Wartawan yang Mencintai Profesi Lebih dari Segalanya



Valens Doy
Mengenang 5 Tahun Wafat Valens Doy (3 Mei 2005-3 Mei 2010)

Oleh Steve H Prabowo

“Papa … Papa jangan tinggalin Elva!”

Suasana ruang Intensive Care Unit RSUD Sanglah, Denpasar, mencekam. Gadis itu, Elva, putri sulung wartawan senior Valens Goa Doy, memegang tubuh sang ayah. Sementara sang ibu, Ny Elsa Doy, memegang kaki almarhum.

Air matanya jatuh. Ya, malam itu, Selasa, 3 Mei 2005, Oom Valens – begitu ia biasa dipanggil para murid dan anak buahnya – meninggal dunia.

Beberapa saudara, teman-sahabat dan anak didik Oom Valens yang hadir di ruangan itu tepekur.

Sementara dokter dan paramedis mencoba menyelamatkan hidupnya, yang hadir memanjatkan doa berdasarkan agama dan keyakinan masing-masing.


Tampak sejumlah wartawan dan mantan wartawan Kompas, Damyan Godho, Frans Sarong, juga bekas anak didik almarhum di Persda Kompas-Gramedia seperti Victorawan “Itong” Sophiaan, Sri Unggul Azul dan Suwidi Tono.

Hampir satu jam upaya membuat jantung Oom Valens berdetak dilakukan. Namun, tubuh Oom Valens tetap tak bergerak. Pendiri koran-koran daerah milik Kelompok Kompas-Gramedia itu meninggal dunia.

Azul yang satu jam sebelumnya telah mengabarkan kematian Oom Valens lewat pesan teks kepada rekan-rekan lainnya, menghela nafas panjang. “Gua nyesel kirim berita duka duluan,” keluhnya.

Satu jam sebelumnya, kami, saya, Azul dan Itong, masih berada di luar ICU, ketika Frans Sarong mengabarkan Oom Valens meninggal. Azul langsung mengirim berita duka ke beberapa teman. Kami pun bergegas masuk ruangan tempat Oom Valens dirawat.

Ternyata, dokter dan para pembantunya sedang mengupayakan penyelamatan. Pesan teks Azul rupanya menjadi pesan berantai yang akhirnya, entah dari tangan ke berapa, kembali lagi pada pengirimnya.

Di dipan rumah sakit, tubuh Oom Valens membujur dikelilingi keluarga dekatnya, Tante Elsa, Elva dan Alex Doy, juga saudara kandungnya, Tante Waldeet dan Romo Frans Doy Pr. Isak tangis masih terdengar.

***

Mendengar tangisan dan ratapan Elva, ingatan saya kembali ke belasan tahun silam. Tepatnya tahun 1989. Oom Valens yang tengah membuka Harian Surya di Surabaya, lebih banyak tidur di mes kantor Jl Basuki Rachmat ketimbang bersama keluarganya di Jl Tumapel.

Malah, ia lebih suka tidur di ruang lay out, ketimbang di kamar mesnya.
Istrinya, Tante Elsa, setiap hari mengirim makanan ke kantor.

“Gila si Oom itu,” kata Manuel Kaisiepo, redaktur saya, ketika ngopi di kantin Gramedia. “Anaknya sudah lima hari di rumah sakit, dia baru tadi jenguk,” imbuh Manuel.

Hari itu memang hari kelima Elva dirawat di rumah sakit. Baru hari itu pula, Oom Valens menjenguk putri sulungnya.

“Nggak sempat,” kata Oom Valens, tertawa ketika saya tanya. “Mana sempat urus yang begitu-begitu (keluarga, pen), kalau kalian masih bikin berita biasa-biasa saja,” ujarnya.

Bagi Valens waktu itu, keluarga nomor dua. Pekerjaan nomor satu. Tapi itu berubah menjelang akhir hidupnya.

Sekitar seminggu sebelum meninggal, ketika hendak makan malam di rumah makan seafood di Cikini Raya, Oom Valens meminta saya ikut mobilnya, sementara teman lain berangkat duluan. Di mobil ia berpesan: “Keluarga itu yang paling penting. Jangan sia-siakan mereka, jaga mereka.”

Mereka yang mengenal Valens, pasti tidak percaya kalimat itu keluar dari mulutnya.

***

Berita adalah hidup sehari-hari Valens. Hidupnya dari deadline ke deadline. Selesai produksi, waktu itu koran masih sering terlambat, sekitar pukul 01.00 WIB, ia sudah rapat dengan para redaktur dan redaktur pelaksana.

Oom Max Margono, Trias Kuncahyono, dan (pada awal-awal Surya terbit) Oom Peter A Rohi, merupakan teman rapat rutinnya setiap dini hari.

Dalam rapat, ia menyusun penugasan kepada para redaktur dan kepala biro, untuk diteruskan kepada reporter-reporternya di lapangan esok harinya. Penugasannya begitu detil dan jelas.

Usai rapat, biasanya koran sudah terbit. Ia langsung memeriksa semua halaman, tak terlewat satu pun. Mencoret-coret koran dengan pena, baik untuk evaluasi maupun untuk dikembangkan lagi beritanya.

Pekerjaan ini biasanya dilakukan sampai subuh.

Pukul 08.00 WIB, Valens sudah rapi duduk di ruang rapat dengan koran yang sudah dicorat-coret di hampir setiap halamannya. Ia siap memimpin rapat redaksi pagi.
Usai rapat dengan redaksi, ia biasa juga mengadakan rapat dengan tim bisnis yang waktu itu dipimpin Herman Darmo.

Sore ia sudah memimpin rapat budgeting. Kantor yang sejak siang sepi, ramai oleh suara ketukan tuts kibor. Canda dan obrolan wartawan terdengar. Di antara hiruk pikuk itu, yang paling keras adalah suara Valens Doy. Teriakan, teguran, bahkan ketawanya terdengar dari depan sampai mes belakang kantor.

Begitulah kegiatan sehari-hari Valens Doy. Rutin, tapi penuh ketegangan, terutama bagi bawahannya.

“Dia memang kerja seperti kuda,” kata DJ Pamoedji, wartawan senior Kompas, saat menunggu jenazah disemayamkan di ruang duka.

Di proyek Surya, Mas Pam pernah berantem hebat dengan Oom Valens. Gara-garanya, Pamoedji marah diajak rapat pukul 03.00. “Emang semua kaya lu, kerja kaya kuda!” bentak Pamoedji, ketika pintu kamarnya diketuk Valens. “Orang perlu istirahat!”
Mereka bertengkar hebat, sampai-sampai Pamoedji membanting pintu. “Gua pulang (ke Jakarta) besok!” katanya.

Pamoedji benar-benar pulang ke Jakarta hari itu.

Menyadari kehilangan teman kerja yang andal, Valens pun minta maaf dan meminta Pamoedji kembali ke Surabaya, melanjutkan proyek Surya.

Istirahat dan santai adalah dua kata yang mungkin tidak dikenal Valens zaman itu. Bekerja bersama dia, jangan sekali pun berharap bisa bersantai. Ada cerita menarik di proyek penerbitan koran di Ambon, Pos Maluku, tahun 1990.

Suatu hari Sabtu sore (koran tidak terbit hari Minggu), kami – saya, Satrio Hutomo, Muhammad Yamin, dan Adrizon Zubair – berencana santai ke diskotek kota itu. Rencana itu gagal dengan kedatangan Oom Valens ke kantor.

 “Ayo, cicil untuk (terbitan) Senin!” teriaknya ketika kami duduk-duduk di depan kantor. Tommy, panggilan Satrio Hutomo, yang paling kesal. Tak lama kemudian, syukur pada Tuhan … listrik mati!

Si Oom marah besar, memaki-maki PLN karena tulisan dia hilang akibat mati listrik. Tommy menahan tawa, demikian juga Adrizon. Sikap mereka itu membuat saya dan Yamin berpikir bahwa merekalah, atau paling tidak salah satu dari mereka, dalang matinya listrik di kantor Pos Maluku.

***

Bekerja dengan Valens Doy sama artinya dengan menempatkan kantor sebagai rumah pertama, sedangkan tempat tinggal hanya “losmen” tempat berganti baju.

Tanggal 7 Desember 1989 malam, saya bertiga bersama Anwar Hudijono dan Trias Kuncahyono ngobrol-ngobrol sehabis kerja. Salah satu topik obrolan adalah wafatnya KH Ali Maksum hari itu.

Pukul 03.00 dini hari saya pamit. Sesampai di rumah, belum sempat ganti baju, sopir kantor datang. “Mas, dijaluk Oom balik kantor. Nggawa klambi, dikongkon luar kota (Mas, diminta Oom kembali ke kantor. Bawa baju, disuruh ke luar kota),” katanya.

Dini hari itu juga, saya berangkat ke Yogya mengikuti Ano – panggilan Anwar Hudijono – meliput wafatnya KH Ali Maksum. Tentu, dalam hati mengeluh: “Daripada pergi jam segini, kan mending dari tadi. Gak cape.”

Keasyikan ngobrol di kantor kadang ada untungnya. Salah satunya yang dialami Trias Kuncahyono, kini Wapemred Kompas. Hari itu, 26 Desember 1989, sekitar pukul 03.00 WIB, Trias masih berada di mejanya usai ngobrol dengan beberapa reporter dan redaktur.
Entah karena tak bisa tidur, ia iseng-iseng melihat lembaran teleks dari kantor berita. Waktu itu ia memang menangani desk luar negeri.

Tiba-tiba matanya membelalak. Malam hari sebelumnya, ia menulis headline “Ceausescu Ditangkap”. Nicolae Ceausescu memang ditangkap 22 Desember 1989 waktu Bucharest.

Tapi, pagi itu ia menemukan berita pendek, entah dari Reuters atau AFP, diktator Romania itu sudah dieksekusi, 25 Desember 1989 waktu setempat. Langsung ia telepon percetakan untuk stop press. Hari itu, sementara semua koran di Indonesia memasang headline Ceausescu ditangkap, Surya memasang judul “Ceausescu Ditembak”.

Total. Itu kata yang tepat untuk menggambarkan kerja Valens Doy. Ia selalu ingin timnya total bekerja. Awal tahun 1990-an, dan pasti sebelumnya juga, ia dikenal sebagai pribadi yang tanpa kompromi untuk hasil terbaik.

 Seperti yang dilakukannya sendiri, Valens Doy selalu menuntut anak buahnya untuk total dan bekerja keras.

“Kerja keras nggak bikin orang mati,” kalimat itu sering didengar anak didik atau rekan kerjanya.

Tentu bagi yang tidak terbiasa, atau bahkan yang sudah terbiasa sekalipun, bekerja sama dengan Valens Doy kadang merupakan siksaan. Baru datang liputan, sudah disuruh berangkat lagi. Entah untuk melengkapi hasil liputan yang dirasa kurang, atau liputan baru lagi.

***

Bagi yang mengenal dia, Valens Doy adalah sosok tanpa kompromi. Apa yang diinginkan harus terpenuhi. “Tidak ada sesuatu pun yang tidak bisa dikerjakan,” kata Oom Valens, di suatu hari bulan April 2005, saat rehat setelah seharian kami bertiga – Oom Valens, Azul Sjafrie dan saya – berdiskusi membahas konsep koran baru milik Grup MNC, Seputar Indonesia.

Ia lalu bercerita tentang awal-awal proyek Surya. Dari cerita itu, tampak jelas sosok seorang Valens yang penuntut, tanpa kompromi.

Ketika memulai proyek Surya, tutur Valens, ia sudah mensyaratkan adanya percetakan sendiri. Dengan saingan Jawa Pos yang sudah meraja, mustahil menerbitkan koran tanpa percetakan sendiri.

Tidak hanya meminta mesin cetak sendiri, Valens Doy juga menuntut mesin harus sudah siap saat dummy koran. Itu artinya, mesin harus sudah siap cetak tiga bulan dari saat kick off.

Tentu saja para ahli percetakan dari Kelompok Kompas Gramedia langsung menggeleng.
“Tidak mungkin,” kata mereka. Mesinnya saja saat itu masih di Jerman. Perjalanan ke Indonesia butuh lebih dari seminggu. Belum lagi fondasi untuk mesin cetak yang menurut mereka butuh paling cepat dua minggu. Ditambah lagi waktu merakit mesinnya.

Bukan Valens Doy kalau ia menyerah pada argumentasi semacam itu. Ia tetap ngotot mesin harus sudah siap cetak dalam waktu tiga bulan. “Nggak ada mesin, nggak ada koran,” ultimatumnya. Ia benar-benar tidak mau kompromi sedikit pun.

Tim percetakan rapat mencari cara untuk mempersiapkan mesin. Akhirnya ditemukan cara, dengan melakukan semua pekerjaan secara paralel. Baik persiapan mesin, pembuatan fondasi untuk gedung percetakan, sampai perakitan mesin, semua dilakukan bersamaan.
Hasilnya, ketika gedung dan konstruksi untuk mesin selesai, mesin pun tiba di Surabaya, tinggal memasangnya. Semuanya tepat waktu.

“Yang dibutuhkan cuma kemauan berpikir di luar frame,” kata Valens, mengakhiri ceritanya.

Jangan pernah bilang “tidak” di depan Valens Doy. Ia tidak akan mendengarnya. Kata “tidak” mungkin tidak ada dalam perbendaharaan otaknya. Kalimat “Ya, Oom!” biasanya otomatis keluar dari mulut, begitu Valens Doy memberi perintah. Bahkan, seringkali belum habis ucapan Valens, anak buahnya sudah menjawab: “Ya, Oom!”

Tidak bisa adalah kalimat tabu bagi dia. Setelah harian Pos Kupang terbit, saya ditugaskan Valens Doy ke Dili untuk proyek Suara Timor Timur (STT). Oom masih di Kupang ketika saya tiba di Dili. Dia menyusul keesokan harinya. Tiga hari ke depan STT harus sudah terbit.

Tiba di kantor STT saya agak pesimistis. Di kantor cuma ada tiga komputer, dua desktop dan satu laptop milik Oom Valens. “Pasti bisa. Harus bisa,’’ kata si Oom. Dari sisi kesiapan redaksi mungkin tidak masalah, karena sebagian wartawan dan redaktur sudah berpengalaman.

Kebanyakan dari Majalah Dian yang terkenal sebagai tempat belajar wartawan asal NTT. Tapi dari sisi infrastruktur? Bagaimana mungkin tiga komputer, salah satunya untuk layout, bisa mendukung deadline?

Benar. Koran bisa terbit sesuai jadwal, meski deadline molor tiga jam. Pagi itu juga, semua koran yang dicetak habis terjual. Tak satu pun koran masih tersisa di kantor, termasuk untuk dokumentasi ikut dijual juga.

***

Tampang sadis, jiwa romantis. Itu ungkapan saya untuk Valens Doy. Meski tanpa kompromi untuk tugas, ternyata hatinya sangat lembut. Ia mudah tergerak hatinya melihat penderitaan orang lain.

Satu peristiwa yang melekat di ingatan saya tentang hal ini. Tahun 1990, saya diajak Oom Valens ikut serta di proyek penerbitan Tifa Irian di Jayapura, Papua. Seperti biasa, tangan besi dipakai Valens di koran baru ini. Ia tak bisa melihat siang hari wartawan masih di kantor.

“Oom istirahat sebentar ya,” katanya pada saya, sambil naik tangga menuju attic kantor yang sehari-hari dijadikan tempat tidur wartawan Tifa malam hari. Sejenak kemudian saya terkejut oleh suara Oom. “Jam segini belum berangkat?” bentaknya marah. Rupanya di atas masih ada seorang wartawan yang masih “di kamar”.

“Tidak bisa bekerja, Bapa,” kata wartawan itu ketakutan. “Harus cuci baju,” lanjutnya. Alasan itu membuat Valens tambah naik pitam. Alasan yang tak masuk akal, masakan mencuci baju saja harus mengorbankan pekerjaan. Rupanya si wartawan hanya punya sepotong baju yang dicuci seminggu sekali.

Mendengar pengakuan wartawan itu, Oom terdiam. Ia menengok ke arah lain, dan turun. Saya lihat matanya berkaca-kaca. Setelah bisa menguasai diri, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan uang dari dompetnya. “Kau belilah baju,” katanya.

Valens Doy menangis. Mungkin tak banyak orang punya kesempatan istimewa melihat hal itu. Kenangan Oom Valens menangis itulah yang melintas di pikiran saya ketika melihat tubuhnya terbujur diam di RSUD Sanglah, 3 Mei 2005 malam itu.

Isak tangis dan untaian doa masih terdengar. Valens Doy masih dikelilingi dokter dan perawat yang mencopoti alat-alat penyelamatan di tubuhnya. Ia diam, wajahnya tenang seperti sedang tidur. Wartawan yang mencintai profesinya melebihi apa pun itu telah pergi. ***

Sumber: Facebook Steve H Prabowo
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes