Nadus

NADUS sekeluarga akhirnya pulang kampung. Sudah enam belas tahun dia merantau dengan hasil yang bikin kagum. Pekerjaan bagus. Job bergengsi. Punya istri cantik dan dua anak yang sehat. Keluarga di kampung bangga bukan main!
Anak petani yang dulu ke sekolah dasar tanpa alas kaki kini sudah jadi orang penting. Dia pegawai negeri dengan jabatan eselon sekian. Sejak dulu cerita sukses Nadus sudah menjadi buah bibir di kampung.

Cerita kepulangan Nadus cepat menyebar di dusun kecil tempat Nadus dilahirkan. "Nadu walo nua," begitu kata orang-orang. Sudah tradisi di kampung Nadus, kata- kata yang berakhiran dengan konsonan atau huruf mati biasanya hilang dalam tenggorokan saat diucapkan. Nadus disapa tanpa huruf S. Robert disapa Robe. Tinus disapa Tinu saja. Marselus disapa Selu. Oh ya, sebelum tuan dan puan bingung, terjemahan "Nadu walo nua" adalah "Nadus pulang kampung."



Saat liburan sekolah Nadus dan keluarga pulang dengan pesawat terbang. Sang istri yang berasal dari suku berbeda senang bisa segera bertemu dengan mertua dan keluarga besar suaminya. Demikian pula anak-anak Nadus ingin bertemu kakek dan nenek mereka. Lebih dari itu mereka mau melihat kampung kelahiran Nadus yang selama ini hanya mereka dengar dari cerita sang ayah.

Tiba di Kota A, Nadus membuat kejutan bagi istri dan anak. Mereka tidak langsung menuju kampung tetapi ke hotel dan menginap di sana. Nadus beralasan bahwa jarak ke kampung sangat jauh, butuh perjalanan sehari penuh sehingga mereka harus istirahat. Sesungguhnya jarak dari kota A ke kampung Nadus tidak lebih dari 50 km. Mestinya hari itu juga mereka tiba di sana. Nadus menyembunyikan sesuatu dari istri dan anaknya. 

Keesokan harinya, Nadus sekeluarga menuju kampung menggunakan mobil sewaan. Nadus malu ko pakai angkutan umum. Dia tidak menggubris saat istrinya protes mengapa mereka tidak langsung check out dari hotel dan hanya membawa pakaian beberapa potong. "Sudah, nanti saja kita diskusikan. Kita harus buru-buru ke kampung," katanya.

Sekitar satu jam kemudian Nadus bertemu dengan kedua orangtua serta rumpun keluarga yang sudah menanti. Kedatangannya kali ini sangat spesial karena pertama kali dia bersama istri dan anak. Sejak berkeluarga, Nadus sebenarnya sudah beberapa kali pulang tapi selalu sendiri. 

Orangtua Nadus yang sudah renta menangis haru saat menyambut kedatangan menantu dan dua orang cucu yang sedang lucu-lucunya. Meski hidup mereka susah, orangtua itu menjamu dengan baik. Mereka potong ayam kampung, masak beras merah dan sayuran segar bagi Nadus sekeluarga. Kedua anak Nadus terlihat sangat menikmati suasana alam kampung -- sesuatu yang tidak mereka rasakan di kota. 
Kebersamaan yang indah ternoda menjelang senja. Nadus mengajak anak dan istrinya kembali ke kota. Mereka harus menginap di hotel. Nadus malu istri dan anaknya menginap di rumah orangtuanya yang reot. Rumah panggung berdinding bambu beratap seng bekas yang sudah bocor di sejumlah tempat. Di rumah itu pun tak ada tempat tidur dan kasur. Demikian pula dengan kamar mandi dan kakus. Meskipun sang istri mau bermalam di rumah itu, Nadus tetap pada keputusannya. 

"Tidak apa-apa kita nginap di hotel. Orangtua saya mengerti. Kalau menginap di sini anak-anak bisa sakit," katanya memberi alasan. Daripada ribut berkelanjutan dan orang sekampung tahu, istrinya mengalah. Mereka kembali ke kota dilepas dengan tatapan pasrah orangtua Nadus.

Begitulah tuan dan puan, secuil kisah nyata yang terjadi beberapa tahun lalu di salah satu kampung di beranda Flobamora. Anak yang sukses di rantau pulang kampung tapi malu menginap di rumah orangtua sendiri karena tidak memenuhi standar rumah layak huni. Tentu saja tidak semua begitu kelakuannya. Banyak pula perantau yang sangat menikmati tidur di rumah orangtua atau keluarga di kampung -- apapun kondisinya.

Beta belum memiliki data valid apakah pengalaman keluarga Nadus masih terjadi sampai hari-hari ini? Sekadar menduga, boleh jadi masih ada putra-putri NTT yang malu seperti Nadus. Malu karena orangtuanya tinggal di rumah reot. Malu karena orangtua mereka belum mengenal kamar mandi dan kakus. Orangtua kita merasa lebih nyaman membuang hajat di hutan atau di balik pohon rimbun. Tidak mandi seharian tak apa-apa.

"Semestinya kita yang sudah sukses di rantau malu karena gagal mengubah wajah kampung. Kenapa kau tidak bangun rumah layak huni dan sehat bagi orangtuamu?" kata seorang kawan menggugat perhatian.

Kiranya temanku itu benar. Dalam beberapa kesempatan sejak tahun 2009 kuping beta terusik tatkala mendengar sentilan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya tentang apa yang disebutnya sebagai GPK (Gerakan Pulang Kampung). Gubernur mengajak anak-anak NTT untuk membangun kampung halaman masing-masing.

Ikatan keluarga, paguyuban, komunitas atau kelompok arisan yang menjamur di berbagai kota di NTT mestinya menyambut ajakan itu dengan serius lewat agenda aksi terukur. Membangun kampung lewat gerakan masyarakat sipil belum mentradisi di ini propinsi. Baik adanya bila ajakan itu terus kita gaung-gencarkan. Kita jadikan tradisi agar tidak ada lagi Nadus-Nadus baru di masa depan. Tuan ingat kampung halaman? Ayolah! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang, Senin 31 Januari 2011 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes