Orang Mati Masih Terdata Sebagai Tenaga Kontrak

LEWOLEBA, PK - Administrasi kepegawaian di Kabupaten Lembata bisa dikatakan buruk. Pasalnya, ada tenaga kontak yang sudah meninggal dunia namun namanya masih terdata sebagai tenaga kontrak.

Demikian salah satu dari sejumlah temuan yang dibeberkan DPRD Lembata dalam rapat kerja dengar pendapat DPRD dengan pemerintah setempat, Jumat (25/2009) lalu.

Pertemuan dipimpin ketua sementara, Yohanes de Rosari dan dihadiri segena anggota Dewan. Sementara dari pihak pemerintah, hadir Asisten III, Ir. Lukas Witak, dan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Yuliana Lazar, S.H.

Rapat itu membahas mengenai permasalahan yang dialami sejumlah tenaga kontrak di Lembata baik menyangkut mekanisme perekrutan, indikasi kolusi dan nepotisme sehingga merugikan masyarakat dan daerah.

Anggota Dewan, Fery Koban mengungkapkan, almarhumah Monike Dike, salah seorang tenaga kontrak yang telah meninggal dunia beberapa tahun silam, hingga kini namanya masih ada sebagai tenaga kontrak.

Selain itu, mantan anggota DPRD Lembata periode pertama, Bernadus Nara, yang diangkat menjadi guru PNS. Ada juga nama Bernadus Belida yang sudah diangkat menjadi PNS namun hingga kini masih berstatus sebagai tenaga kontrak.

Bahkan tenaga kontrak, Samuel Belida, dalam data base, menjadi tenaga kontrak yang mengajar di SMAN 1 Nubatukan, tetapi hingga saat ini orang tersebut tak ada.

Anggota Dewan, Frederikus Wahon dan Yoseph Meran Lagaor, menyatakan banyak tenaga kontrak menjadi korban, terkatung-katung nasibnya. Ada tenaga kontrak yang sudah bekerja sebelum tahun 2005 namun hingga kini belum diangkat menjadi PNS.

Sementara sejumlah tenaga kontrak lain sudah diangkat menjadi PNS padahal baru menjadi tenaga kontrak di atas tahun 2005, karena memiliki "orang dalam".

"Kasus ini terjadi karena orang tidak mengabdi dengan hati. Sejak Lembata jadi otonom, banyak muncul kasus kepegawaian. Setiap saat kita hanya berkelahi urus pegawai. Dibuka saja siapa yang merusak. Mari kita selesaikan agar ke depan kita bangun Lembata dengan hati bersih," tegas Wahon.

Ditambahkannya, perekrutan 20-an kader potensil setiap tahun dibiayai pendidikannya dengan APBD II namun hal itu tidak dilakukan secara transparan. Beberapa oknum pejabat pemerintah mengutamakan tamatan SLTA dari kalangan keluarganya, sehingga merugikan anak Lembata lain yang memiliki prestasi akademik yang lebih baik. Selesai pendidikan, kader potensial itu mendapat prioritas untuk diproses menjadi PNS.

Yoseph mengungkapkan, data base tenaga kontrak tahun 2004 sebenarnya masih murni, tetapi diubah oknum tertentu di Hotel Benggoan II Maumere, yang mengganti nama tenaga kontrak yang asli dengan nama anggota keluarganya, sebelum data itu dibawa ke BAKN. "Yang masih sekolah sudah jadi tenaga kontrak. Ibu rumah tangga dan tukang ojek juga bisa masuk data base. Saya punya data dan bisa hadirkan saksi yang mengetahui data base itu telah dirombak," ungkap Yoseph.

Menurut dia, saat ini tak ada lagi kebijakan penerimaan tenaga kontrak oleh pemerintah pusat. Namun, di Lembata sampai tahun 2009 masih ada perekrutan yang dilakukan pemerintah setempat.

Kepala BKD Lembata, Juliana Lazar mengatakan tidak mengetahui siapa yang merombak data base tenaga kontrak di Hotel Benggoan-Maumere. Namun Juliana menegaskan, bupati tidak bisa mengubah SK penetapan data base itu.

"Bupati tidak bisa mengubah SK penetapan data base tenaga kontrak dari BAKN," tegas Juliana.

Menurutnya, pemeriksaan badan pengawas (Banwas) tiga tahun silam, menemukan ada SK tenaga kontrak fiktif dan tenaga kontrak yang masih duduk di bangku sekolah. Temuan itu sudah ditindaklanjuti dan tenaga kontrak yang bersangkutan sudah dikeluarkan. (ius)

Pos Kupang 29 September 2009 hal 20

Aula 301

Birahi kita adalah birahi mencabik-cabik.
Nafsu kita adalah nafsu
merajut benang kusut masai.


BETA berada di tengah hingar-bingar Aula B 301 siang itu, Jumat 25 September 2009. Panas Kupang yang terik dan sepinya angin sepoi dari laut utara Timor tidak mengurangi suasana yang demikian rileks. Jam mengantuk luruh dalam gelak tawa membahana. Tak henti-hentinya. Gelak kena tikaman. Tawa kena hantam yang pas amat. Tikaman sang profesor memompa nafsu pengharapan. Menggairahkan birahi aksi. Mengobok-obok nalar agar tak lupa berpikir. Tentang Nusa Tenggara Timur yang lebih baik. Tentang satu sikap dasar: Berhenti mengutuk NTT ini miskin!!!

Izinkan beta menyebut salah seorang bintang yang akhir pekan lalu menghangatkan beranda Flobamora. Namanya Prof. Dr. FG Winarno. Rektor Univesitas Atmajaya Jakarta. Dia hadir di aula 301 kampus Univesitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang kala itu sebagai salah seorang pembicara kunci bersama Rektor Universitas Parahyangan Bandung, Dr. Cecilia Lauw.


Mereka memberi pencerahan, peneguhan sekaligus rangsangan cerdas bagi kepemimpinan baru Unwira di bawah komando rektor P Yulius Yasinto, SVD, M.A, M.Sc. Memompakan spirit baru kepada Unwira yang sekian lama berpenampilan terlalu biasa untuk namanya yang pernah harum mewangi karena tak letih menghidupi Pertiwi dengan putra-putri terbaik.

Profesor Winarno bicara tentang mimpi. Mimpi kecil dan mimpi besar. Martabat manusia tergantung dari apa yang dia impikan. Jika mimpimu kecil, kamu akan jadi kecil, tiada berarti. Besarkanlah mimpimu, maka kamu akan menjadi besar. Begitu kata-kata profesor yang usianya "sudah" 72 tahun tetapi penampilan ragawi masih sekitar 50-an tahun. "Bahkan usia biologis saya baru 27 tahun," tuturnya enteng yang membuat aula 301 kembali tergelak.

Mengapa NTT yang demikian kaya sumber alam dan sumber daya manusia tetap miskin? Waw! Pertanyaan Winarno sungguh menohok. Bikin gatal otak, bikin batin tersentak. Ohh! NTT mestinya punya mimpi besar, tinggi, luas dan selebar mungkin agar tidak lagi melahirkan anak kurang gizi alias generasi yang bodoh tak tertolong. NTT mestinya punya mimpi besar agar Indeks Pembangunan Manusia (IPM) lekas terdongkrak dari dasar klasemen manusia Indonesia.

NTT seyogianya bermimpi tinggi, memiliki kelompok wirausaha yang kian besar jumlah. Idealnya dua persen dari total penduduk Flobamora. Sekarang berapa persen? Aih, bisa dihitung dengan jari, kawan! Sudah waktunya NTT keluar dari stigma Propinsi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dunia di luar sana sangat menjanjikan tetapi belum diolah dengan serius sehingga pengangguran sarjana di sini kian gemuk dari hari ke hari. Idolakan PNS semata, mana mungkin?

Universitas-universitas di NTT mesti punya mimpi besar masuk 10 terbaik nasional dalam limabelas tahun ke depan. Bila perlu nomor wahid hingga diincar mahasiswa dari seluruh penjuru negeri bahkan mancanegara. Punya dosen-dosen ternama yang karyanya tembus jurnal internasional bukan barisan GBHN (Guru Besar Hanya Nama). Sudah saatnya perguruan tinggi di NTT tidak mengandalkan SPP semata tetapi mempunyai unit usaha mandiri yang bonafit sebagai sumber utama pendanaan. Agar gaji dosen dan karyawan dikeluarkan dari daftar persoalan klasik. Dosen sejahtera, karyawan bahagia, kampus sungguh rumah yang sehat.

NTT pun mesti bermimpi menjadi contoh penyelenggaraan pemerintahan bersih, kuat dan efektif mengurus kepentingan rakyat. Bukan pemerintahan yang lema leo, endawenga atau noe mo mati (baca: lemah). Bukan bupati/walikota yang gagal masuk 10 besar kepala daerah terbaik Indonesia, tapi paling rajin berkeliling dunia, lebih kerap pelesir ke luar daerah. Bukan ke kampung dan desa. Begitu kira-kira.

***
APAKAH Flobamora tidak punya mimpi besar sejak 1958? Jangan salah bung! Mimpi besar mengantung tinggi di langit Flobamora sejak zaman Lalamentik, El Tari, Ben Mboi, Hendrik Fernandez, Herman Musakabe, Piet A Tallo hingga Frans Lebu Raya sekarang. Jadi, senggolan Prof Winarno hari Jumat itu cocok betul. Senafas, sehati-sesuara dengan pandangan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, Rektor Undana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, Ph.D, pakar ekonomi dari Unwira, Dr. Thomas Ola Langodai serta pembicara lain yang berdiskusi tentang peternakan.

Di beranda Flobamora, mimpi besar telah dicanangkan duet Fren (Frans Lebu Raya dan Esthon L Foenay) yang terpilih dengan suara signifikan dalam pilkada 2008. Fren meletakkan mimpi besar NTT menjadi propinsi ternak, propinsi koperasi, propinsi jagung, propinsi kepulauan serta mengembalikan kejayaan wangi cendana.

Orang mungkin berkata, mimpi besar itu tak akan mencapai kenyataan. Memang iya kalau ukurannya sekadar masa kepemimpinan kepala daerah yang mengenal batas. Di mana-mana mimpi besar butuh kesinambungan aksi. Prinsipnya: Lanjutkan! Siapa pun pemimpinnya kelak. Fren telah meletakkan tekad visioner: Tahun 2025 NTT mestinya sudah lebih baik dari sekarang. NTT yang lebih sejahtera, bermartabat dan beradab dibandingkan kemarin dan ini hari.

Tekad visioner itu tentu butuh aksi konkret. Butuh jejak pertama. Tak bisa tidak, semua stake holders mestinya mau urun rembuk, ikut menjadi pemain aktif sesuai talenta, kompetensi dan tanggung jawab masing-masing. Tidak sekadar bernyanyi di sisi ring, menonton laga sambil menghujat, sambil menggulai kambing hitam. Di beranda ini terlalu banyak penonton yang piawai analisis. Sedikit jumlah yang mau tikam kepala di lapangan, mau bercanda dengan lumpur, bergelut dengan peluh, menjamahi ilalang, menggauli karang dan ranting-ranting savana serta bercumbu dengan cicit pipit di pucuk mayang gelagah yang makin langka kerontang.

NTT tetap begini saja hingga usia setengah abad, boleh jadi karena perguruan tingginya terbang terlalu tinggi sampai lupa menjejak bumi, ibunya kehidupan. LSM terlalu semangat bawa resep dari negeri antah berantah yang belum tentu cocok dengan kebutuhan lokal. Diagnosis resep di Washington DC, prakteknya di Watuneso, Flores. Mana mungkin ko? Bangga sekali sebut diri agent of change, eh ternyata agen mengubah kesejahteraan diri sendiri dan keluarga besar. Hehehe..

Mungkin juga karena di sini terlalu banyak panji. Semua orang kibarkan panji sendiri-sendiri. Divide et impera sungguh tak pernah mati. Seperti kata Winarno, politik pecah-belah warisan Kompeni Belanda selama tiga setengah abad, jangan-jangan telah menjadi DNA anak Flobamora. Birahi kita adalah birahi mencabik-cabik. Nafsu kita adalah nafsu merajut benang kusut masai. Mental kerja kita adalah mental Asal Bapak Senang (ABS), kerja asal-asalan, kerja tidak tuntas.

Beta salah bertutur? Bisa ya, bisa juga tidak salah. Yang pasti alam tak pernah salah. Yang salah urus di bumi cuma manusia. Ada yang tidak beres dengan diri kita hingga nasib begini-begini saja. Nafsu besar, tenaga kurang. Mimpi besar tapi tidur lebih lama ketimbang kerja. Mimpinya cuma lahan basah sesaat.

Tuan dan puan punya mimpi kan? Mimpi apa ya? Hati-hati mimpi jelita dan rupawan karena bisa sakit kepala bahkan celana basah belepotan. Ah, beta akhiri sudah daripada mimpi ini semakin tak karuan. Hahaha... (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 28 September 2009 halaman 1

Cake dan Kue Kering Iwi

KALAU Anda sempat mampir di lokasi pameran pangan lokal di area parkir Flobamora Mall-Kupang, 10 - 12 September 2009, Anda pasti melihat onggokan ubi berukuran raksasa di pintu masuk anjungan Kabupaten Sumba Timur. Warnanya agak hitam dan berambut dengan tekstur tidak rata.

Ubi itu oleh orang Sumba Timur disebut Gadung atau Iwi. Di masa lalu Iwi identik dengan kelaparan. Ketika orang Sumba Timur makan Iwi, berarti mereka sudah tidak punya persediaan makanan lagi.

Sempat terjadi kontroversi mengenai anggapan itu. Terutama Pemda Sumba Timur berhadapan pemberitaan media yang melihat Iwi sebagai tanda kelaparan. Menurut Pemda Sumba Timur, mengonsumsi Iwi tidak berarti lapar. Iwi sudah menjadi makanan masyarakat setempat sejak dulu, meskipun mereka masih memiliki persediaan pangan seperti padi dan jagung.

Untuk mengangkat derajat sekaligus menepis anggapan rendah terhadap Iwi, Pemda dan masyarakat Sumba Timur kini mengolah Iwi menjadi sederajat dengan bahan makanan modern.

Di anjungan Kabupaten Sumba Timur itu, Ir. Hartini H. A (Kabid Konsumsi dan Keamanan Pangan pada Badan Bimas Ketahanan Pangan Kabupaten Sumba Timur) berapi-api mempromosikan berbagai jenis makanan lokal Sumba Timur, termasuk Iwi yang menyedot perhatian pengunjung.


Menurut Hartini, Iwi itu aslinya beracun. Tetapi ketika diolah dengan baik, dia menjadi bahan makanan yang berkualitas. Sekadar gambaran, dia membandingkan kandungan gizi Iwi dengan bahan pangan lokal lainnya. Iwi kukus mengandung 6,8 protein, kurang sedikit dari tepung beras yang mengandung 7,0 protein. Dari segi kandungan karbohidrat, Iwi jauh lebih rendah (20,9) dibanding tepung beras (80,0) atau tepung jagung 73,7 atau tepung terigu 77,3. Iwi memiliki kandungan Kalsium lebih besar 26,0 daripada tepung beras 5,0 atau tepung jagung 10,0.

Bagaimana mengolah Iwi agar layak dikonsumsi? Umbi Iwi diiris-iris lalu direndam berhari-hari dalam air. Setelah diperkirakan tidak beracun lagi, irisan-irisan Iwi itu dijemur sampai kering lalu diolah menjadi tepung. Tepung itulah kemudian yang diolah menjadi berbagai jenis kue.

Masyarakat Sumba Timur sudah mengolah tepung Iwi menjadi Cake Zebra Iwi dan Kue Kering Iwi.

Untuk membuat Cake Zebra Iwi, diperlukan tepung Iwi 200 gram, mentega 250 gram, gula 150 gram, telur kuning 6 dan telur putih 2, vanili setengah sendok teh, bumbu spekuk setengah sendok teh, ovalet/TBM satu sendok teh, dan coklat
bubuk dua sendok makan.

Cara membuatnya: kocok mentega dengan gula dan ovalet/TBM sampai putih lalu masukkan telur satu persatu. Selanjutnya, kocok sampai adonan naik, tambahkan tepung Iwi sedikit demi sedikit sampai habis, tambahkan vanili dan bumbu spekuk. Lalu, bagi adonan menjadi dua bagian, bagian yang lain diberi coklat bubuk. Siapkan loyang bulat dengan diameter 22 cm, olesi dengan mentega. Masukkan adonan silih berganti sampai adonan habis lalu masukkan ke dalam oven yang sudah dipanasi lebih dulu (120 derajat Celcius). Setelah 10 menit, adonan ditabur dengan kenari atau kismis. Setelah dingin Cake Zebra Iwi siap disajikan.

Inovasi lain dari Iwi adalah Kue Kering Iwi. Bahan-bahannya: tepung Iwi 0,5 kg, gula halus 250 gram, mentega 300 gram, kuning telur empat butir, vanili 0,5 sendok teh, dan maizena dua sendok makan.

Cara membuatnya: kocok mentega dan telur selama sekitar 10 menit lalu masukkan kuning telur satu-persatu dan kocok sebentar. Masukkan vanili dan tepung maizena. Masukkan tepung sedikit demi sedikit sampai kalis/dapat dipulung/dicetak. Selanjutnya, masukkan ke dalam oven sampai panas 180 derajat Celcius.

Pemda Sumba Timur sudah menyiapkan ratusan brosur tentang pengolahan Iwi. Brosur-brosur itu dibagi gratis kepada setiap pengunjung anjungan Sumba Timur.

Bukan hanya brosur, Pemda Sumba Timur juga menyediakan contoh tepung Iwi dan kue-kue yang terbuat dari tepung Iwi. Setiap pengunjung pun boleh mencicipi kue-kue itu secara gratis.

"Supaya percaya, silakan cicipi kue dari Iwi. Enak kan? Ini hasil kreasi kami dari Sumba Timur. Gubernur pun sudah mencicipnya tadi dan mengagumi kue-kue ini," ujar Hartini bersemangat.

Kue Iwi produksi Sumba Timur memang luar biasa. Tampang dan cita rasanya sama dengan kue tar yang terbuat dari tepung terigu. Kalau begitu, buat apa susah-susah beli tepung terigu, pakai saja tepung Iwi.

Menurut Hartini, di Sumba Timur Iwi tidak lagi sekadar umbi hutan. Iwi sudah dibudidayakan di kebun-kebun warga. Mereka akan menggalinya setelah mencapai ukuran yang sudah matang dan siap untuk dikonsumsi.

Melihat tampang Iwi dari Sumba Timur, saya jadi ingat, jangan- jangan ini umbi yang oleh orang Manggarai disebut Raut. Di kampung Timbang, Kecamatan Cibal, dulu banyak sekali Raut. Meskipun kampung itu menghasilkan banyak padi dan jagung, raut juga menjadi pilihan konsumsi mereka. Hanya waktu itu pengolahannya belum seperti Iwi di Sumba Timur saat ini. Oleh (Agus Sape)

Pos Kupang edisi Sabtu, 26 September 2009 halaman 1

Jangan Kirim Sapi, Tapi Dagingnya

KUPANG, PK -- Rektor Undana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M. App, Sc. Ph.D, mengatakan, salah satu sebab meruginya peternak sapi di NTT selama ini karena yang dikirim ke luar daerah adalah sapinya, bukan dagingnya.

"Agar usaha kita di bidang peternakan tidak rugi, maka yang harus dijual dagingnya, bukan sapinya," kata Umbu Datta, saat berbicara dalam seminar sehari menjelang pelantikan Rektor Terpilih Unwira, Pater Yulius Yasinto, SVD, M.A, M. Sc, di ruang B 301 Lantai III Kampus Lama Unwira Kupang, Jumat (25/9/2009).

Seminar yang diselenggarakan atas kerja sama Unwira dengan Harian Kompas dan Harian Pos Kupang ini mengusung tema: Pendidikan Tinggi NTT Menuju Milenium Baru seraya Memberdayakan Peternakan dan Berbagai Potensi Daerah.

Selain Umbu Datta, seminar ini juga menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, membahas Problem dan Prospek Peternakan NTT; Rektor terpilih Unwira Kupang, Pater Yulius Yasinto, SVD, M. A, M. Sc, membahas Peran PT dalam Menyiapkan SDM untuk Pengentasan Kemiskinan di NTT; pakar ekonomi dari Unwira, Dr. Thomas Ola Langoday, serta seorang peternak, Daniel Taimenas. Sesi pertama seminar ini dipandu moderator, Frans Sarong dari Harian Kompas.

Umbu Datta mengatakan, dari segi sejarah usaha peternakan di NTT pernah maju. Bahkan pemilik ternak di NTT pernah menjadi penyumbang kemajuan daerah ini. Karena itu, demikian Umbu Datta, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan mendorong tumbuhnya investasi di bidang peternakan di saat populasi ternak di daerah ini telah menurun, maka investasi itu harus ditangkap.

"Investasi di bidang peternakan itu merupakan investasi yang cukup seksi. Investasi ini harus ditangkap sebagai peluang agar impor daging sapi tidak datang dari luar negeri, tapi dari NTT. Kalau di jalan kita bisa lirik gadis-gadis seksi, mengapa investasi yang seksi ini kita tidak lirik?" kata Umbu Datta yang disambut tawa peserta.

Umbu Datta mengatakan, yang harus didorong saat ini agar tiap bupati membentuk Perusahaan Daerah (PD) Ternak. Pemerintah daerah juga harus membentuk lembaga pengembangan, pusat pelatihan dan riset. Dan, yang paling penting ialah harus ada upaya sengaja untuk menciptakan pakan ternak, jangan hanya mengandalkan keuletan para petani dan peternak. "Kalau buat PD juga harus terarah. Harus ada unit pengelola dananya," katanya.

Masalah pakan ini juga dikemukakan peternak, Daniel Taimenas. Dikatakannya, jika ingin beternak, maka yang harus disiapkan dulu adalah pakannya. "Di Kupang ini petani hanya memelihara sapi, sedangkan pemiliknya adalah pegawai dan pengusaha. Pengusaha atau pemilik ternak ini tidak pernah memikirkan dan menyiapkan pakan. Akibatnya banyak peternak yang mengambil pakan orang lain," kata Taimenas.

Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, mengatakan, salah satu kebijakan Pemprop NTT dalam bidang ekonomi adalah mendorong usaha di bidang peternakan. Usaha itu dilakukan dengan upaya mengembalikan NTT sebagai gudang ternak.

"Kemarin saya di TTS. Saya omong-omong tentang ternak dengan bupatinya. Bupatinya bilang, dulu TTS gudang ternak, tapi sekarang jangankan ternaknya, gudangnya (kandang) saja sudah tidak ada," katanya.

Beberapa problem dalam pengembangan sapi potong di NTT, jelas Lebu Raya, antara lain dari aspek produksi, produsen ternak di NTT sebagian besar peternak kecil dengan kemampuan yang sangat terbatas. Juga sistem pemeliharaan yang masih non intensif dan semi intensif, serta masih tingginya pemotongan hewan produktif.

Selain itu, pelayanan kesehatan hewan belum optimal akibat sedikitnya jumlah dokter hewan di NTT. Sementara lahan belum dimanfaatkan seluruhnya akibat air yang tidak merata. "Usaha ternak sapi hanya sebagai sampingan/bukan utama, dan beternak sapi hanya berorientasi pada usaha ketahanan pangan," kata Lebu Raya.

Agropolitan
Pakar ekonomi Unwira Kupang, Dr. Thomas Ola Langoday, mengatakan, Pemprop NTT harus mengembangkan pusat agropolitan dalam melaksanakan program- programnya. Dengan agropolitan, program menjadikan NTT sebagai propinsi ternak, jagung, koperasi, dan propinsi lainnya bisa terwujud.

Thomas Ola menyatakan pesimis dengan program Pemprop NTT yang dinilainya terlalu banyak. Banyaknya program yang dicanangkan ini berakibat kegiatan yang dilaksanakan tidak fokus. Karena tidak fokus, tidak tertutup kemungkinan semua program itu akan gagal.

Tetapi, kata Thomas Ola, pesimisme itu bisa diatasi jika Pemprop NTT mengembangkan pusat pertumbuhan agropolitan. Artinya, Pemprop NTT harus menyiapkan lokasi percontohan. Di sana akan dikembangkan berbagai tanaman dan usaha peternakan.

"Konsep saya, harus ada pusat pertumbuhan agropolitan. Di area agropolitan itu dikembangkan tanaman jagung. Di lokasi itu juga dipelihara ternak sapi. Tanaman jagung kan semuanya bisa dimakan ternak sapi, mulai dari batang, daun dan buahnya. Dan karena tanaman itu bergizi tinggi, maka ternak sapi yang memakannya akan gemuk. Dengan agropolitan ini setidaknya sudah dua program yang bisa dicapai, yakni Propinsi Jagung dan Propinsi Ternak. Jadi tinggal bagaimana koperasinya dan lainnya," katanya.

Menurut Thomas Ola, area agropolitan itu juga bisa mensuplai semua kebutuhan untuk semua komponen. Tinggal saja gubernur bisa menyiapkan lokasinya. "Dan tugas kita semua tentunya bagaimana agar SDM yang rendah ini bisa didorong untuk bisa terlibat dalam agropolitan ini," katanya.

Sedangkan Rektor Terpilih Unwira Kupang, Pater Yulius Yasinto, SVD, M. A, M. Sc, yang membahas Peran PT dalam Menyiapkan SDM untuk Pengentasan Kemiskinan di NTT melihat kemiskinan di NTT sebagai kekurangan yang relatif dan mencakup multi aspek.

"Di situ tugas perguruan tinggi, memperhitungkan berbagai aspek. PT harus bisa menyiapkan tenaga siap pakai, kreatif dan transformatif," kata Pater Yulius. (kas/ati/aa)

Pos Kupang edisi Sabtu, 26 September 2009 halaman 1

Melenyapkan penyakit ketergantungan


Pengantar
Bengkel Asosiasi Pemberdayaan Pengembangan Kampung (Bengkel APPeK) dan Perkumpulan Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL) kerja sama dengan Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang, 1 September 2009 menggelar diskusi bertema; "Ketergantungan Penduduk pada Kebutuhan Pokok dari Luar, Masalah atau Sesuatu yang Normal?", di Kantor Redaksi Pos Kupang.

Pembicara adalah Drs. Frits O Fanggidae, MS (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang), dan Drs. Petrus Langoday (Kepala Badan Ketahanan Pangan Propinsi NTT). Penanggap, Dion DB Putra (Pemred Pos Kupang) dan Adeleina M Erni, MT (Kasubid Produksi Bappeda NTT).Moderator, Ana Djukana (Pemred Harian Kursor). Diskusi dihadiri 30 peserta dari berbagai organisasi profesi dan instansi pemerintah, antara lain, Yayasan Alfa Omega, Yayasan Cemara, Forum Academia NTT, Dinas Koperasi UMKM NTT, BPMPD NTT, Dinas Perindag NTT, Dinas Perindag Kota Kupang, ACCESS NTT, Bappeda NTT, Oxfam, dan Target MDGS.

Diskusi Terbatas Kebutuhan Pokok (1)

IBARAT tikus mati di lumbung padi. Pepatah ini mungkin tepat untuk melukiskan kondisi kita di NTT. Pada satu sisi kita memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, tetapi di sisi lain, saban tahun rakyat di daerah ini selalu mengalami rawan pangan. Bahkan intervensi kebutuhan pangan dari luar NTT semakin mendominasi. Di sini muncul pertanyaan, apakah selama ini kita tidak mampu mengelola potensi yang ada agar memperbesar produksi pertanian karena sumber daya manusia (SDM) di sektor pertanian belum cukup memadai?

Apakah petani kita sudah tidak mau lagi bercocok tanam karena orientasi pemenuhan kebutuhan pangan kita sudah bergeser dari pangan lokal dan cenderung mendatangkan bahan pangan dari luar, seperti beras melalui Badan Usaha Logistik (Bulog) dan pedagang besar lainnya? Ataukah karena ketidakseimbangan dalam kebijakan pertanian, terutama peningkatan produksi dan produktivitas bahan-bahan pangan lokal?
Bengkel APPeK melalui salah seorang stafnya, Thersia Ratu Nubi, mengungkapkan betapa besarnya ketergantungan masyarakat NTT khususnya warga Kota Kupang terhadap bahan kebutuhan dari luar NTT untuk konsumsi sehari-hari.

Dari hasil survai Bengkel APPeK pada delapan kelurahan di Kota Kupang sebagai sampel, yakni Kelurahan Oespa, Airnona, Bakunase, Naikoten, Oebufu, Kuanino, Kelurahan Manutapen dan di kawasan Walikota, menggambarkan bahwa pola konsumsi warga Kota Kupang masih bergantung pada bahan-bahan pokok dari luar daerah (NTT). Survai dengan mewawancarai 12 ibu rumah tangga pada tiap kelurahan lebih difokuskan pada pendapatan dan pengeluaran setiap bulan untuk membeli kebutuhan pokok atau untuk konsumsi.

Thersia menjelaskan, hasil analisis data survai menunjukkan, pendapatan warga (responden) Rp 500.000,00/bulan hingga Rp 2.000.000,00/bulan dengan pendapatan rata-rata Rp 1.112.500,00. Sedangkan pengeluaran berkisar antara Rp 455.500,00 hingga Rp 1.200.000,00/bulan. "Pengeluaran rata-rata responden Rp 712.633,00/bulan. Pengeluaran ini hanya untuk kebutuhan konsumtif, bahkan ada yang mencapai 97 persen dari responen. Pengeluaran terbesar mencapai 31 persen untuk membeli beras " ungkapnya.

Biaya yang dikeluarkan warga untuk membeli kebutuhan seperti sayur- mayur 27 persen, kopi, gula dan susu 11 persen. Sementara pengeluaran membeli minyak bertahan di posisi 9 persen, dan 7 persen lainnya untuk membeli sabun mandi. Sumber perolehan bahan kebutuhan tersebut berasal dari pegadang lokal 37, 4 persen dan dari luar pedagang asal luar NTT sebesar 62,5 persen.

Kebutuhan lainnya seperti sabun dan odol 92,5 persen berasal dari pedagang lokal dan 7, 5 persen dari luar. Minyak goreng 90,3 persen dari pedagang lokal dan 9,7 persen dari pedagang luar. Sayur- mayur 82,5 persen dari luar 7,5 persen minyak tanah dari pedagang lokal. Begitu pula kopi, gula dan teh 44 persen dan 56 persen dari luar NTT.

Data yang ditampilkan Bengkel APPek ini memberikan informasi kepada kita bahwa pola konsumsi masyarakat Kota Kupang umumnya masih bergantung bahan pangan dari luar daerah. Meski begitu, sebagian besar ibu rumah tangga membeli kebutuhan dari pedagang lokal. Namun jika lihat lebih jauh, ada beberapa pasokan pangan berasal dari luar NTT seperti beras 62,5 persen. Sementara 37,5 persen berasal dari pedagang lokal, tapi beras yang dijualnya itu berasal dari luar NTT. Beras yang ada di pedagang lokal itu juga merupakan beras dari luar daerah atau beras impor.

Begitu pula bahan kebutuhan pokok lainnya. "Dari hasil survai ini kami mencoba mengambil kesimpulan, kebutuhan konsumsi masyarakat di Kota Kupang lebih banyak berasal dari luar, walaupun kecenderungan belanja kepada pegadang lokal. Ini karena warga membeli di sekitar tempat tinggal mereka," katanya.

Pendapatan per kapita masyarakat NTT sebesar 4,77 juta, sementara pengeluaran rata- rata per kapita tahun 2008 sebesar Rp 187.173,00, maka sebagian besar penduduk Kota Kupang memanfaatkan pengeluaran itu untuk kebutuhan konsumsi sebesar Rp 129.003,00 (68,94 persen). Sedangkan untuk non konsumsi Rp 58.140,00 (31,06 persen). Dengan data ini dapat pula disimpulkan, 70 persen pendapatan masyarakat NTT yang berjumlah 4,53 juta jiwa dikeluarkan untuk konsumsi yang mencapai Rp 2,85 juta dari pendapatan regional per kapita sebesar Rp 4,77 juta.

Kita bisa berkesimpulan bahwa peredaran uang banyak keluar daerah, terutama daerah- daerah penyedia bahan makanan pokok. Sedangkan pedagang lokal mendapat keuntungan tidak seimbang atau tidak sebanding dengan pedagang dari luar NTT.
Padahal, jika kita mencermati lebih jauh, NTT sebagai daerah agraris dengan luas daratan mencapai 1.657.858 ha adalah lahan usaha pertanian yang terdiri dari lahan basah 127.323 ha atau 7,68 persen, sementara lahan kering mencapai 1.530.353 ha atau 92,32 persen. Hal ini ditopang dengan sumber daya manusia NTT yang memadai. Namun, kondisi ini tidak menjadikan masyarakat NTT terjamin ketersediaan pangan.

Lemahnya kebijakan pembangunan di sektor pertanian oleh pemerintah daerah merupakan salah satu penyebab, selain faktor iklim dan pemanfaatan teknologi pertanian, modal usaha dan mental masyarakat NTT.

Tetapi, kenyataannya selama lima tahun terakhir, hasil pertanian hanya 2,6 ton per hektar untuk satu kali tanam/tahun. Kalau tanam satu kali setahun mencapai empat ton per hektar standar produksi rendah, maka NTT bisa surplus beras, walau kita beralih dari jagung ke beras. Lahan kering di NTT lebih luas lagi jumlahnya. Misalnya, lokasi persawahan Tarus lahan potensial yang sudah difungsikan baru 45 persen.

