Menyamar Sebagai Keluarga Nabunome


Edu Nabunome

Pesan klasik para guru jurnalistik saya, Valens Goa Doy, Damyan Godho, Julius R Siyaranamual, Marcel Weter Gobang sama dan sebangun. Jurnalis harus panjang akal.

Nah gara-gara keistimewaan atlet Indonesia kelahiran Nusa Tenggara Timur (NTT) ini, saya mempratikkan pesan para guruku tersebut.

Akal saya panjanglebarkan demi menembus ketatnya barikade petugas keamanan di Century Park Hotel Jakarta.

Pagi itu pada medio Oktober ceria 1997.

Wajahku yang semringah berubah kecut melihat seramnya sekuriti mengawal Century Park, hotel atlet peserta SEA Games.

Soeharto masih berkuasa meski riak resah menyembul di mana-mana di persada Pertiwi yang kira-kira tujuh bulan kemudian memaksanya lengser keprabon.

Tanggal 11 Oktober 1997 pemimpin Orde Baru selama 32 tahun itu membuka pesta olahraga multievent antarbangsa Asia Tenggara, SEA Games.

Tanggal 19 Oktober 1997, dia pula yang menutup pesta South East Asian Games yang mengantar tuan rumah Indonesia meraih juara umum.

Saya beruntung masuk tim peliput jaringan Persda, koran daerah Kompas Gramedia.

Selama dua pekan saya tulis berita tidak hanya bagi pembaca Harian Pos Kupang tapi seluruh koran daerah Kompas dari Sabang sampai Merauke.

Hotel atlet yang beralamat di Jalan Pintu Satu Senayan, RT.1/RW 3, Gelora, Tanahabang, Jakarta Pusat itu bukan tempat awak media berseliweran seenak perut.

Wartawan hanya boleh sampai di area lobi pada jam tertentu.

Sesewaktu harus rela diusir petugas keamanan yang mengusung doktrin, atlet jangan sampai terganggu oleh siapapun.

Kalau mau wawancara silakan di arena lomba atau venue pertandingan bukan di Century Park.

Tuan dan puan tentu maklum itu masih Orde Baru. Petugas keamanan berambut cepak ada di mana-mana.

Sangar dan tanpa kompromi. Kalau ente nekat bisa kena bogem dan tanpa proses hukum. Pokoknya jangan
cari masalah deh.

Justru itu masalah bagi saya. Atlet andalan Indonesia Eduardus Nabunome atau karib disapa Edu baru saja meraih medali emas nomor lari maraton.

Edu memang sudah memberi keterangan kepada wartawan di Stadion Madya Senayan. Tapi itu pernyataan normatif dan standar. Sementara saya menguber wawancara eksklusif.

Pesan para editor di newsroom bersama Persda adalah berita kita harus punya diferensiasi.

Bukan nongkrong di press center mengutip data hasil lomba dan pertandingan.

Karya jurnalistik semacam ini garing.

Tak menarik apalagi olahraga yang mengekspresikan manusia dan seluruh dimensinya kemanusiannya.

Nilai lebih berita spesial hanya mungkin diperoleh manakala jurnalis berada di gelanggang dan wawancara eksklusif atlet juara ataupun yang gagal.

Problemnya, wartawan dilarang masuk Century Park. Bagaimana caranya?

Saya lekas putar otak. Berlari-lari kecil mengejar Edu bersama lima orang lainnya termasuk ofisial yang hendak kembali ke Hotel Century Park, cuma selemparan batu dari Stadion Madya Senayan.

Saya pepet Edu lalu bisik di telinganya pakai bahasa melayu Kupang. Ya kami sebaya, usia Bung Edu hanya lebih tua setahun dari saya.

“Bu (Bung), beta mesti wawancara khusus Bu nih. Bisa ko beta ikut pi dalam hotel sekarang sebagai keluarga untuk doa syukur atas keberhasilan Bu tadi.”

Bung Edu ngakak lalu menganggukkan kepala.

