Alex Beding (tengah) dan Steph Witin (kanan): intan imamat |
ALAM yang garang tidak menyurutkan upaya penyebaran Injil Kristus di Lamalera. Inilah poin penting yang digarisbawahi P Steph Tupeng Witin, SVD dalam buku “Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat Alex Beding, SVD” (Penerbit Ledalero, 2011, halaman 18).
Alam Lamaralera begitu kering dan gersang. Namun, kehidupan tak pernah memudar di sana. Justru di atas kenyataan seperti itulah harapan hidup diletakkan dan iman berkembang dengan subur.
Pater Alex Beding, SVD sendiri dalam buku “Bapa Bernhard Bode, SVD Pastor Pulau Lembata (Nusa Indah, 2010) menggambarkan Lamalera dan Lembata sebagai medan misi yang sulit.
Pater Alex menulis, “...Tempat itu terpencil dan sangat sulit dicapai. Tantangan-tantangan bagi para misionaris Yesuit kini harus dihadapi juga oleh orang yang ditunjuk menjadi gembala yang menetap di Lembata. Untuk menjadi pastor tetap di sana dibutuhkan seorang yang mempunyai kondisi fisik kuat dan tangguh karena mesti hidup di daerah berbatu dan beriklim panas. Di mana tidak ada sumber air minum bersih. Makanan apa adanya saja. Segala yang perlu harus dibawa dari luar. Suatu daerah yang berat, harus ditempuh dengan berjalan kaki atau berkuda. Misionaris itu juga harus kuat mental-rohaninya sebab dia tinggal di tempat terpencil, komunikasi serba kurang dan sulit.” (67-68).
Dalam kesulitan yang luar biasa itulah para misionaris menjejakkan kakinya di atas Lembata. Awalnya, para misionaris Yesuit di Larantuka berkenalan dengan orang-orang Lamalera yang sering datang ke Larantuka untuk berbelanja. Ada hasrat membara untuk menghadirkan Injil Kristus ke tengah orang-orang ini. Beberapa anak dari Lamalera pun didatangkan untuk menempuh pendidikan di Larantuka.
Moment bersejarah itu akhirnya tercatat tanggal 8 dan 9 Juni 1886 ketika dua iman Yesuit yakni Pater C.ten Brink dan Pater Y de Vries mempermandikan 215 anak. Inilah saatnya Gereja Katolik dengan resmi didirikan di Lembata. Moment berahmat itu membuka pintu gerbang kedatangan Kristus dan Injilnya. Namun, kesulitan medan dan jarak tempuh yang jauh dari Larantuka dengan melewati Laut Sawu bergelombang besar menyebabkan pendampingan umat terkendala. Pendampingan Yesuit ditandai dengan berdirinya sekolah Katolik pertama di Lamalera tahun 1914.
Setelah itu karya misi beralih ke tangan SVD. Maka pada tanggal 24 September 1920, dua peledang (perahu nelayan Lamalera) bertolak meninggalkan Larantuka menuju Lamalera. Salah seorang penumpangnya adalah Pater Bernhard Bode, SVD. Dialah pastor SVD pertama yang menetap di Lamalera. Bersama Pater Bode, ikut juga Bruder Fransiskus yang membawa sejumlah tukang untuk membangun gereja dan pastoran. Maka mulailah penjelajahan lekak-lekuk Pulau Lembata. Pater Bode bekerja dengan begitu banyak kesulitan. Namun, kekuatan Kristus menyanggupkan dia untuk bertahan di tengah kehidupan umat yang sederhana.
Menurut Steph Tupeng Witin, SVD di tengah konteks misi pertama di Lembata inilah Alex Beding memulai ziarah hidupnya. Alex lahir di Lamalera pada 13 Januari 1924 sebagai putra sulung dari sebelas bersaudara buah cinta pasangan Karolus Arkian Beding dan Anna Nogo Lamanudeg. Satu kembar pria sesudah Alex meninggal. Selain Pater Alex, masih ada Marcel Beding (22 November 1932, meninggal 24 Februari 1998). Marcel Beding dikenal sebagai salah seorang wartawan perintis Harian Kompas. Marcel mengabdi di Kompas hingga pensiun.
Saudara Pater Alex lainnya adalah Fransiskus Meli Beding (lahir 2 Desember 1938, meninggal 10 Mei 1973), Yohanes Bosko Gesi Beding (27 Januari 1941). Tahbisan imam Pater Bosko Beding 29 Juni 1969. Pater Bosko yang juga dikenal sebagai wartawan itu meninggal dunia 16 Juli 1989. Saudari perempuan Pater Alex, Suster Benedicta CIJ, lahir 5 Juni 1928, meninggal pada tanggal 20 Mei 2011 dalam usia ke-83. Lima puluh tahun lebih dalam Kaul Kebiaraan.
Karolus Arkian adalah seorang tukang kayu. Pada awal dia senang melaut. Kemudian ketika orang membangun Gereja Paroki Lamalera dia tertarik untuk memegang alat-alat tukang kayu dan mencoba sendiri. Alex Beding kecil menjalani pendidikan sekolah dasar selama dua tahun. Alex pun diminta ayahnya menjaga pledang (perahu tradisional nelayan Lamalera) dan jangan menjadi guru.
“Nanti siapa yang jaga pledang untuk memberi rejeki kepada keluarga,” demikian Pater Alex Beding mengenang ucapan ayahnya. Tapi Alex sering pergi ke Pastoran Lamalera untuk membantu; sementara ia sendiri belajar untuk menulis, sampai bisa menulis surat sendiri. Bahasa Indonesia dia belajar dari orang-orang yang bergaul dengannya.
Karolus Arkian melalui pekerjaannya sebagai tukang kayu dapat membuat meja, kursi, bangku untuk para guru. Kalau Alex Beding kecil hendak ke sekolah, Arkian selalu menyuruhnya untuk mengambil uang dari guru-guru langganannya. Karolus Arkian membantu Pater Bernhard Bode membangun kapela-kapela di stasi-stasi seluruh Lembata bahkan sampai di Kedang. Dan, Karolus Arkian sangat senang serta menikmati pekerjaannya itu. Semuanya dilakukan dengan berjalan kaki. Dia juga menjadi anggota konfreria, termasuk angkatan pertama.
Dari keluarga sederhana inilah Alex Beding tumbuh dengan iman yang kokoh. Keluarga religius tapi tetap sederhana. Bekerja keras untuk hidup tapi tetap terbuka melayani gereja dan sesama. Dengan fasilitas yang minim bisa berbuat banyak untuk kebahagiaan banyak orang.
Seperti ditulis Steph Tupeng Witin, nilai-nilai hidup ini tumbuh dari kenyataan dan konteks Lamalera, sebuah desa nelayan miskin tapi kaya cahaya matahari. Maka dari Lamalera kemudian “cahaya” itu menerangi seluruh Lembata, bangsa ini bahkan dunia. Hal tersebut sejalan dengan arti harafiah dari Lamalera yaitu tempat cahaya matahari. (Lama: tempat, ruang, lapangan) dan Lera: matahari. Dari Lamalera beralas wadas, cahaya itu perlahan menerangi kehidupan.
Menjala di Lautan Lain
Alex Beding masuk sekolah dasar pada usia 6 tahun di Lamalera tahun 1933. Setelahnya ia melanjutkan pendidikan di Larantuka dan tinggal di asrama misi. Tamat dari Larantuka ia melanjutkan pendidikannya di Seminari Todabelu Mataloko, Ngada.
Terkait itu ia menulis sebagai berikut. “Saya tidak bisa mengatakan sesuatu sebagai alasan saya pergi ke seminari. Waktu kecil saya sering menyertai ayah dan ibu ke gereja dan sesudah misa ayah pergi omong-omong dengan Pater Bode. Saya senang dekat pastor yang saleh dan suka senyum itu. Entah dalam hati ayah ada suatu ‘kerinduan’ agar anaknya bisa menjadi seperti bapa pastor itu? Sebab Pater Bode dalam doa-doa di gereja minta supaya Tuhan Allah memanggil anak-anak yang suci hati agar menjadi imam. Semua adalah ‘rahasia’ dalam karya Allah.
Ternyata setelah tamat Vervolgschool di Larantuka, saya dan beberapa teman pergi ke seminari. Tempat sekolah semakin jauh. Saya belajar di seminari pendidikan imam di Mataloko di daerah Ngada. Bagi saya dari Lamalera sampai Mataloko adalah jarak yang jauh dan ditempuh dengan cara-cara transportasi sederhana yang berlaku di zaman itu, di antaranya banyak trayek ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi sangat luar biasa karena semuanya penuh pengalaman yang menyenangkan, kendati juga penuh resiko. Untuk pertama kali saya ikut dalam rombongan 35 siswa asal Flores Timur yang diberangkatkan dengan motorboat kecil Arnoldus dari Larantuka sampai Ipi Ende selama satu hari dua malam.” (dion db putra/ bersambung)
Sumber: Harian FloresStar edisi Sabtu, 28 Januari 2012 hal 1
Baca juga: Intan Imamatnya Mahkota Bagi Lembata