Mencegah Gizi Buruk

KABAR kurang menyenangkan datang dari  Maumere, Kabupaten Sikka. Tiga orang anak usia di bawah lima tahun (balita)  di Kampung Garam, Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok terdeteksi menderita gizi buruk. Ketiga balita tersebut masing- masing Yuliana Oktavia Kansabria (3), Brian Meti (2) dan Alda (1).

"Dari mereka bertiga itu  ada yang kurang asupan susu dan perhatian dari orangtua. Ada juga yang terkontaminasi penyakit batu pilek sehingga terkena gizi buruk," kata Rosa Mistika, kader Posyandu  Kampung Garam.

Kita sebut kabar kurang menyenangkan karena gizi buruk toh masih saja terjadi di  daerah ini. Bahkan kabar gizi buruk  seolah sudah identik dengan wajah manusia Nusa Tenggara Timur (NTT) sehingga orang menganggapnya sebagai masalah biasa. Bukan sesuatu yang patut dicemaskan lagi.

Tiga orang balita yang terdeteksi di Kampung Garam  tersebut merupakan puncak dari gunung es. Kita yakin masih banyak anak-anak NTT yang mengalami nasib sama namun belum mendapat penanganan semestinya. Saban tahun kasus gizi buruk di NTT angkanya mengalami peningkatan signifikan mulai bulan Agustus hingga puncaknya pada bulan Oktober. Masa itu bertepatan dengan musik paceklik yang melanda sejumlah daerah kepulauan ini.

Kita juga mudah menebak model penangannya.  Sudah lazim terjadi di mana-mana model yang menonjol itu menganut cara kerja ala pemadam kebakaran. Ada masalah dulu baru bergerak dan hanya fokus di sisi hilir. Pihak Dinas Kesehatan dan seluruh jajarannya kerapkali menjadi kambing hitam tatkala korban gizi buruk berjatuhan. Kita lupa bahwa gizi buruk merupakan masalah yang kompleks, pelik dan rumit. Penanganannya harus komprehensif mulai dari hulu sampai hilir.

Sebagai daerah yang selalu mengalami gagal panen karena faktor iklim  atau penyebab lainnya, masalah gizi buruk memang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat NTT. Dalam bahasa berbeda potret  kemiskinan yang masih mendera sebagian besar rakyat NTT memungkinkan mereka selalu dan hampir selalu berurusan dengan gizi buruk. Sisi hulu ini yang kerap dilupakan. Tugas negara mengentaskan kemiskinan rakyatnya. Pemerintah pun  tidak boleh  lepas tangan mengelola ketersediaan pangan yang adil bagi masyarakat.

Kebijakan negara yang salah di bidang pangan perlu diluruskan. Sudah terlalu lama rakyat kita direcoki pikiran keliru seolah pangan itu identik dengan beras. Ingat bahwa  makanan pokok mayoritas rakyat NTT bukan beras. Kita dorong pola makan rakyat sesuai kondisi lingkungan sosialnya. Gerakan mengonsumsi pangan lokal perlu terus dikembangkan hingga menjadi kebiasaan dalam setiap rumah tangga. Dengan demikian akan tercipta ketahanan pangan berbasis lokal. Mereka tidak sepenuhnya lagi berharap pada beras yang dipasok dari luar daerah dan mahal harganya.

Hal lain yang patut disegarkan lagi adalah gizi buruk itu tidak semata karena orang kekurangan pangan atau kurang makan.Cukup sering gizi buruk terjadi karena pola asupan gizi yang keliru. Seorang anak makan banyak sekali tetapi bukan makan makanan bergizi. Dia sekadar merasa kenyang. *

Sumber: Pos Kupang 26 Mei 2016 hal 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes