Pengantar
Bengkel Asosiasi Pemberdayaan Pengembangan Kampung (Bengkel APPeK) dan Perkumpulan Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL) kerja sama dengan Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang, 1 September 2009 menggelar diskusi bertema; "Ketergantungan Penduduk pada Kebutuhan Pokok dari Luar, Masalah atau Sesuatu yang Normal?", di Kantor Redaksi Pos Kupang.
Pembicara adalah Drs. Frits O Fanggidae, MS (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang), dan Drs. Petrus Langoday (Kepala Badan Ketahanan Pangan Propinsi NTT). Penanggap, Dion DB Putra (Pemred Pos Kupang) dan Adeleina M Erni, MT (Kasubid Produksi Bappeda NTT).Moderator, Ana Djukana (Pemred Harian Kursor). Diskusi dihadiri 30 peserta dari berbagai organisasi profesi dan instansi pemerintah, antara lain, Yayasan Alfa Omega, Yayasan Cemara, Forum Academia NTT, Dinas Koperasi UMKM NTT, BPMPD NTT, Dinas Perindag NTT, Dinas Perindag Kota Kupang, ACCESS NTT, Bappeda NTT, Oxfam, dan Target MDGS.
Diskusi Terbatas Kebutuhan Pokok (1)
IBARAT tikus mati di lumbung padi. Pepatah ini mungkin tepat untuk melukiskan kondisi kita di NTT. Pada satu sisi kita memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, tetapi di sisi lain, saban tahun rakyat di daerah ini selalu mengalami rawan pangan. Bahkan intervensi kebutuhan pangan dari luar NTT semakin mendominasi. Di sini muncul pertanyaan, apakah selama ini kita tidak mampu mengelola potensi yang ada agar memperbesar produksi pertanian karena sumber daya manusia (SDM) di sektor pertanian belum cukup memadai?
Apakah petani kita sudah tidak mau lagi bercocok tanam karena orientasi pemenuhan kebutuhan pangan kita sudah bergeser dari pangan lokal dan cenderung mendatangkan bahan pangan dari luar, seperti beras melalui Badan Usaha Logistik (Bulog) dan pedagang besar lainnya? Ataukah karena ketidakseimbangan dalam kebijakan pertanian, terutama peningkatan produksi dan produktivitas bahan-bahan pangan lokal?
Bengkel APPeK melalui salah seorang stafnya, Thersia Ratu Nubi, mengungkapkan betapa besarnya ketergantungan masyarakat NTT khususnya warga Kota Kupang terhadap bahan kebutuhan dari luar NTT untuk konsumsi sehari-hari.
Dari hasil survai Bengkel APPeK pada delapan kelurahan di Kota Kupang sebagai sampel, yakni Kelurahan Oespa, Airnona, Bakunase, Naikoten, Oebufu, Kuanino, Kelurahan Manutapen dan di kawasan Walikota, menggambarkan bahwa pola konsumsi warga Kota Kupang masih bergantung pada bahan-bahan pokok dari luar daerah (NTT). Survai dengan mewawancarai 12 ibu rumah tangga pada tiap kelurahan lebih difokuskan pada pendapatan dan pengeluaran setiap bulan untuk membeli kebutuhan pokok atau untuk konsumsi.
Thersia menjelaskan, hasil analisis data survai menunjukkan, pendapatan warga (responden) Rp 500.000,00/bulan hingga Rp 2.000.000,00/bulan dengan pendapatan rata-rata Rp 1.112.500,00. Sedangkan pengeluaran berkisar antara Rp 455.500,00 hingga Rp 1.200.000,00/bulan. "Pengeluaran rata-rata responden Rp 712.633,00/bulan. Pengeluaran ini hanya untuk kebutuhan konsumtif, bahkan ada yang mencapai 97 persen dari responen. Pengeluaran terbesar mencapai 31 persen untuk membeli beras " ungkapnya.
Biaya yang dikeluarkan warga untuk membeli kebutuhan seperti sayur- mayur 27 persen, kopi, gula dan susu 11 persen. Sementara pengeluaran membeli minyak bertahan di posisi 9 persen, dan 7 persen lainnya untuk membeli sabun mandi. Sumber perolehan bahan kebutuhan tersebut berasal dari pegadang lokal 37, 4 persen dan dari luar pedagang asal luar NTT sebesar 62,5 persen.
Kebutuhan lainnya seperti sabun dan odol 92,5 persen berasal dari pedagang lokal dan 7, 5 persen dari luar. Minyak goreng 90,3 persen dari pedagang lokal dan 9,7 persen dari pedagang luar. Sayur- mayur 82,5 persen dari luar 7,5 persen minyak tanah dari pedagang lokal. Begitu pula kopi, gula dan teh 44 persen dan 56 persen dari luar NTT.
Data yang ditampilkan Bengkel APPek ini memberikan informasi kepada kita bahwa pola konsumsi masyarakat Kota Kupang umumnya masih bergantung bahan pangan dari luar daerah. Meski begitu, sebagian besar ibu rumah tangga membeli kebutuhan dari pedagang lokal. Namun jika lihat lebih jauh, ada beberapa pasokan pangan berasal dari luar NTT seperti beras 62,5 persen. Sementara 37,5 persen berasal dari pedagang lokal, tapi beras yang dijualnya itu berasal dari luar NTT. Beras yang ada di pedagang lokal itu juga merupakan beras dari luar daerah atau beras impor.
Begitu pula bahan kebutuhan pokok lainnya. "Dari hasil survai ini kami mencoba mengambil kesimpulan, kebutuhan konsumsi masyarakat di Kota Kupang lebih banyak berasal dari luar, walaupun kecenderungan belanja kepada pegadang lokal. Ini karena warga membeli di sekitar tempat tinggal mereka," katanya.
Pendapatan per kapita masyarakat NTT sebesar 4,77 juta, sementara pengeluaran rata- rata per kapita tahun 2008 sebesar Rp 187.173,00, maka sebagian besar penduduk Kota Kupang memanfaatkan pengeluaran itu untuk kebutuhan konsumsi sebesar Rp 129.003,00 (68,94 persen). Sedangkan untuk non konsumsi Rp 58.140,00 (31,06 persen). Dengan data ini dapat pula disimpulkan, 70 persen pendapatan masyarakat NTT yang berjumlah 4,53 juta jiwa dikeluarkan untuk konsumsi yang mencapai Rp 2,85 juta dari pendapatan regional per kapita sebesar Rp 4,77 juta.
Kita bisa berkesimpulan bahwa peredaran uang banyak keluar daerah, terutama daerah- daerah penyedia bahan makanan pokok. Sedangkan pedagang lokal mendapat keuntungan tidak seimbang atau tidak sebanding dengan pedagang dari luar NTT.
Padahal, jika kita mencermati lebih jauh, NTT sebagai daerah agraris dengan luas daratan mencapai 1.657.858 ha adalah lahan usaha pertanian yang terdiri dari lahan basah 127.323 ha atau 7,68 persen, sementara lahan kering mencapai 1.530.353 ha atau 92,32 persen. Hal ini ditopang dengan sumber daya manusia NTT yang memadai. Namun, kondisi ini tidak menjadikan masyarakat NTT terjamin ketersediaan pangan.
Lemahnya kebijakan pembangunan di sektor pertanian oleh pemerintah daerah merupakan salah satu penyebab, selain faktor iklim dan pemanfaatan teknologi pertanian, modal usaha dan mental masyarakat NTT.
Tetapi, kenyataannya selama lima tahun terakhir, hasil pertanian hanya 2,6 ton per hektar untuk satu kali tanam/tahun. Kalau tanam satu kali setahun mencapai empat ton per hektar standar produksi rendah, maka NTT bisa surplus beras, walau kita beralih dari jagung ke beras. Lahan kering di NTT lebih luas lagi jumlahnya. Misalnya, lokasi persawahan Tarus lahan potensial yang sudah difungsikan baru 45 persen.
Pola konsumsi yang masih bergantung dari luar daerah dan bervariasi ini membuat ketergantungan produk pangan dari luar masih tinggi. Pemerintah daerah pun belum melihat ini sebagai masalah serius untuk ditanggulangi.
Direktris Yayasan Alfa Omega (YAO) Kupang, Dra. Sofia Malelak-de Haan, mengakui, untuk membangun ketahanan pangan di masyarakat perlu adanya penguatan kelembagaan di masyarakat. "Salah satu faktor yang menjadi masalah adalah produksi dan produktivitas. Kebanyakan lahan di NTT sudah beralih fungsi dari lahan tanaman pangan ke tanaman perkebunan sehingga pengaruh pada produk pangan," kata Sofia.
Dia mengungkapkan, banyak lahan pertanian sudah dialihfungsikan menjadi daerah industri dan permukiman. Bahkan yang lebih nampak adalah pola petani membudiyakan tanaman pangan sudah banyak beralih ke tanaman perkebunan.
Fenomena di NTT selama ini yang terjadi adalah konsep membangun pertanian yang belum memerhatikan sejumlah syarat mutlak, antara lain, perlu adanya pasar untuk hasil-hasil usaha pertanian, teknologi yang senantiasa berkembang, tersedianya bahan -bahan dan alat produksi lokal. Selain itu, ada perangsang produksi bagi petani dan ketersediaan sarana transportasi yang lancar dan kontinyu.
Yang lebih riskan lagi, kata Sofia, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pemerintah Propinsi NTT tahun 2009-2013, urusan pemenuhan bahan pangan tidak tampak sebagai urusan pokok yang harus diatasi. Gejala ini berulang dari penyakit ketergantungan, tetapi tidak ditanggapi serius sebagai situasi darurat yang membutuhkan penanggulangan.
Rudy Tonubesi, salah satu peserta diskusi mengatakan, penguatan kebutuhan pangan dalam rumah tangga harus ditempuh dengan upaya memperkecil biaya yang dikeluarkan guna memperoleh kebutuhan pokok rumah tangga. "Terkadang ada pejabat manfaatkan bantuan pemerintah untuk kepentingan pribadi dan pejabat tidak peduli dengan kebutuhan pokok masyarakat kecil," kata Tonubesi.
Peserta diskusi lainnya, Don Delansanto dari Antara/AusAid mengatakan, sampai saat ini belum ada terobosan untuk memaknai aset-aset lokal. "Kita belum bisa maknai aset lokal yang ada untuk diberdayakan, terutama pangan lokal melalui kelompok- kelompok petani. Dan, pendekatan ini saya kira bisa membantu mengurangi ketergantungan terhadap produk pangan luar daerah," ujarnya.
Sedangkan Torry dari Yayasan PIKUL mengatakan, perlu adanya upaya memberdayakan produk lokal yang dikelola masyarakat dengan melihat peluang pasar. Sebab pasar merupakan faktor yang dapat mempengaruhi ketergantungan terhadap pangan atau produk luar daerah. (Obby Lewanmeru, Hyeron Modo dan Frans Krowin/bersambung)
Pos Kupang, 23 September 2009 halaman 1