ANAK SoE kena batunya saat hari raya Natal 2009 yang lalu. Gara-gara urusan di Kupang yang tidak bisa dia tinggalkan, Anak SoE tidak sempat bersilaturahmi dengan orangtua angkatnya di SoE, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Padahal dia mendapat hak libur Natal selama empat hari.
"Saya akhirnya memilih kirim ucapan Natal via SMS saja kepada orangtua angkat yang membesarkan dan menyekolahkan saya sampai sarjana. SMS itu malah jadi bumerang. Bapa dan Mama angkat tidak kasi muka. Telepon dan SMS tidak dijawab. Belakangan baru saya tahu mereka marah besar karena waktu Natal, saya tidak ke sana bersama istri dan anak," kata Anak SoE.
Akhir pekan lalu Anak SoE terpaksa mengajukan cuti selama tiga hari. Cuti SMS! Cuti khusus untuk mohon maaf kepada Bapa dan Mama angkat gara-gara SMS. Dia boyong istri dan anak. Mereka bertiga naik sepeda motor menuju kota dingin SoE.
"Selama sepuluh tahun jadi pegawai, baru kali ini saya cuti karena SMS. Sekarang perasaan sudah lega. Bapa dan Mama memaafkan saya dengan catatan tidak boleh mengulang hal yang sama. Natal wajib datang, bukan datang via SMS," kata temanku Anak SoE itu semalam. Dia yatim piatu sejak usia 6 tahun. Dia dan dua adiknya dibesarkan adik ayahnya (bapak kecil) sampai dewasa.
Beta terkesima mendengar kisah ini. Terdengar sepele tetapi memendam nilai hakiki yang terlupakan. Betapa tatap muka tak tergantikan dalam menjalin silaturahmi. Tanpa kita sadari Short Message Service (SMS) melahirkan kultur baru yang serba instan. Menggampangkan segala hal. Apa-apa tinggal pencet ujung jempol di handphone (HP). Beres! Dan, orang merasa nyaman dengan itu.
Penasaran, beta coba bertanya pada ahlinya. "Kira-kira orang sadar nggak ya, efektivitas komunikasi dengan bertemu muka mencapai 100 persen, sementara dengan SMS hanya 7 persen dan dengan telepon hanya 48 persen?" kata seorang teman asal Bogor, Jawa Barat yang baru merampungkan studi S3 komunikasi. Dia menjelaskan hasil survai terkini tentang efektivitas komunikasi via SMS dan telepon.
"Komunikasi yang paling efektif tetaplah lewat tatap muka. Tatap muka memungkinkan pesan tersampaikan dengan jelas, tidak bias. Kalau orang lebih suka ber-SMS ketimbang bertemu (karena malas dan mahal transportnya), komunikasi makin kurang efektif, sering terjadi miskomunikasi, salah paham. Itulah akar terjadinya friksi, konflik atau perpecahan," tambah sang kawan.
Tuan dan puan mungkin sepakat dengan pandangan itu. Komunikasi via SMS kerapkali melahirkan miskomunikasi. Boleh jadi tuan berkehendak baik dengan SMS, tetapi hasilnya belum tentu baik. Bisa bertolak belakang dengan harapan. Sepasang kekasih bisa bubar gara-gara SMS. Istri mencakar suami gara-gara SMS. Atasan dan bawahan bisa tarik ular leher karena SMS. Begitulah paradoks teknologi. Memanjakan hidup sekaligus menjadi bumerang.
***
MINGGU lalu beta dapat "makna baru" tentang SMS dari Kolonel (Inf) Dody Hargo, Danrem 161/Wira Sakti, Kupang. Menurut Kolonel Dody, SMS = Senang Melihat orang Susah atau Susah Melihat orang Senang. Kok bisa? Rasanya benar "pengertian SMS" seperti dikatakan Kolonel Dody. Dalam keseharian, kita menemukan fakta semacam itu. Ada orang atau sekelompok orang yang senang melihat orang lain susah. Juga susah melihat orang lain senang atau bersukaria.
Menjelang Natal dan Tahun Baru 2010, sebagian warga Kota Kupang berlomba- lomba main petasan kembang api dengan bunyi memekakkan teliga. Ada yang sengaja melemparkan petasan ke tengah jalan umum yang sedang ramai dengan arus lalu lintas. Melihat pengendara sepeda motor terkejut mendengar bunyi petasan bahkan nyaris jatuh mencium aspal, mereka tertawa girang. Berjingkrak-jingkrak.
Mereka sungguh menikmati kesusahan yang sedang melanda orang lain akibat perbuatannya. Masih banyak contoh yang terjadi di beranda Flobamora. Tuan dan puan tentu punya pengalaman berbeda.
Jika di masa lalu orang menggunakan surat kaleng untuk menghujat atau memaki sesama yang dibenci, cara tersebut kini bergeser via SMS. Pesan pendek dari HP memudahkan orang untuk menghujat atau memaki-maki. Lewat SMS mengajak orang lain bertindak anarkis. Cukup sering menggunakan simbol agama, suku atau golongam demi mengadu-domba masyarakat.
Dengan nomor perdana murah meriah serta mudah diperoleh di banyak tempat, orang menggunakan SMS alias pesan pendek untuk menyerang atau mengancam orang lain. Teknologi HP ikut membentuk karakter manusia tidak bertanggung jawab. Mempraktikkan cara kerja lempar batu sembunyi tangan.
Di musim pilkada atau pemilu selalu ada anggota tim sukses yang punya tugas khusus, yakni mengirim SMS menghujat lawan tanding atau propaganda tentang kehebatan calon tertentu. Isi pesan pendek diramu sedemikian rupa agar meyakinkan si penerima pesan. Isinya bermacam-macam. Jika tidak jeli, tuan dan puan bakal meyakini bahwa pesan itu benar.
Kasus yang sangat umum di tengah masyarakat adalah SMS untuk tujuan menipu. Tidak sedikit orang yang sampai hari-hari ini tertipu melalui SMS. Lazimnya SMS beriming-iming hadiah yang menggiurkan. Tekanan ekonomi yang berat dapat menjerumuskan seseorang untuk mempercayai SMS dari sumber yang tidak jelas. Biasanya mereka baru sadar setelah tertipu.
Demikianlah tuan dan puan. Kemajuan teknologi selalu berwajah ganda. Positif- negatif! Kita ambil sisi positifnya saja. Pakailah SMS untuk tujuan mulia, misalnya menyampaikan aspirasi lewat media massa atau menggelontorkan pesan-pesan yang sejuk meneguhkan. Kemajuan teknologi mesti semakin memanusiakan manusia, bukan sebaliknya. (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang, Senin 1 Februari 2010 halaman 1