FASILITAS pemerintah mubazir kembali menghiasi halaman surat kabar dalam beberapa hari belakangan ini. Di Kabupaten Ende, misalnya, rumah jabatan yang disiapkan untuk para pejabat eksekutif dan legislatif tidak ditempati. Demikian pula dengan bangunan kantor pemerintah.
Ketika masalah ini diungkap media massa, otoritas setempat berjanji segera memanfaatkan fasilitas yang dibangun dengan uang rakyat tersebut. Mudah- mudahan janji mereka segera teralisir. Kita akan memantau dengan sungguh- sungguh.
Contoh lainnya terjadi di Kabupaten Kupang. Rumah dinas dinas camat, sekretaris camat dan rumah dinas untuk enam pegawai Kecamatan Kupang Tengah di Noelbaki tidak digunakan sejak dibangun. Saat ini delapan unit rumah dinas tersebut sudah rusak. Orang-orang yang berhak menggunakan rumah dinas memiliki alasan yang masuk akal. Mereka enggan menghuni rumah itu karena kebutuhan vital seperti air bersih tidak tersedia.
Menurut catatan kita, masalah seperti itu tidak hanya terjadi di Kabupaten Ende dan Kabupaten Kupang. Fasilitas negara dibiarkan mubazir terjadi hampir di seluruh wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di Kota Kupang yang menjadi barometer tata kelola pemerintahan NTT, tidak sedikit pula fasilitas pemerintah yang mubazir. Mulai dari pasar kelurahan, rumah dinas anggota DPRD hingga rumah jabatan petinggi kota.
Orang boleh jadi sudah menganggap biasa kenyataan seperti ini. Toh yang mubazir itu bangunan milik negara. Jadi, biarkan saja terjadi. Di sini hampir tak terdengar aksi protes dari masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu terhadap pengelola fasilitas negara yang mubazir. Masyarakat kita cenderung membisu. Memandang soal-soal seperti ini bukan perkara penting.
Orang lupa bahwa bangunan itu telah menghabiskan anggaran negara yang tidak sedikit. Orang lupa atau pura-pura lupa bahwa biaya pembangunan fasilitas negara justru bersumber dari pajak rakyat. Rakyat tidak pernah lupa memenuhi kewajibannya membayar retribusi. Membayar pajak setiap tahun ke kas negara.
Kita mudah sekali melupakan salah urus yang demikian akut. Kita tidak awas terhadap model pertanggungjawaban setengah hati yang menganut prinsip, "anjing menggongong, kafilah terus berlalu!" Bangunan pemerintah mubazir akan tetap dipandang sebagai masalah sepele jika orang tetap masa bodoh.
Bukan pertama kali kita ingatkan tentang lemahnya perencanaan hingga pengawasan dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan di daerah ini. Banyak proyek pembangunan fisik tidak melalui perencanaan yang baik dan berjangkauan luas. Dalam kasus rumah dinas di Kabupaten Kupang, misalnya, bisa diperiksa lebih jauh mengapa air bersih tidak masuk dalam daftar kebutuhan yang mesti dipenuhi untuk sebuah rumah dinas yang layak huni. Patut dipertanyakan model pengawasan pada saat pembangunan rumah dinas itu berlangsung.
Pemerintah daerah di seluruh wilayah NTT hendaknya tidak lepas tangan, melempar tanggung jawab bahkan mencari kambing hitam dalam perkara mubazirnya bangunan-bangunan milik negara. Dibutuhkan tindakan segera agar bangunan yang ada bisa dimanfaatkan sesuai tujuan awal atau dialihfungsikan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat.
Dari tahun ke tahun Nusa Tenggara Timur tak pernah letih menjerit kekurangan dana pembangunan. Dari waktu ke waktu, Nusa Tenggara Timur selalu meminta kucuran dana lebih. Ketika dana yang "terbatas" itu dipakai untuk membangun sarana fisik, justru demikian banyak bangunan negara dibiarkan mubazir. Dibiarkan sekadar menjadi tempat bermain kambing, ayam dan burung-burung. Ironis!*
Pos Kupang edisi Selasa, 15 September 2009 halaman 4