Atlet cerdas ini sudah mengerti maksud saya. Maka rompi, tas pinggang, kamera, tape recoder dan lain-lain saya sembunyikan dalam tas plastik warna hitam legam.

Jangan dikau bayangkan saya punya ransel bagus. Dalam situasi darurat tak ada rotan akar pun jadilah.

Saat masuk Century Park wajah dan tubuh saya tidak lagi menunjukkan ciri-ciri wartawan. ID Card alias kartu identintas wartawan pun saya sembunyikan.

Saya malah sudah siapkan jawaban kalau petugas tanya nama. Saya akan bilang namaku Dion Nabunome. Ternyata tak ada pertanyaan tersebut. Syukurlah.

Sambutan petugas keamanan terhadap saya begitu ramah sejak pintu masuk hotel sampai naik lift.

Maklumlah saya kan anggota tim keluarga sang juara Asia Tenggara yang baru saja mengharumkan nama bangsa dan mau ibadah syukur atas keberhasilannya.

Sampai di dalam hotel Edu mandi dan ganti pakaian.

Saya duduk menunggu di ruang tamu, depan kamarnya yang luas sambil menikmati aneka penganan dan minuman khusus bagi atlet.

Sebuah kemewahan yang tidak dimiliki wartawan lain. Century Park merupakan hotel atlet mewah di zamannya.

Setelah mandi dan ibadah singkat, saya mewawancarai Eduardus Nabunome.

Panjang lebar dan mendalam. Laporanku eksklusif.

Tidak hanya buat Harian Pagi Pos Kupang tapi seluruh jaringan koran daerah Kompas Gramedia di bawah payung Indopersda Primamedia (Persda) atau kini beken melalui branding Tribun Network.

SEA Games Jakarta 1997 Persda merajut newroom bersama.

Sejumlah wartawan dari daerah dipanggil ke Jakarta untuk bergabung.

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Pos Kupang kala itu, Om Damyan Godho menugaskan
saya.

Saat pembagian kerja tim di Jakarta, saya kebagian tugas utama meliput cabang atletik dan tinju.

Selama sepekan lebih saya bolak-balik dari Senayan ke GOR Kuningan (arena cabang tinju).

Petinju NTT Hermensen Ballo sedang di puncak kejayaannya. Raja kelas terbang ini mempersembahkan medali emas.

Ketua Umum KONI waktu itu Wismoyo Arismunandar bangga luar biasa. Dia peluk dan nyaris
menggendong Hermensen.

Seniorku wartawan Kompas di NTT, Frans Sarong juga masuk dalam tim peliput Kompas untuk SEA Games 1997.

Kami kerap berjumpa di arena atletik, bulutangkis dan renang. Abang Frans hobi berat bulutangkis.

Kami menyaksikan kepiawaian Susi Susanti, Alan Budikusuma dkk .

Sebagai pemuja sepak bola saya tetap curi waktu menonton timnas Indonesia main di Stadion Utama Senayan (kini Stadion Utama Gelora Bung Karno).

Untuk cuci mata ya mampir di cabang akuatik, kolam renang dan bolavoli putri.

Nikmatnya menjadi wartawan olahraga memang di situ. Melihat yang muda, energik, sehat, bugar dan bening.

The second wind

Kembali ke Bung Edu, dalam wawancara denganku dia mengaku sebetulnya tidak cukup yakin bisa meraih medali emas lari maraton SEA Games 1997 yang mengambil start dan finish di Stadion Madya Senayan.

Tenaganya nyaris habis saat memasuki kilometer 21. Napasnya tersengal.

“Beta su (sudah) pasrah Bu. Lemas, kaki berat sekali melangkah,” kata Edu.

Yang dia jaga hanyalah jangan sampai terjatuh mencium aspal.

Edu tetap berlari meski pelan dan fokus menelusuri jalan raya.

Atlet kelahiran 21 April 1968 ini tidak berpikir soal jauhnya jarak 42,195 kilometer yang harus dia tempuh amat lekas demi menjadi juara.

Dia terus melangkah meskipun lawan-lawannya seperti pelari asal Malaysia, Subramaniam dan atlet andalan Filipina Hector Bagio jauh meninggalkannya.

“Beta hanya berusaha jaga kestabilan langkah. Konstan. Jangan terlalu pelan dan tidak juga cepat-cepat,” katanya.

Dia yakin kelelahan juga melanda pelari lainnya.

Stamina cadangan Eduardus Nabunome muncul di kilometer 34.

Di dunia atletik dikenal dengan fenomena second wind.

Seorang atlet yang kehabisan napas dan terlalu lelah untuk melanjutkan langkah tiba-tiba menemukan kekuatan baru untuk mencapai kinerja puncak dengan pengerahan tenaga lebih sedikit.

Sejak kilometer 35, 36, 37 pemilik nama lengkap Anderias Hiler Eduardus Nabunome mempercepat langkahnya. Di kilometer 39 dia mulai melewati pelari terdepan.

Dua kilometer jelang finish Edu tak tertahankan lagi. Saya ikut berjingkrak girang menyambutnya di garis
akhir di Stadion Madya.

Medali emas dari Edu melengkapi pencapaian kontingen Indonesia sebagai juara umum dengan koleksi 194 medali emas, 101 perak dan 115 perunggu.

SEA Games 1997 diikuti 10 negara mempertandingkan 34 cabang olahraga dalam 440 ajang.

Thailand berada di urutan kedua dengan 83 emas, 97 perak, 78 perunggu disusul Malaysia Malaysia 55 medali emas, 68 perak dan 75 perunggu.

Terbaik Selama 40 Tahun

Tak bisa dipungkiri Eduardus Nabunome yang menikah dengan sesama atlet atletik berdarah NTT juga, Marcelina Ina Piran merupakan pelari jarak jauh terbaik Indonesia selama 40 tahun terakhir.

Belum ada atlet lain di negeri ini yang menyamai prestasinya.

Bahkan sampai sekarang Eduardus Nabunome masih pemegang rekor nasional (rekornas) lomba lari Bali 10K tahun 1989 dengan catatan waktu 29 menit 25 detik.

Rekor Bali 10K itu sudah bertahan selama 31 tahun. Entah sampai kapan baru bisa terpecahkan.

Edu juga memegang rekor maraton Singapura 1993 (2 jam 19 menit 18 detik), lari 10.000 meter junior tahun 1986 di Jakarta dengan catatan waktu 30 menit 6,33 detik.

Edu Nabunome adalah pemegang rekor nasional lari maraton dengan catatan waktu 2 jam 19 menit 18 detik.

Catatan itu dibuatnya pada 12 September 1993 di ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) XIII/1993 di
Jakarta.

Prestasi lain yang mengagumkan adalah Edu menciptakan hattrick medali emas nomor lari 10.000 meter putra SEA Games tahun 1987, 1989, dan 1991.

Di nomor lari 5.000 meter putra, Edu mengoleksi medali emas SEA Games 1987 dan 1989. Juga lari maraton di SEA Games 1997.

Selama periode 1980-2000, Eduardus Nabunome menciptakan 14 rekor lari jarak jauh dan menengah.

Dari jumlah itu, lima rekor nasional masih bertahan atas namanya hingga saat ini. Hampir 40 tahun berlalu.

Adapun lima rekor yang dicatat lulusan FISIP Universitas Moestopo Beragama, Jakarta itu adalah lari 10 ribu meter jalan raya, 29 menit 25 detik yang dibuatnya pada Bali 10K tahun 1989.

Rekornas junior lari 10 ribu meter trek 30 menit 6 detik, rekor PON lari 5 ribu meter 14 menit 20 detik, rekor PON maraton 2 jam 19 menit 27 detik, dan rekor SEA Games maraton 2 jam 20 menit 17 detik.

Pada tahun 2018, Eduardus Nabunome pernah bercerita tentang rekornya tersebut.

Edu menilai rekor itu seharusnya bisa dipecahkan para pelari muda Indonesia.

Namun, rekor itu pada akhirnya sulit dipecahkan karena tidak banyak lomba lari dengan hadiah menarik yang berlangsung di Indonesia.

Menurut Edu Nabunome, penyelenggara lomba lari kebanyakan tidak mau repot dan takut memberi rangsangan hadiah untuk peserta lomba.

"Sampai saat ini, jangankan melewati atau menyamai, mendekati catatan waktu saya itu saja tidak ada," kata Edu Nabunome dikutip dari Harian Kompas, 24 Maret 2018.

"Kalau mau serius, PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) seharusnya bisa membantu," kata Edu.

"Kalau tidak, cobalah membuat lomba lari 10k dengan hadiah yang menarik misalnya, memperebutkan tiga mobil untuk yang berhasil memecahkan rekor. Itu pasti akan menarik," tambah Edu Nabunome.

Meski rekornya masih belum terpecahkan, Edu pada 2018 mengaku tetap bersyukur karena olahraga lari sudah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia.

"Paling tidak, sekarang sudah banyak orang menggemari olahraga lari. Semakin banyak, semakin bagus tentunya," ujarnya.

Dalam wawancara dengan Pos Kupang empat tahun silam, Sekretaris Pengprov PASI NTT, Eduard Setty mengungkap sedikit kilas balik lahirnya Edu Nabunome sebagai atlet legendaris.

Dikatakannya, saat Mell Yacob, S.H menjabat Ketua DPRD Kabupaten Kupang sekaligus Ketua Pengcab PASI Kabupaten Kupang, dia mencanangkan program Atletik Masuk Desa tahun 1980 -1985.

Melalui program Atletik Masuk Desa inilah muncul atlet berbakat seperti Eduardus Nabunome, Welmintje Sonbay dan lain-lain.

NTT pun menjadi gudang atlet atletik nasional. Kalau belakangan ini prestasi atlet atletik NTT meredup, pasti ada sesuatu yang keliru dan perlu dibenahi segera.

Saat Piet A Tallo memimpin Pengda PASI NTT, tokoh yang sempat menjabat Gubernur NTT ini menggelar rutin Sirkuit Atletik NTT antara tahun 1995 -2009.

Banyak atlet lahir dari sana, di antaranya Oliva Sadi yang kini masih aktif berlari.

"Masih menjadi kebanggaan NTT karena catatan rekor nasional yang diraih atlet NTT Eduardus Nabunome pada nomor lari 10.000 meter junior tahun 1986 di Jakarta, Bali 10K tahun 1989 (29:25.0), dan lomba lari
maraton 1993 di Jakarta (2:19.18), belum terpecahkan sampai saat ini," kata Eduard Setty.

Menurut Eduard Setty, Edu Nabunome terakhir membela NTT di PON 1996.

Mulai PON 2000 di Surabaya, Edu Nabunome mewakili DKI Jakarta karena alasan KTP, domilisi dan bekerja di Jasamarga Jakarta.

Setelah pensiun dari atlet, Eduardus Nabunome masih aktif melatih dan membina pelari-pelari muda Indonesia.

Dia antara lain mengasuh atlet muda lewat Eduard Atletik Club Jakarta yang mengabadikan namanya sendiri.

Senin malam 12 Oktober 2020 kabar duka datang dari Jakarta.

Eduardus Nabunome meninggal dunia pada usia 52 tahun.

Edu Nabunome didiagnosa terkena serangan jantung saat melatih anak asuhnya di kawasan Gelora Bung Karno, Sabtu 10 Oktober 2020 sehingga dilarikan ke rumah sakit.

Almarhum meninggalkan seorang istri, Marcelina Ina Piran dan enam orang anak. Kepergiannya meninggalkan
lara. Banyak orang merasa kehilangan.

Selamat jalan Sang Legenda.

Terima kasih atas pemberian dirimu yang terbaik untuk bangsa dan tanah air tercinta. Sampai akhir hayatmu engkau tak pernah jauh dari atletik.

Kami akan terus mengenangmu. Selamanya.

Bung Edu telah berlari menembus kefanaan. Dia yang maharahim mendekapmu. Beristirahatlah dalam damai dan kasih Tuhan. (dion db putra)

Sumber: Tribun Bali

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes