Catatan Kaki Jodhi Yudono
Pada sebuah senja di akhir bulan maret tahun ini, saya berkenalan dengan seorang lelaki asal Lembata. Namanya Antony Lebuan, Kepala Bidang Pariwisata di Kabupaten Lembata, NTT.
Tony Lembata, begitu ayah dua anak ini minta dipanggil. Sudah sehari semalam dia berada di Jakarta untuk mengawal pameran foto yang mengeksplorasi keindahan Lembata di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona Kementerian Pariwisata, Jakarta, dengan judul "Cinta Lembata, Pesona Indonesia" yang digelar 27 Maret hingga 2 April 2015.
Acara ini diselenggarakan oleh Komunitas Pencinta Indonesia Timur (Kopit) dan didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Sebelum terlibat dalam obrolan yang hangat, sempat juga saya menikmati foto-foto yang dipajang, hasil jepretan para fotografer peserta Festival Adventure Indonesia (FAI) yang mencintai keindahan alam dan budaya Lembata yang mengambil lokasi di Kampung Adat Lamagute, Kampung Adat Ile Lewotolok, Kampung Adat Jontona, Teluk Jontona, Kampung Lamalera, Bukit Cinta/Wolorpass, Pantai Wiajarang, dan Kota Lewoleba.
Bicara tentang Lembata adalah juga bicara tentang perburuan ikan paus. Sebab itulah saya membuka percakapan dengan Tony perihal perburuan ikan raksasa itu.
Tony pun lantas bercerita mengenai tradisi perburuan yang sudah berlangsung ratusan tahun. Tony bilang, musim perburuan ikan paus di Desa Lamalera, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, berlangsung pada Mei hingga Oktober.
Tidak seperti yang dilakukan oleh nelayan-nelayan modern Jepang yang memburu kawanan ikan paus dengan kapal-kapal besar dan canggih, nelayan Lamalera hanya menggunakan peledang, yakni perahu kayu tradisional sebagai sarana perburuan, serta sosok lamafa yang memiliki tugas menikam ikan paus menggunakan sebilah tempuling atau tombak.
Untuk mendapatkan paus, ungkap Tony, nelayan di Lamalera tidak langsung terjun ke laut dan mencari hingga ke tengah samudera Laut Sawu. Mereka tetap beraktivitas di darat, sambil sewaktu-waktu melihat ke lautan. Siapa pun yang melihat paus akan meneriakkan baleo, kemudian disambung bersahut-sahutan memenuhi isi desa.
Nelayan di Lamalera selalu mengincar paus sperma atau koteklema yang memiliki semburan tepat di atas kening. Nelayan Lamalera tidak memburu paus biru atau kelaru yang memiliki semburan tepat di atas kepala mereka. ”Kami tidak memburu kelaru karena itu perintah nenek moyang,” kata Tony.
Selain koteklema, nelayan Lamalera juga memburu orca atau paus pembunuh. Dalam istilah Lamalera, paus pembunuh disebut dengan seguni. ”Tapi, seguni jarang lewat ke sini. Biasanya satu kali setahun atau tidak sama sekali. Seguni juga ganas karena berontak lebih dahsyat,” ujar Tony.
Tantangan seorang lamafa saat menaklukkan paus terjadi ketika akan menghunjamkan tombak. Untuk koteklema, tombak dihunjamkan tepat di belakang kepala karena di situlah bagian yang lunak. Sebaliknya, memburu seguni lebih sulit karena para nelayan Lamalera mengincar bagian ketiaknya agar tempuling bisa menusuk langsung ke jantung paus pembunuh itu.
”Kalau sudah kena tikam, pasti perahu diseret bisa masuk ke dalam,” kata Tony.
Tikaman pertama merupakan peristiwa yang amat krusial. Nyawa lamafa dan awak perahu menjadi taruhan. Sebab, satu sabetan ekor paus bisa seketika menghancurkan perahu nelayan. Para nelayan harus menunggu sampai paus itu lemas. Biasanya paus akan lemas setelah 45–50 menit. Darah akan menggenangi laut dan paus akan kembali ke permukaan.
Saat itu paus akan didekati dan awak perahu terjun ke laut untuk melakukan tikaman dengan pisau. Jika perlu, tikaman bisa dilakukan hingga berkali-kali. Tujuannya, memastikan paus itu mati saat dibawa ke darat.
Selain perburuannya yag menegangkan, pembagian daging paus hasil buruan juga merupakan pemandangan yang menarik. Pembagian daging paus merupakan tradisi turun-temurun yang ditaati oleh semua orang Lamalera, sehingga dipastikan tidak ada rebutan saat daging itu dipotong. Intinya, pihak yang memiliki keterkaitan dengan Desa Lamalera, dengan perahu yang mendapatkan paus, akan mendapatkan haknya.
”Masing-masing sudah tahu hak dan pembagiannya,” ujar Tony. Pola pembagian ini memang dikhususkan untuk ikan-ikan yang berukuran besar.
Untuk mereka yang berburu di laut, sudah ada aturan pembagiannya. Selain peledang, ada juga perahu perahu dengan motor yang mengikuti perburuan. Jika di peledang ada sembilan awak perahu dan di perahu motor ada dua awak, mereka semua mendapatkan haknya.
Para awak perahu mendapatkan bagian paus yang diistilahkan dengan meng. Untuk meng ini, banyak bagian yang bisa dipotong dan dibagi-bagikan ke awak perahu.
Bagian sirip kanan dan kiri, masing-masing untuk rumah adat dan lamafa. Bagian kepala diberikan kepada lango fujo atau suku tuan tanah. Ekor dibagi menjadi banyak bagian karena di sana terdapat hak lamafa, laba ketilo, matros, lamauri. Para janda juga mendapatkan hak daging paus. ”Mama janda pasti mendapatkan hak karena mereka biasanya kasih jagung atau kasih rokok," ungkap Tony.
Perihal perburuan pada satwa yang dilindungi itu, mantan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengatakan saat jumpa pers Festival Adventure Indonesia 2014 di Jakarta, "Kegiatan perburuan paus dilakukan untuk seluruh rakyat Lembata, bukan secara individual. Kita tidak mengabaikan lingkungan hidup, tapi budaya juga perlu dikembangkan."
Perburuan paus di Desa Lamalera, Lembata, merupakan bagian budaya turun temurun dan dilakukan secara tradisional. Walaupun menuai kritik dari para pemerhati lingkungan, namun budaya ini sah di mata internasional. Perburuan paus tradisional sudah diakui dunia internasional, hanya ada di Kanada dan Indonesia saja.
"Dalam perburuan paus ini, ada seluruh rangkaian budaya dan dimensi sosialitas rakyat Lembata. Menghilangkan budaya ini, sama dengan membunuh seluruh rakyat Lembata," ujar Sonny Keraf.
Menurut Tony, ritual perburuan paus ini memiliki nilai religius di setiap aspeknya. Mulai dari persiapan, pembuatan kapal, pengangkatan layar, sampai pelemparan tombak, semuanya mengucap doa terlebih dahulu.
Menjelang perburuan, diadakan upacara adat sekaligus misa untuk memohon berkah dari sang leluhur serta mengenang para Arwah nenek moyang mereka yang gugur di medan Bahari bergelut dengan sang paus. Upacara dan Misa atau biasa disebut lefa dilaksanakan setiap tanggal 1 Mei.
Begitulah, Lamalera memang tidak bisa dipisahkan dari laut dan paus. Alam rupanya juga senantiasa berpihak kepada masyarakat Lamalera dengan mengantarkan paus ke lautan di hadapan tanah air mereka. Sebab setiap tahun, ikan-ikan paus itu bermigrasi antara Samudera Hindia dan Pasifik selama bulan Mei sampai Oktober. Ketika hewan-hewan laut raksasa melewati laut Sawu tepat di depan pintu pulau Lembata itulah, perburuan ikan paus pun dimulai.
Baleo! Baleo!....
Sumber: Kompas.Com