Pola konsumsi yang masih bergantung dari luar daerah dan bervariasi ini membuat ketergantungan produk pangan dari luar masih tinggi. Pemerintah daerah pun belum melihat ini sebagai masalah serius untuk ditanggulangi.

Direktris Yayasan Alfa Omega (YAO) Kupang, Dra. Sofia Malelak-de Haan, mengakui, untuk membangun ketahanan pangan di masyarakat perlu adanya penguatan kelembagaan di masyarakat. "Salah satu faktor yang menjadi masalah adalah produksi dan produktivitas. Kebanyakan lahan di NTT sudah beralih fungsi dari lahan tanaman pangan ke tanaman perkebunan sehingga pengaruh pada produk pangan," kata Sofia.

Dia mengungkapkan, banyak lahan pertanian sudah dialihfungsikan menjadi daerah industri dan permukiman. Bahkan yang lebih nampak adalah pola petani membudiyakan tanaman pangan sudah banyak beralih ke tanaman perkebunan.
Fenomena di NTT selama ini yang terjadi adalah konsep membangun pertanian yang belum memerhatikan sejumlah syarat mutlak, antara lain, perlu adanya pasar untuk hasil-hasil usaha pertanian, teknologi yang senantiasa berkembang, tersedianya bahan -bahan dan alat produksi lokal. Selain itu, ada perangsang produksi bagi petani dan ketersediaan sarana transportasi yang lancar dan kontinyu.

Yang lebih riskan lagi, kata Sofia, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pemerintah Propinsi NTT tahun 2009-2013, urusan pemenuhan bahan pangan tidak tampak sebagai urusan pokok yang harus diatasi. Gejala ini berulang dari penyakit ketergantungan, tetapi tidak ditanggapi serius sebagai situasi darurat yang membutuhkan penanggulangan.

Rudy Tonubesi, salah satu peserta diskusi mengatakan, penguatan kebutuhan pangan dalam rumah tangga harus ditempuh dengan upaya memperkecil biaya yang dikeluarkan guna memperoleh kebutuhan pokok rumah tangga. "Terkadang ada pejabat manfaatkan bantuan pemerintah untuk kepentingan pribadi dan pejabat tidak peduli dengan kebutuhan pokok masyarakat kecil," kata Tonubesi.

Peserta diskusi lainnya, Don Delansanto dari Antara/AusAid mengatakan, sampai saat ini belum ada terobosan untuk memaknai aset-aset lokal. "Kita belum bisa maknai aset lokal yang ada untuk diberdayakan, terutama pangan lokal melalui kelompok- kelompok petani. Dan, pendekatan ini saya kira bisa membantu mengurangi ketergantungan terhadap produk pangan luar daerah," ujarnya.

Sedangkan Torry dari Yayasan PIKUL mengatakan, perlu adanya upaya memberdayakan produk lokal yang dikelola masyarakat dengan melihat peluang pasar. Sebab pasar merupakan faktor yang dapat mempengaruhi ketergantungan terhadap pangan atau produk luar daerah. (Obby Lewanmeru, Hyeron Modo dan Frans Krowin/bersambung)

Pos Kupang, 23 September 2009 halaman 1

Kita Bangun dengan Istilah

PRODUKSI pertanian dan industri pengolahan yang tidak berkembang semakin memperkuat ketergantungan masyarakat (NTT) terhadap barang-barang konsumsi yang didatangkan dari luar NTT. Dampak jangka menengah dan jangka panjang dari ketergantungan warga NTT terhadap bahan kebutuhan pokok dari luar berawal dari terciptanya kebocoran wilayah.

Kebocoran wilayah ini merupakan efek penggerusan sumber daya ekonomi, yakni mengalirnya sumber daya ekonomi dari suatu wilayah, misalnya, dari NTT ke wilayah lainnya. Dan, yang memperoleh keuntungan terbesar adalah daerah tujuan, sedangkan daerah asal mengalami penggerusan sumber daya ekonomi.

Diskusi Terbatas Kebutuhan Pokok (2)

Demikian pendapat, Drs. Frits O Fanggidae, pengamat ekonomi dari Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang. Menurut dia, ketergantungan yang tinggi berdampak pada semakin besarnya ketimpangan harga relatif komoditas pertanian dan industri manufaktur/pengolahan. Selain itu, harga barang konsumsi yang terus melambung berperan besar dalam memicu laju inflasi. Dan, Kota Kupang tercatat sebagai salah satu kota dengan tingkat inflasi tertinggi di Indonesia.

Dari kondisi itu, Frits menyebutkan ada tiga bentuk kebocoran wilayah. Pertama, nilai transaksi arus barang masuk (bahan makanan) lebih besar dibandingkan arus barang keluar. Kebocoran ini mengindikasikan kemampuan produksi bahan makanan lokal NTT tumbuh lebih lambat dibanding kebutuhan konsumsi masyarakat di daerah ini. Dampaknya pendapatan masyarakat NTT mengalir keluar daerah. Dilihat dari ekonomi makro, kondisi ini mengakibatkan rendahnya peredaran uang di NTT.

Kedua, hasil pertanian yang kita jual antar-pulau pada umumnya bahan mentah. Dampaknya, nilai tambah terbesar dinikmati oleh orang luar NTT. Kita jual pisang terus, lalu kita membeli kripik pisang dari orang luar NTT yang membeli pisang di sini.
Ini merupakan bentuk pemborosan secara terus menerus sehingga bahan mentah yang dijual tidak memberi pendapatan yang berarti bagi petani produsen. Nilai tambah justru dinikmati oleh pelaku ekonomi di luar NTT. Jadi, rendahnya pendapatan per kapita masyaraat NTT, antara lain, karena hasil pertanian yang diperdagangkan berupa bahan mentah.

Ketiga, barang konsumsi hasil olahan (industri manufaktur) yang dijual pada umumnya didatangkan dari luar NTT. Dan, harga relatif barang konsumsi hasil olahan itu naik lebih besar dibandingkan harga komoditas pertanian. Akibatnya, untuk mendapatkan satu unit barang konsumsi hasil olahan dibutuhkan unit komoditas yang lebih banyak.

Menurut Frits, kebocoran sebagai dampak ketergantungan dapat dikurangi dengan cara mendorong perkembangan produksi pertanian dan unit usaha industri pengolahan. Sedangkan kebocoran perdagangan bahan mentah, dapat dikurangi bila bahan mentah minimal dapat diolah menjadi barang setengah jadi sebelum diperdagangkan. Hal ini akan berdampak pada peningkatan nilai tambah komoditas pertanian sekaligus mengurangi gap harga relatif komoditas pertanian dan hasil industri manufaktur.
Persoalan paling utama perekonomian NTT adalah bagaimana meningkatkan produksi dan produktivitas.

Di sini Frits lebih menekankan bagaimana memperbesar produksi bahan pokok, atau makanan supaya kita tidak tergantung pada sumber pangan asal luar NTT sehingga tidak ada kebocoran produksi lagi. Jadi, platform ekonomi NTT yang utama adalah memperbesar produksi pertanian. Dalam kaitan ini, tegas Frits, kita jangan tergoda masuk dalam jebakan analisis komoditas unggulan. Sebab, analisis ini hanya menggunakan pendekatan produksi (output) sehingga mengabaikan aspek potensi.

Frits menilai bahwa keinginan pemerintah daerah untuk mengembangkan industri skala makro dan kecil sangat kuat. Namun, keinginan itu tidak didukung rencana dan implementasi yang memadai. Menurut dia, sudah saatnya NTT memiliki blueprint tentang pengembangan industri mikro dan kecil. Blueprint ini diperlukan untuk menjamin perumusan kebijakan, program dan regulasi yang berpihak pada industri mikro dan kecil.

Salah satu solusi untuk meningkatkan produksi pertanian, yakni pemanfaatan tanah ulayat. Jika pemilik tanah tidak menggarapnya, maka mereka berhak mendapatkan sewa lahan atau bagi hasil dengan persentase yang disepakati bersama. Di sini petani yang tidak memiliki lahan bertindak sebagai penggarap. Pemerintah berperan menyediakan inout produksi dan teknologi yang diperlukan. Dengan demikian, kata Frits, program ini melibatkan tiga pihak, yaitu pemilik lahan, pengapa, dan pemerintah penyedia teknologi produksi.

Pola yang dikembangkan selama ini, para petani dipaksa menghasilkan bahan pangan tanpa didukung dengan peralatan yang memadai, pengadaan bibit, pupuk dan sarana produksi lainnya. Karena itu, program-program bidang pertanian harus ada konsep yang jelas karena selama ini kita membangun tanpa konsep. Kita hanya membangun dengan istilah-istilah. Kita akan terjebak dengan istilah-istilah. Padahal, istilah-istilah itu tidak punya dampak dalam suatu program pembangunan, dan tidak menyentuh kepentingan riil masyarakat, hanya pada tataran birokrat.

Untuk mengurangi ketergantungan bahan pangan dari luar NTT, maka kita harus perkuat organisasi petani dan mengubah program dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Ini dengan harapan agar petani mulai berproduksi. Selain itu, perlu perkuat usaha-usaha kecil (usaha rumah tangga) guna mengurangi kebocoran nilai tambah.

***
Pemimpin Redaksi (Pemred) Pos Kupang, Dion DB Putra, mengatakan, masyarakat NTT terlalu banyak bergantung pada pemerintah dengan sejumlah program. Sementara pemerintah sibuk mengurus dirinya sendiri. Kalau diminta untuk mengurus persoalan bahan-bahan kebutuhan konsumsi ini rasanya tidak terlalu besar.

Melihat fenomena ini tentu pemerintah perlu melibatkan elemen-elemen masyarakat yang punya potensi besar dalam mempengaruhi masyarakat. Di NTT, paling tidak ada dua lembaga yang bisa dilibatkan pemerintah untuk mendukung menyukseskan sejumlah program pemerintah, yakni gereja Katolik dan Protestan.

Memang secara gamblang, sesuatu program dapat dilakukan apabila program itu mempunyai tujuan jelas dan dampaknya terhadap masyarakat pun jelas. Masalah yang selama ini dihadapi adalah belum adanya keberanian pemerintah untuk membentuk pilot projek sehingga menjadi contoh sekaligus tolok ukur keberhasilan sebuah program.

Menurut Dion, jika semua program melibatkan kekuatan masyarakat tentu masyarakat sendiri merasa memiliki apa yang dia miliki, terutama potensi. Seandainya semua mengikuti irama yang belum mengedepankan kekuatan masyarakat, maka kita ibarat bermimpi dan hanya mengulangi program yang tidak efektif.

Sementara Adeleina M Erni, MT, dari Bappeda NTT, mengatakan, delapan agenda pembangunan di NTT diharapkan bisa menumbuhkembangkan ekonomi daerah ini. Dengan program spirit anggur merah, semua anggaran untuk belanja diarahkan untuk masyarakat 45 persen.

Menurut dia, penguatan kelembagaan kelompok perlu ditingkatkan. Seperti kelembaggan penyuluh pertanian mengalami kemunduran karena ada penyuluh yang sebenarnya harus berada di desa untuk mendampingi petani, tapi dialihfungsikan menjadi tenaga di kantor. Akibatnya, apa yang terjadi di masyarakat tidak ditangani. Erni berharap pada masa mendatang tenaga penyuluh lapangan ditambah agar bisa melakukan pendampingan kepada masyarakat petani.

Dikatakannya, sebetulnya sudah banyak bantuan diberikan oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) selama ini berupa sarana produksi, baik bibit maupun teknologi. Tetapi, petani kita di NTT masih kurang jiwa usahanya. Petani di NTT bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka tidak berpikir untuk menambah pemasukan keluarga sehingga usaha-usaha yang mereka lakukan bersifat sementara dan tidak berlanjut secara terus menerus. Salah satu contoh, kripik jagung yang diproduksi oleh pengusaha asal luar NTT. Ini mencerminkan bahwa petani kita tidak memiliki jiwa kewirausahaan sehingga belum bisa mengembangkan pangan lokal. (Hyeron Modo, Obby Lewanmeru dan Frans Krowin/bersambung)

Pos Kupang, 24 September 2009 halaman 1

Saatnya Perkuat Pangan Lokal

"BICARA tentang ketergantungan bahan kebutuhan pokok, tentu kita bicara soal potensi. Kita punya potensi, tetapi lebih banyak bergantung pada pangan dari luar. Kalau suatu saat produksi beras dunia habis, tidak ada pilihan lain, kecuali mulai sekarang kita perkuat pangan lokal."

Demikian Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Propinsi NTT, Drs. Petrus Langoday, salah satu narasumber dalam diskusi tentang "Ketergantungan Penduduk pada Kebutuhan Pokok dari Luar, Masalah atau Sesuatu yang Normal?". Diskusi diselenggarakan Bengkel Advokasi (bukan Asosiasi seperti tertulis dalam pengantar serial pertama tulisan ini) Pemberdayaan Pengembangan Kampung (Bengkel APPeK) dan Perkumpulan Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL) kerja sama dengan Pos Kupang, 1 September 2009.

Diskusi Terbatas Kebutuhan Pokok (3)

Saat ini, tingkat konsumsi beras masyarakat mencapai 82 persen. Konsumsi jagung 14 persen dan lain-lainnya dua persen. Pola konsumsi ini memperlihatkan betapa penduduk NTT lebih memilih mengonsumsi beras ketimbang bahan pangan lokal lainnya, seperti jagung, ubi-ubian, dan pisang.

Beras dianggap sebagai bahan makanan yang lebih bergizi, ketimbang bahan pangan lokal. Mengonsumsi beras dinilai lebih terhormat, lebih bergengsi daripada mengonsumsi jagung, ubi-ubian atau bahan pangan lokal lainnya.

Padahal, dari aspek kandungan protein, jagung lebih tinggi dari beras. Emping jagung, misalnya, kandungan protein mencapai 8,57 gram dari 100 gram bahan baku. Beras giling, kandungan proteinnya 6,8 gram/100 gram bahan baku. Marning jagung, kandungan proteinnya mencapai 7,73 gram dari 100 gram bahan baku.

Jagung bose, proteinnya 5,79 gram dari 100 gram bahan baku dan jagung titi, kandungan proteinnya mencapai 9,6 gram dari 100 gram bahan baku. Dari sisi kandungan energi (kalori), jagung lebih besar dari beras. Kandungan kalori pada 100 gram beras, 360 kalori, sementara jagung 368 kalori.

Kandungan protein dan energi pada jagung dan beras tersebut merupakan hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2008. Penelitian itu merupakan kerja sama antara Badan Bimas Ketahanan Pangan NTT dengan perguruan tinggi tersebut.
Pada tahun 2009 ini, dijalin lagi kerja sama antara Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan NTT (sebelumnya Badan Bimas Ketahanan Pangan-Red) dengan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Kerja sama untuk meneliti toksin pada sejumlah makanan berisiko yang biasa dikonsumsi warga di daerah tertentu saat masa paceklik.

Petrus Langoday mengemukakan, kebiasaan penduduk NTT mengonsumsi beras merupakan hal yang ironis. Pasalnya, NTT bukan penghasil beras. Sebagai perbandingan, ia membeberkan data tentang produksi dan konsumsi beras, juga produksi dan konsumsi jagung.

Pada tahun 2009, tingkat produksi beras 335.236 ton, sementara konsumsi beras mencapai 467.460 ton. Itu berarti NTT mengalami devisit beras sebanyak 132.224 ton. Tingkat produksi jagung mencapai 521.220 ton, sementara tingkat konsumsi 164.046 ton. Produksi ubi-ubian 219.486 ton dan tingkat konsumsi 136.743 ton. Data itu menunjukkan pada tahun 2009 ini, NTT mengalami surplus jagung 357.174 ton juga surplus ubi-ubian.

Saat ini, lanjut mantan Penjabat Bupati Belu ini, Pemerintah Propinsi (Pemprop) NTT yang dimotori Gubernur Drs. Frans Lebu Raya, giat mengkampanyekan konsumsi pangan lokal. Kampanye itu merupakan bagian dari upaya pemerintah menyadarkan masyarakat tentang pentingnya mengonsumsi pangan lokal.

"Kalau satu hari dalam seminggu, seluruh masyarakat NTT mengonsumsi bahan pangan lokal (pangan non beras), maka terjadi penghematan uang minimal Rp 6 miliar. Itu baru satu hari. Bayangkan kalau kita tingkatkan menjadi lebih dari satu hari. Penghematan uang tentu akan lebih besar lagi," kata Langoday.

Kalkulasi hingga mendapatkan jumlah uang yang dihemat sebesar Rp 6 miliar itu, yakni 275 gram pangan lokal/hari dikalikan dengan empat juta penduduk NTT, dikalikan lagi dengan banyaknya pangan lokal yang dikonsumsi setiap hari, dan dikalikan lagi dengan harga beras minimal Rp 5.000,00/kg.

Di satu sisi ada penghematan, di sisi lain ada penguatan ekonomi masyarakat petani. Para petani yang selama ini susah menjual jagung, susah menjual hasil pertaniannya, akan menemukan pasar baru. Paling kurang, jagung yang dihasilkannya, bisa terserap oleh pasar lokal, terserap oleh penduduk yang membeli jagung untuk dikonsumsi.

Andaikata jagung juga dibeli untuk pakan ternak, maka nilai jual jagung tentu akan menjadi lebih tinggi lagi. Jika itu yang terjadi, maka nilai keekonomian jagung bagi petani sangat besar. Faktor ikutannya, masyarakat semakin bergairah membudidayakan jagung. Karena jagung sudah menjadi komoditas yang dibutuhkan. Ujung-ujungnya, tekad Gubernur Lebu Raya menjadikan NTT sebagai propinsi jagung, bisa terwujud.

Saat ini, kata Langoday, harga jagung di pasar-pasar di Kota Kupang Rp 3.500,00/kg. Padahal, harga jagung di Surabaya, Jawa Timur, Rp 1.000,00/kg. Kalau semakin banyak warga daerah ini membeli jagung, maka hasil yang diperoleh petani juga akan lebih besar.

Kalau penduduk NTT lebih banyak membeli beras, lebih banyak mengonsumsi pangan non lokal, maka perputaran uang di tingkat petani tentu semakin berkurang. Uang justru lebih banyak berputar di kalangan pengusaha untuk memasok beras dari luar daerah, guna menjaga stok.

Dalam jangka panjang, demikian Langoday, salah satu solusi yang harus dilakukan adalah melakukan diverfisikasi pangan. Diversifikasi bukan saja tentang konsumsi pangan lokal, tapi juga bagaimana kualitas pangan, baik soal kandungan gizi, berimbang dan beragam. Selain itu, bagaimana kita mendorong partisipasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Kritikan dilontarkan Candra Dethan, seorang peserta diskusi dari Forum Academia NTT (FAN). Dia berpendapat, selama ini ketika bicara soal potensi alam NTT, khususnya potensi pertanian, kebanyakan orang masih berbicara dari sisi teori.

Padahal, yang dibutuhkan masyarakat, terutama petani di desa-desa, bukan teori. Saban hari para petani bergelut langsung dengan tanah, bergulat dengan tanaman pertanian, yang sampai sekarang masih dipersoalkan oleh pemerintah dan stakeholders lainnya.

Bila mau menjadikan NTT sebagai propinsi jagung, atau untuk memperkuat posisi pangan lokal, maka salah satu aspek yang dibutuhkan adalah penyuluh pertanian lapangan (PPL). Jumlah tenaga PPL di NTT relatif kurang dibandingkan dengan jumlah desa berikut petani di desa-desa.

Jika perbandingan itu difokuskan lagi pada luas lahan pertanian di NTT, maka akan didapatkan kesenjangan yang cukup besar. Bila satu orang PPL bertanggung jawab atas 1.591 hektar sebagaimana parameter yang ditentukan pemerintah, maka akan muncul masalah baru. Apalagi PPL yang sama harus mendampingi petani di dua desa.
DI NTT jumlah PPL yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 1.138 orang. Calon penyuluh 48 orang. Yang sedang tugas belajar 52 orang. Tenaga bantu penyuluh pertanian sebanyak 1.084 orang dan tenaga honor PPL 42 orang. Jadi, jumlah PPL seluruhnya di NTT 2.365 orang.

Chandra mengemukakan, selama ini pemerintah sering memberi bantuan kepada masyarakat untuk meningkatkan produksi pertanian. Bantuan itu kebanyakan bibit dan alat-alat pertanian. Ketika bantuan itu dimanfaatkan, hasil yang diperoleh meningkat. Muncul masalah pemasaran. Pasar tidak tersedia sehingga hasil menumpuk di tangan petani. Dampaknya kinerja petani melorot, karena over produksi hanya untuk konsumsi sendiri.

Problem lainnya, menyangkut lumbung desa. Di NTT, yang namanya lumbung desa masih kuat. "Kami pernah studi banding di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Lumbung desanya begitu banyak dan hasil pertanian melimpah. Tapi masalahnya, tidak ada transportasi dari dan ke lumbung desa. Kalau pun ada, kondisinya rusak parah. Jadi, yang terpenting saat ini, adalah bagaimana menata sistem pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Kalau dua aspek ini diperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka upaya memperkuat pangan lokal itu bisa membawa hasil nyata," kata Chandra.

Kepala Bagian (Kabag) Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Kota (Setkot) Kupang, RY Seubelan, S.T, M.Si, mengatakan, hasil survai Bengkel APPeK pada delapan kelurahan di Kota Kupang yakni Oespa, Airnona, Bakunase, Naikoten, Oebufu, Kuanino, Manutapen dan di kawasan Walikota, menarik untuk dicermati.

Bahwa sekitar 70 persen pendapatan masyarakat Kota Kupang (NTT), digunakan untuk konsumsi bahan kebutuhan yang berasal dari luar. Masalah ini bukan semata-mata karena bahan pangan lokal kurang atau tidak cukup tersedia, tapi pola konsumsi masyarakat. Banyak bahan yang tersedia tetapi masyarakat cenderung menggunakan produk dari luar.

Contohnya, pemakaian minyak goreng. Orang NTT lebih suka menggunakan minyak bimoli dibanding minyak kelapa yang diproduksi oleh orang NTT. Lebih banyak kita mengkonsumsi makanan instan, ketimbang makanan lokal yang tersedia di daerah ini.

"Jadi, kita dukung program pemerintah untuk menjadikan NTT sebagai propinsi jagung. Kita melihat produksi jagung begitu banyak, tapi tidak diimbangi dengan konsumsi. Imbauan konsumsi pangan lokal, jangan hanya untuk masyarakat, tetapi juga buat para pejabat. Kita juga berharap, konsumsi pangan lokal tidak sebatas imbauan," saran Seubelan.

Dari silang pendapat pada diskusi terbatas itu, muncul banyak harapan agar kita memperbesar dan memperkuat produksi pangan lokal. Jika produksi pangan lokal meningkat disertai usaha-usaha diversifikasi dan didukung pasar, maka diharapkan masyarakat NTT mengurangi ketergantungan konsumsi pangan dari luar daerah. (Frans Krowin, Obby Lewanmeru dan Hyeron Modo/habis)

Pos Kupang 25 September 2009 halaman 1

Pak Ande dan Kelompok Tarulaga

SUATU hari di rembang malam di tahun 2005. Tanggal dan bulan saya lupa. Pertemuan itu sungguh mengesankan, meski cuma beberapa saat. Seorang tetua. Namanya Bapak Andereas Ua Asan. Pria yang sudah berusia sekitar 60 tahun ini masih terlihat segar bugar. Tubuhnya masih gempal. Berotot.

Wajahnya lebih muda dari usianya. Mungkin karena aktivitasnya sebagai petani di kampung, menjaga kesehatan jiwa dan raga serta menikmati kehidupan apa adanya.

Pertemuan itu mengesankan karena sudah lama kami tak jumpa. Meski kampung kami bertetangga, antarkami saling mengenal secara baik. Di masa kecil itu Pak Ande sering ke kampung karena ia seorang tukang kayu. Dari sanalah saya mengenalnya secara baik.

Awal pertemuan kami, Pak Ande bercerita banyak tentang kondisi di kampung. Ia mengatakan bahwa apa yang disebut perubahan itu sudah merambah ke kampungnya dan kampung saya.

"No, sekarang sudah banyak perubahan. Tiap hari oto (truk yang dimodifikasi menjadi angkutan penumpang) dari Lewoleba masuk (mengambil trayek) ke kampung. Orang sudah tak jalan kaki lagi ke Lewoleba," kisah Pak Ande Asan dengan antusias. Kisah "jalan kaki" ini sungguh mengingatkan saya dan siapa pun dari wilayah itu. Di masa itu mau tidak mau kami harus berjalan kaki sehari penuh ke Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata. Jaraknya cuma 35 kilometer, namun terkendala topografi wilayah berbukit-bukit dan medan yang curam. Belum lagi terkendala hujan dan banjir sepanjang jalan yang masih rintisan itu. Ada beberapa kali besar seperti Paugwali dan Waikomo yang harus kami lewati. Bila banjir datang, maka kami harus menunggu berjam-jam hingga reda. Tak ada pilihan memang. Kalaupun ada mobil, muatannya terbatas karena cuma satu atau dua unit yang mengambil trayek beberapa hari sekali.

***
LELAKI ini dalam perjalanan dari kampungnya Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Lembata, menuju salah satu kota propinsi di Pulau Sumatera. Pak Ande bukan jalan sendirian. Ia diundang khusus LSM LAP Timoris untuk memberikan testimoni-nya seputar cara melestarikan alam yang selama ini ia lakukan. Hampir sepuluh tahun, LSM ini menaruh minat tak kecil seputar kelestarian alam di Lembata.

Di Sumatera ia akan bercerita seputar upaya Kelompok Tarulaga menjaga hutan dari gempuran api. Pak Ande pun berjanji setelah kembali akan menceritakan pengalaman unik nan menarik itu. Tapi, kami tak jumpa lagi hingga kini.
Sudah sekitar 30 tahun ini Pak Ande bersama anggota kelompok Tarulaga menyelamatkan ratusan bahkan ribuan hektar hutan di sekitar kaki Gunung Labalekan itu.

Kelompok ini dibentuk atas inisiatif sendiri. Bukan pula atas pesan sponsor. Bukan pula upaya mencari popularitas murahan untuk meraih sesuatu. Bukan pula ingin mendapat kucuran dana dari donatur atau pemerintah. Rasanya jauh dari spekulasi ini!
Yang ada adalah rasa cinta terhadap kampung halamannya.Yang ada adalah bagaimana ia membangun Kampung Belabaja dengan caranya.

Sehari-hari Pak Ande me-manage anggota kelompoknya ini untuk terus memantau "serbuan" api. Bila ada titik api, maka mereka segera ke lokasi untuk memadamkan api (rot ap). Atau membuat ilaran api agar tak merambah lebih luas lagi.

Ada begitu banyak kesulitan yang dialami Kelompok Tarulaga
ini. Lahan yang luas itu tentu membuat mereka kesulitan dari segi personel dan kendala-kendala teknis lapangan lainnya. Dengan kondisi ini Pak Ande sudah tentu berkoordinasi dengan aparat desa dan masyarakat lain. Tapi belum banyak warga yang terpanggil. Ini soal keikhlasan hati meluangkan waktu.

Pak Ande bercerita bahwa orang-orang di kampung itu sering membakar lahan karena beberapa alasan. Pertama, untuk mendapat pakan ternak. Kedua, faktor kesengajaan, dan ketiga, karena maniak api.

Menurut Pak Ande, hal terakhir ini menjadi kebiasaan hampir semua penduduk di tanah Lembata yang merasa gembira tatkala melihat api "menjilat-jilat" lahan. Ketika api mulai merambah hutan, warga menunjukkan ekspresinya dengan berloncat-loncat kegirangan.

Sebuah ekspresi kegembiraan yang aneh. Menjadi sebuah ironi zaman. Sesuatu yang tak berbudaya ketika isu pemanasan global (global warming) menjadi topik bahasan di semua level kehidupan. Mudah-mudahan perilaku nyeleneh ini sudah perlahan berkurang.

Pak Ande mengatakan bahwa perlahan masyarakat mulai menyadari ikhwal pelestarian alam.

Kini sudah sekitar tiga dekade ini Pak Ande dan Kelompok Tarulaga "memproklamirkan" diri sebagai relawan alam. Sudah tiga puluh tahun ini, ketika isu pemanasan global masih menjadi topik diskusi pada kalangan terbatas, Pak Ande bersama anggota kelompoknya menunjukkan keberpihakan pada kelestarian alam secara serius.

Karena itu, kita patut menyampaikan penghargaan yang tinggi atas perjuangan, keuletan, kegigihan, dedikasi serta keberpihakan kelompok ini terhadap kelestarian alam di kaki gunung tertinggi di Lembata itu. Pak Ande dan Kelompok Tarulaga patut menjadi ikon isu pemanasan global. (Paul Burin)

Pos Kupang edisi Sabtu, 19 September 2009 halaman 5

Mubazir

FASILITAS pemerintah mubazir kembali menghiasi halaman surat kabar dalam beberapa hari belakangan ini. Di Kabupaten Ende, misalnya, rumah jabatan yang disiapkan untuk para pejabat eksekutif dan legislatif tidak ditempati. Demikian pula dengan bangunan kantor pemerintah.

Ketika masalah ini diungkap media massa, otoritas setempat berjanji segera memanfaatkan fasilitas yang dibangun dengan uang rakyat tersebut. Mudah- mudahan janji mereka segera teralisir. Kita akan memantau dengan sungguh- sungguh.

Contoh lainnya terjadi di Kabupaten Kupang. Rumah dinas dinas camat, sekretaris camat dan rumah dinas untuk enam pegawai Kecamatan Kupang Tengah di Noelbaki tidak digunakan sejak dibangun. Saat ini delapan unit rumah dinas tersebut sudah rusak. Orang-orang yang berhak menggunakan rumah dinas memiliki alasan yang masuk akal. Mereka enggan menghuni rumah itu karena kebutuhan vital seperti air bersih tidak tersedia.

Menurut catatan kita, masalah seperti itu tidak hanya terjadi di Kabupaten Ende dan Kabupaten Kupang. Fasilitas negara dibiarkan mubazir terjadi hampir di seluruh wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di Kota Kupang yang menjadi barometer tata kelola pemerintahan NTT, tidak sedikit pula fasilitas pemerintah yang mubazir. Mulai dari pasar kelurahan, rumah dinas anggota DPRD hingga rumah jabatan petinggi kota.

Orang boleh jadi sudah menganggap biasa kenyataan seperti ini. Toh yang mubazir itu bangunan milik negara. Jadi, biarkan saja terjadi. Di sini hampir tak terdengar aksi protes dari masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu terhadap pengelola fasilitas negara yang mubazir. Masyarakat kita cenderung membisu. Memandang soal-soal seperti ini bukan perkara penting.

Orang lupa bahwa bangunan itu telah menghabiskan anggaran negara yang tidak sedikit. Orang lupa atau pura-pura lupa bahwa biaya pembangunan fasilitas negara justru bersumber dari pajak rakyat. Rakyat tidak pernah lupa memenuhi kewajibannya membayar retribusi. Membayar pajak setiap tahun ke kas negara.

Kita mudah sekali melupakan salah urus yang demikian akut. Kita tidak awas terhadap model pertanggungjawaban setengah hati yang menganut prinsip, "anjing menggongong, kafilah terus berlalu!" Bangunan pemerintah mubazir akan tetap dipandang sebagai masalah sepele jika orang tetap masa bodoh.

Bukan pertama kali kita ingatkan tentang lemahnya perencanaan hingga pengawasan dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan di daerah ini. Banyak proyek pembangunan fisik tidak melalui perencanaan yang baik dan berjangkauan luas. Dalam kasus rumah dinas di Kabupaten Kupang, misalnya, bisa diperiksa lebih jauh mengapa air bersih tidak masuk dalam daftar kebutuhan yang mesti dipenuhi untuk sebuah rumah dinas yang layak huni. Patut dipertanyakan model pengawasan pada saat pembangunan rumah dinas itu berlangsung.

Pemerintah daerah di seluruh wilayah NTT hendaknya tidak lepas tangan, melempar tanggung jawab bahkan mencari kambing hitam dalam perkara mubazirnya bangunan-bangunan milik negara. Dibutuhkan tindakan segera agar bangunan yang ada bisa dimanfaatkan sesuai tujuan awal atau dialihfungsikan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat.

Dari tahun ke tahun Nusa Tenggara Timur tak pernah letih menjerit kekurangan dana pembangunan. Dari waktu ke waktu, Nusa Tenggara Timur selalu meminta kucuran dana lebih. Ketika dana yang "terbatas" itu dipakai untuk membangun sarana fisik, justru demikian banyak bangunan negara dibiarkan mubazir. Dibiarkan sekadar menjadi tempat bermain kambing, ayam dan burung-burung. Ironis!*

Pos Kupang edisi Selasa, 15 September 2009 halaman 4

Wawi


OM Dinus kembali menjalani rutinitas pagi itu. Bangun tidur sekitar pukul 06.00, lelaki setengah baya itu menuju ke dapur mengambil makanan yang telah disiapkan istrinya semalam. Makanan siap saji hasil olahan dari berbagai macam bahan tersebut sudah diisi dalam dua ember plastik bekas ukuran 20 liter.

Dengan dua tangannya yang kokoh, Om Dinus mengangkat ember berisi makanan lalu bergegas menuju kopo wawi (kandang babi) yang letaknya sekitar 300 meter dari rumahnya. Kandang babi berada di pinggir kampung, persis di dekat rumpun bambu kuning yang rindang.

Om Dinus percepat langkah kaki. Dia ingin segera sampai di kopo wawi. Seperti hari-hari sebelumnya, dia tidak mau terlambat memberi makan hewan piaraannya. Apalagi ternak yang doyan makan itu sudah hapal jam makan pagi setiap hari. Rata-rata jam enam lewat sekian menit. Kalau sampai terlambat jauh, hewan ini tidak lagi sekadar mendengus, tetapi bernyanyi nyaring dengan suara yang khas.


Tapi ada yang aneh bagi Om Dinus pagi itu. Biasanya dalam jarak sekitar 20 meter dia telah disongsong babi yang mendengus kelaparan. Kali ini kok sunyi. Ada apa gerangan? Om Dinus percepat langkah menuju kopo wawi.

Jantungnya seolah mau copot. Lima ekor babi tambun di dalam kopo (kandang) telah meregang nyawa. Tungkai kakinya lemas. Om Dinus diam seribu bahasa. Tak terasa tetes air bening mengalir dari pepupuk matanya. Ketika kabar itu sampai ke telinga istrinya, sang istri pun tak sanggup menahan tangis.

Awalnya, Om Dinus sempat berpikir yang bukan-bukan. Mungkinkah wawi (atau bahasa lain daerah di NTT dikenal dengan ela, wawe, vavi atau fe) itu mati diracun seseorang yang tidak suka dengan keluarganya? Tapi Om Dinus merasa tidak punya musuh di kampung itu. Toh orang sekampung rata-rata masih terikat hubungan famili. Kecil kemungkinan di antara mereka memendam iri lalu meracuni kawanan babi yang siap dijual. Tentu ada penyebab lain.

Om Dinus tidak perlu menunggu lama untuk dapat jawaban. Keesokan harinya, warta kematian babi kembali mengejutkan warga kampung. Enam ekor babi milik tetangga Om Dinus mendadak mati. Kabar yang sama bertubi-tubi datang dari kampung lain. Semua sama bertutur, babi tiba-tiba terlihat lemas lalu stop mendengus. Mengertilah Om Dinus betapa dia tidak sendirian menderita. Puluhan ekor babi di kampung tetangga juga mati terserang penyakit yang belakangan (lewat radio) diketahui sebagai streptococcus. Om Dinus bahkan tidak mampu dan mau mengeja istilah yang ribet itu. Baginya babi telah mati karena penyakit. Titik!

Wawi atau babi merupakan salah satu sumber pendapatan utama keluarga Om Dinus, warga salah satu kampung di wilayah Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Untuk menghidupi keluarganya, Om Dinus tidak mengandalkan hasil kebun semata. Kebun kopi dan cengkeh tidak seberapa luas. Panenan kedua komoditi tersebut tidak selalu stabil saban tahun, sama seperti harga di pasar yang gampang dipermainkan pengusaha pengumpul.

Maka sejak lama keluarga Om Dinus pelihara babi, kambing dan ayam. Selain mudah pakan dan perawatan, hewan itu bisa menghasilkan uang dalam waktu tidak terlalu lama. Babi adalah ternak yang ekonomis. Dengan pelihara wawi, Om Dinus membiayai sekolah anak-anaknya. Dengan babi, Om Dinus bisa tunjuk muka dengan bangga bila menghadiri acara tertentu di kampung halamannya.

Pasar babi jelas. Permintaan tidak pernah kurang. Di Flores dan beranda Flobamora umumnya, hampir tiada hajatan tanpa menu babi. Peran babi sangat penting mulai dari menu harian sampai urusan belis dan ritual adat. Acara masuk minta (meminang), nikah, sambut baru, syukuran wisuda, dan lain-lain selalu menyajikan menu daging babi. Harga babi pun tidak beda jauh dengan ternak besar seperti sapi.
Menurut Om Dinus, babinya pernah dibeli warga Pulau Timor dan Sumba. "Orang Sumba sering cari babi ke sini. Juga dari Kupang," katanya.

Masuk akal memang. Warung se'i babi yang menjamur di Kupang, misalnya, membutuhkan pasokan babi tiap hari. Karena itulah, kematian lima ekor babi sekaligus merupakan bencana bagi Om Dinus dan warga kampung lain di Nagekeo dan Ende. Dalam sekejap mereka kehilangan uang belasan bahkan puluhan juta rupiah. Guna mendapatkan kembali, tak semudah membalik telapak tangan.

Ada protes dari Om Dinus? "Mau protes siapa? Babi kena penyakit sudah biasa kami alami," katanya datar. Bagi orang kampung seperti Om Dinus, kematian ternak telah dianggap sebagai musibah musiman dan mereka pasrah. Tidak ada komplain meski yang namanya vaksin selalu datang terlambat. Selalu datang buru- buru ketika ternak telah menjadi bangkai.

Om Dinus pun tak peduli apakah kematian hewan itu perlu ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) sehingga butuh aksi luar biasa pula agar tidak berulang dari tahun ke tahun. Om Dinus hanya memahami, kehidupan mereka sebagai petani-peternak selalu dinaungi malang dan untung.

Kematian babi diterima sebagai kemalangan sedang berkunjung. Mau apa lagi? Om Dinus tidak mengerti kata pro rakyat yang sering dia dengar waktu pemilu lalu. Dia cuma paham bahwa kambing, ayam, babi, anjing, sapi, kerbau, kuda, merupakan aset berharga rakyat kecil seperti dia. Itulah sumber kehidupan mereka.

Luar biasa orang tua ini! Dalam percakapan dengan beta medio pekan lalu, Om Dinus bahkan masih bisa bersyukur. Dia membandingkan kemalangannya dengan sesama saudara di Wolowae dan Maukaro yang kehilangan ternak besar. Kerbau, sapi dan kuda harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan babi. "Harga kerbau tiga sampai empat kali lipat dari babi," katanya.

Di Wolowae, lebih dari 84 ekor kerbau, sapi dan kuda mati terserang penyakit ngorok alias septichemia epizooticha (SE) mulai Juni hingga Agustus 2009. Penyakit yang sama merenggut nyawa 110 ekor ternak di Maukaro, Kabupaten Ende. Dan, baru pekan lalu sebanyak 47 ekor sapi di Timor Tengah Selatan (TTS) mati mendadak. Jika nilai semua hewan itu dikonversi ke dalam angka rupiah, kerugian sebagian warga Flobamora dalam waktu tiga bulan terakhir diperkirakan lebih dari satu miliar rupiah. Sebuah bencana ekonomi yang mengerikan.

Namun, siapa peduli dan memandang ini tragedi? Pernahkah tuan dan puan mendengar kematian massal ternak diposisikan sebagai bencana? Seorang teman berkata enteng, "Di beranda ini, boro boro urus hewan, urus sesama manusia saja masih payah bung!" Ah, beta jadi ingin tahu, siapa berani bilang manusia dapat hidup tanpa hewan dan tumbuhan? Siapa berani menyangkal, dapat sekolah tinggi, meraih pangkat dan kedudukan tanpa dibiayai duit hasil jual kambing, babi, sapi dan atau kerbau? Ah, seandainya wawi bisa omong...!? (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 14 September 2009 halaman 1

Gabriel Manek Usir Agus Talan

KEFAMENANU, PK -- Rapat Pleno DPD Golkar Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Sabtu (12/9/2009), sempat diwarnai kericuhan. Ketua DPD Golkar TTU, Drs. Gabriel Manek mengusir Agustinus Talan, S.Sos keluar dari ruang rapat karena menilai Talan terlalu mencampuri penetapan calon yang akan diusung Golkar untuk memperebutkan kursi pimpinan DPRD TTU.

Rapat pleno itu membahas kriteria anggota DPRD TTU dari Golkar untuk memperebutkan kursi pimpinan DPRD TTU (ketua, wakil ketua) periode 2009-2014.

Rapat pleno dipimpin Ketua DPD Golkar TTU, Drs. Gabriel Manek, dihadiri pengurus DPD Golkar Propinsi NTT, Drs. Alexander Ena dan Goestaf Jacob, S.H, ditambah pengurus harian DPD Golkar TTU. Rapat berlangsung alot mulai pukul 10.00 Wita-pukul 15.00 Wita.

Dalam rapat tersebut, muncul tiga nama calon yang dipandang layak diusung Fraksi Golkar untuk menjadi ketua DPRD TTU, yakni Agustinus Talan, S.Sos, Drs. Dominikus Anin dan Robby V Nailiu, S.T.

Suasana rapat mulai memanas dan hujan interupsi pun mulai mewarnai jalannya rapat ketika dibahas delapan kriteria calon sebagai pedoman internal Golkar untuk menyaring tiga nama tersebut. Delapan kriteria itu adalah, pertama, memiliki integritas dan kemampuan untuk melaksanakan tugas sebagai ketua atau pimpinan DPRD. Kedua, berpengalaman menjadi anggota Dewan dan calon dari unsur pimpinan DPD Partai Golkar sesuai tingkatannya.

Ketiga, tidak sedang menghadapi masalah hukum di pengadilan dan tidak mempunyai masalah sosial kemasyarakatan yang mempunyai dampak terhadap penolakan masyarakat.

Keempat, tingkat pendidikan diutamakan minimal S-1 atau sederajat, namun bila terpaksa dapat diperlonggar dengan pertimbangan calon memiliki kemampuan dan kapasitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Kelima, dalam hal terdapat beberapa calon yang mempunyai kualifikasi yang sama, maka calon yang memperoleh suara lebih banyak dalam pemilu legislatif, lebih diprioritaskan.

Keenam, pembahasan dan penetapan calon ketua/wakil ketua DPRD dilakukan melalui rapat pleno DPD Partai Golkar sesuai tingkatannya dengan disaksikan oleh unsur pimpinan DPD Partai Golkar satu tingkat di atasnya.

Ketujuh, dalam hal terdapat permasalahan yang tidak dapat terselesaikan dalam rapat pleno, maka keputusan penetapan calon diserahkan kepada pimpinan Partai Golkar satu tingkat di atasnya. Kedelapan, proses penentuan atau penetapan calon ketua/wakil ketua DPRD yang dilakukan dalam forum rapat pleno tersebut dilaporkan kepada pengurus DPD Golkar satu tingkat di atasnya untuk mendapat pengesahan.

Setelah kriteria tersebut dipasang untuk tiga balon itu, Agustinus Talan, S.Sos (mantan Ketua DPRD TTU periode 2004 - 2009) secara legowo mengaku terganjal oleh kriteria kedua. Sebab yang bersangkutan saat ini sedang menjadi tersangka kasus pembunuhan Paulus Usnaat.

Sementara sebagian peserta rapat pleno menilai Drs. Dominikus Anin memenuhi delapan kriteria itu. Namun kubu lainnya mempersoalkan integritas dan kemampuan Domi Anin, sebagaimana disyaratkan dalam kriteria pertama. Kubu ini menilai Anin memiliki kemampuan yang pas-pasan dan tidak berpengalaman memimpin rapat sekalipun.

Saat itu, Agus Talan didukung Titus Anunu dan Bernadus Kuabib berpendapat bahwa Domi Anin layak bersama Robby Nailiu memperebutkan kursi pimpinan DPRD TTU. Perang pendapat dan adu argumentasi pun makin seru diselingi interupsi, saat Gabriel Manek memberi kesempatan kepada kedua kubu ini untuk menilai Anin dan Nailiu.

Ketika situasi rapat nyaris tidak terkendali, Manek mengingatkan Anin dan Talan bahwa sebagai anggota Fraksi Golkar, keduanya hanya punya hak bicara namun tidak punya hak suara.

"Sebenarnya Anda berdua ini tidak boleh mencampuri terlalu jauh, karena urusan penetapan calon adalah urusan pimpinan partai dan pengurus harian," tandas Manek.

Namun peringatan ini tidak digubris Talan. Akibatnya Talan pun diusir keluar dari ruangan rapat oleh Manek, ketika dia menginterupsinya saat Manek mengetuk palu untuk mengesahkan Nailiu sebagai calon yang diusung Golkar untuk memperebutkan kursi ketua DPRD TTU.

Menjawab Pos Kupang usai rapat pleno tersebut, Gabriel Manek yang adalah Bupati TTU itu, mengatakan, dinamika dalam rapat Golkar adalah hal biasa.

"Penetapan Nailiu itu sudah final dan sesuai prosedur dan mekanisme. Rapat sudah berjalan demokratis. Di Golkar, beda pendapat serta saling sikut adalah budaya untuk meneguhkan demokrasi dan untuk membuat Golkar menjadi lebih dewasa," katanya.

Sementara Talan mengatakan menerima hasil rapat tersebut namun dia mengaku sangat tersinggung ketika diusir keluar oleh Manek dari ruang rapat. (ade)

Pos Kupang edisi Senin, 14 September 2009

Oho Ai Mitan

MASYARAKAT Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tentunya tidak merasa asing dengan tanaman ubi kayu. Hampir semua petani di propinsi ini menanam tanaman jenis umbi-umbian ini. Beraneka ragam pula umbi yang ditanam, antara lain ada yang berwarna putih, ada juga ubi ubi kayu warna kuning.

Cita rasa setiap tanaman ubi kayu atau dikenal dengan singkong ini juga berbeda sesuai daerah masing-masing karena tergantung dari keadaan struktur dan tingkat kesuburan di masing-masing daerah.

Misalnya, ubi kayu dari Kabupaten Ende yang terkenal, yakni ubi nuabosi. Rasa ubi kayu ini sangat memikat selera karena isinya sangat lembut setelah dimasak.

Dari ubi ubi kayu ini, masyarakat umumnya dapat mengolah menjadi makanan ringan, antara lain seperti kripik ubi, gaplek atau tape.

Khusus untuk warga Kabupaten Sikka, ubi kayu atau dikenal dengan nama oho ai. Ada proses pengolahan dan penyimpanan ubi ini sehingga berwarna hitam dan masyarakat mengenalnya dengan nama oh ai mitan (ubi kayu hitam).

Cara pengolahannya sangat sederhana. Umbi ubi kayu, setelah dicabut dari tanah, kulitnya dikupas, kemudian dibelah menjadi dua bagian atau lebih. Hasil belahan itu dijemur selama seminggu. Setelah kering, umbi ubi kayu dibungkus dengan daun pisang, kemudian dimasukkan dalam keranjang anyaman daun kelapa. Keranjang yang ada ubi kayu ini disimpan di tempat yang cukup lembab. Setelah seminggu, keranjang dibuka. Ubi kayu telah berubah warna menjadi hitam ( oho ai mitan) karena telah dipenuhijamur warna hitam. Oho ai mitan kemudian direndam lagi dengan air bersih sekitar empat hari.

Untuk masyarakat di Kabupaten sikka, khususnya di desa- desa, oho ai mitan direbus atau digoreng. Rasanya sangat lezat. Bila oho ai mitan dimakan dengan parutan kelapa setengah tua atau dengan kuah ikan (mage air). (Reddy Ngera)

Pos Kupang edisi Sabtu, 12 September 2009 halaman 5

Mengantar Raja Sumba ke Langit Ketujuh

Tujuh gong bertalu di pendapa rumah duka sang Raja Kerajaan Prailiu, Sumba Timur, Tamu Umbu Djaka (1950-2008), Jumat (28/8). Hal itu menjadi tanda prosesi adat pemakaman raja segera digelar.

Para undangan dari 60 marga sedaratan Pulau Sumba dan undangan dari luar Sumba berdatangan ke rumah duka dengan mengenakan pakaian adat, tenunan khas Sumba warna hitam.

Mereka membawa kerbau, sapi, babi, kain tenun sumba berkualitas, dan beras. Kerbau, sapi, dan kuda dibawa oleh saudara perempuan yang telah menikah, sementara kain dan babi dibawa pihak ipar (keluarga dari istri).

Sumbangan itu akan diperhitungkan saat ada anggota keluarga penyumbang meninggal dunia atau menyelenggarakan pesta. Panitia mencatat jenis barang, ukuran sumbangan, dan nama pembawanya.

Total hewan yang dibawa saat itu ada 87 ekor, terdiri dari kuda, kerbau, sapi, dan babi. Selain itu juga ada 213 lembar kain tenun sumba berkualitas. Dari jumlah itu, sebanyak 15 kerbau dan kuda disembelih di tempat upacara untuk memberi makan hadirin.

Jenazah raja yang sudah diawetkan dibaringkan di dalam peti kebesaran yang diletakkan di ruang utama istana. Istana berupa rumah panggung dihiasi ukiran adat. Ribuan pelayat berbaris rapi masuk keluar istana bergantian. Di depan jenazah, mereka mempersembahkan tenun asli sumba dan uang. Adapun sumbangan hewan hanya sampai di depan pintu masuk, kemudian diambil pihak keluarga untuk diikat.

Setelah gong dibunyikan, dilakukan pemotongan seekor kuda di depan pintu masuk istana. Semua hewan dipotong oleh Hunga Tamu (52) dari marga (kabihu) Anapura yang ahli memotong hewan.

Hunga Tamu hanya sekali menetakkan parang ke leher binatang, tidak boleh lebih. Jika tidak berhasil memotong dalam satu tetakan, harus diupacarakan lagi karena hal itu dianggap pertanda masih ada kesalahan yang belum dimaafkan oleh leluhur.

Persiapan panjang
Raja Tamu Umbu Djaka meninggal pada 25 April 2008, tetapi dimakamkan pada 29 Agustus 2009. Pemakaman Raja Sumba butuh persiapan matang. Persiapan penguburan Raja Tamu Umbu Djaka butuh waktu setahun karena sangat sulit mencari batu kubur.

”Panitia khusus yang mencari batu sebelumnya diupacarakan di rumah adat dengan mengorbankan seekor kerbau. Jika tidak, lempengan batu yang dibutuhkan akan sulit ditemukan. Harus ada petunjuk khusus dari leluhur mengenai keberadaan batu,” kata penanggung jawab Kerajaan Prailiu, H Wangulangu.

Setiap tahap pembuatan makam harus diupacarakan. Setelah batu dinyatakan layak untuk kuburan raja, sebelum dipahat dibuat upacara adat. Selesai dipahat, batu diupacarakan lagi agar bisa diangkat dan tetap utuh dalam pengangkutan ke lokasi pemakaman.

Sejak batu ditemukan, keluarga mulai membentuk panitia dan bermusyawarah mengenai waktu penguburan, berapa anggaran, serta jumlah undangan. Semua harus ada petunjuk dari arwah raja melalui penjaga jenazah.

Penjaga jenazah yang berjumlah enam orang adalah orang pilihan yang dipilih berdasarkan petunjuk dari leluhur lewat mimpi serta memiliki hubungan keluarga dengan raja. Selama menjaga jenazah, mereka diberi makanan dan minuman bergizi dan lezat layaknya hidangan untuk raja.

Sebulan sebelum pemakaman, penjaga jenazah yang pada tahun 1900-an disebut ata atau hamba terus menjaga jenazah. Empat ata berdiri di samping jenazah, seorang di antaranya memegang seekor ayam jantan merah yang pada bagian gelambir dan jengger diberi hiasan manik-manik. Ayam merupakan simbol transportasi raja menuju langit ketujuh.

Dua orang lagi memegang kuda raja, berdiri persis di depan pintu ruang jenazah dibaringkan. Kuda adalah simbol alat transportasi yang kuat apabila menempuh perjalanan darat. Dua alam baka akan ditempuh sang raja, yakni langit dan bumi.

Orang Sumba yang beragama asli Sumba, yaitu agama Marapu, yakin bahwa arwah orang yang sudah meninggal tidak pergi dari bumi bila penguburan tidak diritualkan.

Kata prailiu atau praikamaru berarti kampung raja. Konon di kampung ini muncul raja-raja terkenal Sumba dengan pengaruh hampir di seluruh daratan Pulau Sumba, bahkan sampai ke pulau sekitar.

H Wangulangu, di rumah duka di Waingapu, mengatakan, Raja Tamu Umbu Djaka berasal dari dinasti Praikaraha. Tamu Umbu Djaka berada pada garis keturunan ke-6 dari Raja Tamu Umbu Kahumba. Nenek moyang orang Sumba diyakini berasal dari India, yang menetap di Kampung Wungu atau kampung pertama, Sumba Timur.

Karena Tamu Umbu Djaka sudah masuk Kristen pada tahun 2007, prosesi pemakaman adat dipadukan dengan tradisi Kristen. Prosesi pemakaman diawali dengan ibadah pemakaman yang dipimpin Pendeta Yuliana Ata Embu. Dalam khotbahnya, Yuliana menyebutkan, meski baru menjadi Kristen tahun 2007, sejak tahun 1970-an almarhum sudah memberikan bantuan pada pembangunan sejumlah gereja di Waingapu.

Karena sudah beragama Kristen, prosesi adat pemakaman lebih sederhana ketimbang Raja Sumba yang masih beragama Marapu. Tradisi Marapu asli menuntut pengorbanan ribuan ternak. Marapu artinya kepercayaan akan segala kekuatan, yang baik dan yang jahat, termasuk di dalamnya benda-benda purbakala.

Seusai ritual Kristen, ritual adat kebesaran raja dimulai. Lima kerbau dan tiga kuda dipotong di depan pintu istana oleh Hunga Tamu sebelum peti jenazah diangkat.

Peti jenazah yang ditutup dengan kain tenun sumba diangkat oleh 10 orang dari marga terdekat menuju tempat pemakaman. Jarak rumah duka dengan kubur batu tempat raja dimakamkan sekitar 40 meter, hanya dipisahkan oleh jalan umum.

Di belakang peti berjalan istri dan anak almarhum, diikuti kuda tunggangan yang dihiasi serta para penjaga jenazah. Jenazah dan para pengiring mengelilingi kuburan sebanyak empat kali. Saat jenazah dimasukkan ke liang lahad, tiga kerbau dan dua kuda dipotong di samping makam sebagai simbol pembersihan dosa.

Saat jenazah masuk ke liang lahad, wilayah Kerajaan Prailiu tiba-tiba mendung dan hujan rintik. Hujan yang sama terjadi pada 25 April 2008 saat Tamu Umbu Djaka meninggal.

Sesuai kepercayaan, hujan melambangkan kebesaran dan kemakmuran yang ditinggalkan sang raja kepada rakyatnya. Anaknya yang akan menggantikan pun direstui sang ayah. (KORNELIS KEWA AMA/Kompas Rabu, 9 September 2009)

Sumber: Kompas
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes