Hermensen Ballo (HPN Kupang 2011) |
BANYAK atlet berprestasi di negeri ini dilaporkan mengalami masa depan suram setelah meraih berbagai prestasi gemilang di bidang olahraga, baik di tingkat nasional maupun internasional untuk mengharumkan nama bangsa dan negara tercinta Indonesia.
Namun hal itu tidak berlaku bagi mantan petinju nasional dan internasional asal Nusa Tenggara Timur (NTT) Hermensen Bertholens Ballo (40) yang kini menjadi pegawai negeri sipil di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) NTT selepas menjadi petinju amatir beberapa tahun lalu.
Ketika ditanya soal malang nasibnya sejumlah mantan atlet berprestasi yang kini mengalami hidup susah secara ekonomi dan tidak memiliki pekerjaan, pria kelahiran Kupang 27 Februari 1971 itu dengan enteng mengatakan, "itu kesalahan atlet sendiri".
"Saya pikir perhatian pemerintah pusat dan daerah terhadap atlet berprestasi sudah sangat cukup. Mereka memberi kita bonus yang begitu banyak, tinggal kita mengelola dan memanfaatkannya dengan baik untuk merenda masa depan bersama keluarga," ujarnya.
Hermensen adalah peraih medali emas tinju SEA Games XX 1997 Jakarta yang pada partai final menang angka atas petinju Thailand Pramuansak Phosuawan untuk kelas terbang 51 kilogram.
Menurut suami Jane Magdalena Abineno itu, perhatian Pemerintah Provinsi NTT terhadap atlet NTT yang berprestasi cukup bagus dengan memberikan penghargaan dan bonus berupa uang dan rumah.
"Sebagai manusia, apa yang diberikan pemerintah Provinsi NTT kepada saya sudah cukup lumayan berupa dua unit rumah dan uang puluhan juta rupiah serta pekerjaan sebagai PNS," ujarnya Hermensen yang kini menjadi pelatih tinju di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar milik Dinas PPO NTT.
Hadiah dua unit rumah di kompleks perumahan Lopo Indah Permai BTN Kolhua Blok V No.07 dan Blok R2 di Kelurahan Kolhua Kupang merupakan hadiah dari Gubernur NTT Herman Musakabe saat berhasil memperoleh medali emas pada PON XIII Tahun 1993 dan PON XIV Tahun 1996.
Secara ekonomi, kehidupan raja tinju amatir di kelas layang pada era 1987-2004 itu tergolong cukup memadai, karena dirinya mampu merenda masa depan bersama keluarga dari hadiah serta bonus yang diberikan pemerintah atas prestasinya di ring tinju, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Hermensen tiga kali mengikuti PON mewakili NTT dan berhasil menyabet tiga medali emas, yakni PON XIII Tahun 1993 di Jakarta, saat di final menang angka atas Amos Aninam, petinju asal Papua di kelas layang ringan 45 kilogram.
Selain itu di PON XIV 1996 di Jakarta, di partai final ia menang angka atas petinju asal Maluku La Paene Masara di kelas layang 48 kilogram dan PON XVI Tahun 2004 di Palembang, Sumatera Selatan, di final menang angka atas petinju Kalimantan Barat Daud Yordan di kelas terbang 51 kilogram.
Di ajang Piala Presiden, Hermensen berhasil meraih tiga medali emas dan satu medali perak. Saat berlaga pada 1993 di Jakarta, di final ia kalah angka atas petinju Roel Velasco dari Filipina di kelas layang 48 kilogram.
Tiga medali emas Piala Presiden diraih pada 1994, 1995 dan 1996. Pada event terakhir ia, dinobatkan sebagai "the best of boxer" atau petinju terbaik.
Menurut Hermensen Ballo, dari 55 kejuaraan yang diikuti mulai dari tingkat nasional hingga international, ia berhasil menyumbangkan 33 medali emas, 12 perak dan delapan perunggu untuk Indonesia dan NTT. "Hanya dua kejuaraan yang saya ikuti yang tidak memperoleh medali yakni di Olimpiade 1996 di Atlanta, Amerika Serikat dan Kejuaraan Dunia pada 1994 di Bangkok," kata ayah tiga orang anak itu.
NTT memiliki sejumlah atlet tinju yang berbakat dan cukup disegani di ring tinju, baik ditingkat nasional maupun internasional antara lain Johny Asadoma yang kini menjadi Komandan Pasukan Garuda Polri untuk Pemeliharaan Perdamaian di Darfur, Sudan, Anis Roga, Alex Bajawa, Dikson Ton, Nelson Oil, Max Oil, Roy Muskanan, Karel Muskanan, David Hari, Hendrik Mure, Deny Hitarihun, dan Atris Neolaka.
"Ada kebanggaan tersendiri ketika berlaga di kejuaraan tinju mewakili Indonesia di tingkat internasional dan NTT di tingkat nasional. Artinya, bila kita benar-benar serius dan fokus, kita bisa mengharumkan nama bangsa di tingkat internasional dan nama daerah di tingkat nasional," kata Hermensen.
Hermensen Ballo sebenarnya sudah mengenal olahraga tinju sejak umur delapan tahun, ketika masih duduk di bangku kelas dua pada sebuah sekolah dasar (SD) di kota dingin SoE, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan.
"Kakak saya, Yonas Ballo yang memberi motivasi dan dorongan kepada saya untuk menjadi petinju. Saya menjadi sangat termotivasi untuk terus berlatih dan berlatih sampai harus melakukan 'push up' 2.500 kali sehari," katanya mengenang masa lalu.
Untuk pertama kalinya, Hermensen tampil di atas ring tinju saat berlangsungnya kejuaraan antarsasana di SoE, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan pada 1987 dan berhasil meraih sebuah medali emas dan memboyong Piala Bupati Timor Tengah Selatan (TTS). Pada kejuaraan yang sama tahun 1988, Hermensen kembali mencatat prestasi gemilang dengan merebut medali emas dan memboyong Piala Bupati TTS.
"Saya sangat mengagumi sosok pelatih Ken Balawa. Dirinya penuh kharisma sehingga membuat saya jadi terkenal berkat kepelatihannya selama ini," katanya dan menambahkan sejak awal membuka lembaran dunia tinju, dirinya tidak pernah berorientasi untuk mengejar materi, kecuali prestasi dan terus berlatih.
Pahit dan Manis
Dalam karir tinjunya, Hermensen juga mencatat sebuah pengalaman pahit yang dialaminya ketika tampil pertama kalinya di Kejuaraan Dunia di Berlin, Jerman pada 1995, ketika ia langsung tumbang di ronde pertama dan dinyatakan kalah KO dari petinju asal Bulgaria Daniel Petrov Bojilov di kelas layang 48 kilogram.
"Sebelumnya saya pernah menang atas Daniel Petrov Bojilov di arena World Cup Boxing, namun karena terlalu percaya diri akan menang lagi membuat saya tidak kontrol pertahanan, akhirnya rahang terkena pukulan telak membuat saya jatuh dan dinyatakan kalah KO," katanya menuturkan pengalaman pahit itu.
Sedangkan, saat paling menyenangkan bagi dirinya ketika berhasil memenangi pertarungan dalam kejuaraan Piala Raja (Kings Cup) XX di Chiangmai Thailand melawan petinju Li Wu Chun dari China di kelas layang 48 kilogram.
"Itu kemenangan luar biasa dan mukjizat dari Tuhan karena satu jam sebelum naik ring saya kena diare dan tensi naik turun tidak beraturan," katanya sambil menambahkan bahwa kemenangan tersebut kemudian menobatkan dirinya sebagai petinju Indonesia pertama meraih medali emas dalam kejuaraan Kings Cup yang hingga kini belum diraih oleh petinju Indonesia lainnya.
Bagi Hermensen profesi tinju adalah sebuah jalan hidup yang tidak hanya dilihat secara ekonomi, namun juga merupakan sebuah harga diri dan masa depan bangsa yang harus tetap diharumkan dari masa ke masa.
Guna menarik minat masyarakat NTT menjadi petinju profesional, Hermensen Ballo mendirikan sebuah sasana tinju di Kupang bernama Benteng Concordia BC sebagai wahana untuk melatih anak-anak NTT yang berbakat di bidang olahraga tinju.
"Apa yang diberikan pemerintah kepada saya sebagai petinju berprestasi sudah sangat cukup. Saya mengelola dan menata semua pemberian itu dengan baik untuk masa depan keluarga dan anak-anak," katanya sambil mengingatkan atlet berprestasi lainnya agar mampu merenda masa depannya dengan hasil yang diperoleh dari sebuah prestasi yang diraih. (Oleh Laurensius Molan dan Paulus Tokan/ANTARA)