukup baik, menyenangkan seperti dikisahkan di atas.

 Dan tidak secara kebetulan pula bapanya memberinya nama yang menyiratkan latar situasi kelahirannya. Baik latar kelahiran  maupun nama, telah memberi warna khas pada kepribadian Mukese sebagai seorang yang cukup riang, tidak berlarut dalam kepedihan, dan cukup optimistik dalam hidup serta punya pandangan positif tentang orang lain dan tentang banyak hal di sekitarnya.

Pandangan positif ini dapat dibaca jelas dalam puisi-puisinya antara lain Mawar Bukit Sion, Dahlia Imanku Untuk Madonna, Maria Irlandia, Bakung Surgawi, Aster Sang Bunda

    Selamat jalan Pater kekasih.
    Engkau pergi ke keabadian
    Bukan pada "Musim Kesenangan Sekali"
    Banyak kisah duka dan luka alam 
    mengulurkan tangan padamu kini
    dari surga kirimkan puisimu di sini 
(maria matildis banda)


Sumber: Pos Kupang 27 Oktober 2017 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes