ilustrasi |
Jika tuan ingin mencintai sebuah kota, selami kegundahannya untuk mengerti seberapa kerap dia terbahak.
Ada pula yang bilang, selama berabad-abad, manusia selalu membangun kota dan kota membentuk karakter dan kultur manusianya.
Batavia dari purnama ke purnama telah membuat orang jatuh cinta. Entah cinta yang terstimuli motif ekonomi, politik pun kekuasaan. Begitulah.
Sebagai ibu kota negara bangsa-bangsa Nusantara, Jakarta merupakan episentrum hampir segalanya.
Ya politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Kemakmuran, kemasyuran, kemuliaan, kejayaan.
Serentak pula Jakarta bugil berwajah kemiskinan, kejahatan, tragedi, pengkhianatan, dusta serta nestapa.
Manusia membangun kota, dan kota membentuk manusia.
Dan, lihatlah betapa Jakarta selama hampir satu abad di bawah tudung NKRI, membentuk manusianya dengan moda transportasi umum serampangan hingga memendam kerisauan panjang.
Transportasi umum yang buruk bikin warga Jakarta (Jabodetabek) menjerit lirih di tengah gemuruh kemajuan zaman.
Kemacetan telah menjadi bagian keseharian sehingga mereka acap menggoda diri dengan kata-kata “tua di jalan”.
Ya sebagian besar waktunya tersedot untuk perjalanan padat merayap bahkan tersendat berjam-jam.Tak berbilang tekanan fisik dan mental.
Sebuah kota yang sesak, macet dan kini kebanjiran pula. Demikianlah wajah metropolitan Jakarta.
Jadi keputusan pemerintah membangun ibu kota negara yang baru di Kalimantan kiranya baik dalam perspektif Indonesia masa depan.
Juga demi mewariskan sesuatu yang lebih baik bagi generasi berikutnya.
Bahasa kerennya biar Jakarta menjadi kota yang manusiawi. Kota yang (warganya) bahagia, mengutip tekad Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Manusia membangun kota dan kota membentuk manusia.
Senin pekan ini, sebelum pulang ke Denpasar setelah merajut persaudaraan kasih dalam suatu acara keluarga, saya selintas melihat bagaimana Jakarta membentuk perilaku manusianya melalui moda transportasi umum bernama MRT (Mass Rapid Transit) alias Moda Raya Terpadu.
Kebiasaan berdesak-desakan yang dulu jamak di stasiun kereta api kini fakir di mata. MRT bersih, tertib, rapi dan wangi.
Anak milenial, ibu rumah tangga, orang kantoran, pekerja bersandal sampai yang berdasi, cantik, ganteng dan harum, naik MRT dengan bangga.
Batavia berubah. Keberadaan MRT di Jakarta membentuk kultur urban baru yang bikin setiap orang merasa nyaman.
Calon penumpang MRT antre membeli tiket. Tertib.
Jadi terkenang Munich, Bonn, Frankfurt, Istanbul dan beberapa kota di Eropa yang sempat saya jejaki.
Mereka telah terbiasa dengan kultur kereta api bawah tanah sebagai moda transportasi massal yang efisien, murah dan nyaman.
Kawasan sekitar stasiun pemberhentian MRT Jakarta apik tertata. Senang sekali melihat pejalan kaki menjelajahi trotoar yang lega dan bersih. Trotoar tanpa PKL karena fungsinya memang bukan buat pedagang kaki lima.
MRT Jakarta terkoneksi dengan bandara, terminal bus, stasiun kereta api dan pelabuhan.
Informasi praktis jelas terbaca. Memudahkan siapa saja untuk mencobanya.
MRT Jakarta, kendati digerutui sejumlah pihak sebagai telat hadir dan belum sepenuhnya mengatasi kemacetan, setidaknya memberi bukti bahwa moda transportasi massal yang nyaman bisa disediakan bagi rakyat.
Persis seperti kata bijak di atas, manusia membangun kota dan kota membentuk manusianya yang beradab.
Maka bangunlah kota dengan pikiran dan perasaan sebagai manusia.
Bangun kota sebagaimana tuan dan puan dambakan menjadi penghuninya yang bahagia.
Bagaimana Denpasar? Syahdan, sejak abad-abad yang lampau, ibu kota Provinsi Bali ini telah membuat banyak orang jatuh cinta.
Jutaan manusia seantero jagat saban tahun mencumbui indahnya Bali.
Mengagumi setiap debur ombak dan pantainya, budaya dan tradisi, mengecup kehangatan cinta manusianya.
Bali itu sang juita. Punuk bukitnya seksi berisi, sawah ladangnya permai. Lembah ngarai, gunung, danau dan air terjunnya merangsang memikat hati.
Maka berbondonglah orang ke sana.
Dan, mereka yang datang dari lima benua atau delapan penjuru mata angin pastilah pernah menghabiskan malam bersama Denpasar atau lebih persis Sarbagita, akronim Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan – pusat pariwisata Pulau Dewata.
Tak ubahnya Batavia, Denpasar punya sisi yang risau.
Inilah kota tanpa moda transportasi umum terkoneksi - terintegrasi dari bandara, terminal bus, pelabuhan sampai ke permukiman penduduk.
Bus Trans Sarbagita yang diidealkan sebagai tranportasi umum murah dan nyaman, bak pepatah hidup enggan mati pun tak mau.
Pernah berhenti beroperasi lalu diaktifkan lagi. Kini gemagaungnya sayup. Kalah riuh ketimbang protes menolak keberadaan taksi online.
Kemacetan Sarbagita memang belum sesesak Jabodetabek. Tapi saat tertentu dia bisa membuatmu galau.
Selalu ada waktu Jalan By Pass Ngurah Rai pun padat merayap hingga butuh semangkuk kesabaran menanti lalu lintas terurai lancar.
Dengan populasi Sarbagita sekitar 3 juta, dari total 4,2 juta jiwa penduduk Bali (BPS, 2018), urusan yang satu ini bukanlah remeh temeh. Apalagi di ini negeri jumlah kendaraan bermotor hanya mengenal kata tambah.
Entah apa yang terjadi dengan Sarbagita 25 sampai 50 tahun mendatang jika sistem transportasi tidak kita tata apik dan smart sejak sekarang.
Bahkan lima atau 10 tahun lagi pun sudah terbayang betapa repotnya Bali mengurus jalanan agar tetap ramai, lancar, menyenangkan –prasyarat demi terus bergeliatnya destinasi wisata kelas dunia.
Sudah tercetus niat pemerintah membangun rel kereta api serta moda transportasi publik berupa kereta cepat ringan atau Light Rapid Transit (LRT) di Pulau Dewata.
Krama Bali tentu menanti realisasinya. Entah kapan.
Kerisauan Sarbagita pun menyentuh aspek vital sumber daya alam dan daya dukung lingkungan nan asri.
Air tanah atau air bawah permukaan kencang amat tersedot mesin sumur bor.
Perorangan dan institusi ramai-ramai menghujam perut bumi Sarbagita dengan mesin bor.
Kedalaman sumur bervariasi, sekadar puluhan hingga ratusan meter.
Sementara air pemukaan yang melimpah ruah justru menguap percuma ke langit biru dan mengalir sampai jauh. Bergulung-gulung lalu larut di perut Samudera Hindia.
Penggunaan sumur bor di Sarbagita bahkan seluruh Bali cenderung tak terkendali, untuk tidak menyebut kebablasan.
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) pun mengandalkan sumur bor semata.
PDAM Denpasar, seturut data yang pernah diwartakan Tribun Bali, jumlah sumur bor sebanyak 22.
PDAM Badung memiliki 31 sumur bor, PDAM Gianyar 45 sumur bor, PDAM Klungkung 22 sumur bor, PDAM Karangasem 15 sumur bor, PDAM Buleleng 20 sumur bor, PDAM Tabanan 3 sumur bor, dan PDAM Jembrana 10 Sumur bor.
Kendati bor sumur demikian banyak, nyatanya Bali krisis air bersih.
Data Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida menunjukkan potensi air di Bali 216 meter kubik/detik atau setara 216.000 liter/detik.
Potensi air itu berasal dari sungai, danau, mata air, termasuk air tanah. Sementara kebutuhan air bersih di Bali saat ini 119.000 liter/detik.
"Jadi masih ada gap atau kekurangan air bersih sebanyak 18 meter kubik per detik,” kata Kepala BWS Bali-Penida, Airlangga Mardjono dalam diskusi terfokus tentang Danau dan Air di Provinsi Bali yang digelar Ikatan Ahli Geologi Indonesia Bali di Denpasar, medio November 2019.
Air bukan satu-satunya perkara. Kisah Sarbagita adalah cerita tentang sampah yang membuat tunggang langgang.
Tukad (sungai) bercampur limbah sablon tak berizin serta amis TPA Suwung.
Suwung itu artinya sunyi. Tapi Suwung tak lagi senyap di antara nama besar Kuta, Nusa Dua, Sanur, Seminyak, Jimbaran, Ubud, Uluwatu, Canggu, Tanah Lot, Bedugul. Nama Suwung riang mencabik relung ingatan krama Bali hari-hari ini.
Berminggu-minggu sepanjang Oktober-November 2019, heboh pemberitaan tentang Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung.
Hampir semua media terbitan Bali menjadikannya headlines karena Suwung tak sanggup lagi menampung sampah produksi Sarbagita sebanyak 1.200 sampai 1.300 ton per hari.
Bayangkan jumlahnya sebulan hingga setahun? Seluas-luasnya Suwung pada akhirnya akan meluber juga.
Mana mampu menggendong Tsunami sampah sedemikian dahsyat tanpa disertai pengolahan semestinya.
Keputusan Gubernur Bali terbit di penghujung Oktober 2019.
Hanya Denpasar boleh buang sampah ke sana. Badung, Gianyar, Tabanan harus bangun TPA sendiri.
Badung kewalahan. Suwung berubah fungsi. Bukan lagi TPA regional yang dulu didambakan sebagai TPA modern yang antara lain dapat menghasilkan sumber energi terbarukan.
Nasib tukad (sungai) di Sarbagita pun tak seindah namanya.
Hari selasa 26 November 2019, air Tukad Badung yang semula berwarna hijau kecokelatan berubah merah darah.
Fenomena ganjil ini viral. Jadi topik hangat perbincangan warga Kota Denpasar dan sekitarnya.
Merah darah ternyata warna limbah. Buangan pengusaha tekstil celup di Jalan Pulau Misol I, Dauh Puri Kauh Denpasar.
Pasca kejadian ini Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Denpasar sontak mengungkap data lebih menantang.
Semua usaha sablon di kota ini yang jumlahnya kurang lebih 200 tidak mengantongi izin.
Pengusaha sablon pun kucing-kucingan. Siang hari bersikap manis. Pada malam hari mereka buang limbah ke sungai. Duhaienaknya...
Ketika ditanya mengapa pemerintah tidak menutup usaha sablon tak berizin, seorang pejabat enteng berkata Pemerintah Kota Denpasar masih beri toleransi karena berkaitan dengan urusan perut.
Namun, dia meminta pengusaha sablon turut menjaga lingkungan dengan tak membuang limbah sembarangan. Apakah mungkin?
Tukad Bali juga saksi tragedi menikam nurani tatkala tubuh anak manusia dicampakkan begitu saja.
Dua peristiwa teranyar ini sekadar misal. Orok mengambang di Sungai Ayung, Sabtu 18 Januari 2020.
Dua hari berselang, warga Denpasar kembali digegerkan penemuan orok di Tukad Badung, Jl. Imam Bonjol,Banjar Buagan Pemecutan Kelod.
Tubuh mungil rapuh mengapung di dalam tas ransel.
Kedua orok sama-sama berjenis kelamin perempuan. Tubuh mungil mereka tidak utuh lagi. Kepala dan sebagian jari hilang.
Oh Tuhan. Mengapa manusia gampang amat membuang buah cinta?
Hai malaikat kecil, semoga beristirahatlah dalam damai dan kasih ilahi.
Denpasar adalah kota cinta. Destinasi favorit bagi mereka yang sedang honey moon.
Tapi Denpasar tak selalu berdendang indah, semanis ritmis lirik Denpasar moon-nya Maribeth yang pernah tersohor.
Begitulah tuan dan puan. Kota selalu punya sisi risau dalam derap gemuruh pembangunan yang mengasyikkan.
Anda bahagia menghuni Sarbagita? Saya pun tak yakin apakah kaki langit itu sudah tampak di mata.
Semeton Dewata yang budiman, pada akhirnya semua ini bertalian dengan kasih. Memberi diri sebagai urban.
Banyak orang datang dan pergi dari kehidupan kotamu, akan selalu begitu selama rembulan masih bersinar dan matahari rutin menyapa fajar.
Akan tetapi hanya krama bijak yang akan meninggalkan jejak terindah agar Sarbagita menjadi kota yang membahagiakan.
Siapa saja.
Tak mesti kerutkan kening. Setidaknya buanglah sampah pada tempatnya, bukan di tukad atau selokan.
Mau atau tidak, terpulang padamu jua. Matur suksma. (dion db putra)
Sumber: Tribun Bali