KEHENINGAN malam di kawasan kilometer lima jalan lingkar Kota Kefamenanu terusik. Di malam menjelang larut itu warga dikejutkan oleh penemuan seonggok mayat di tengah jalan berdebu, Kamis (19/5/2011) sekitar pukul 22.00 Wita. Mayat seorang pria muda dengan leher digorok nyaris putus. Darah berceceran. Duh!
Polisi datang tak lama setelah menerima laporan masyarakat. Misteri mayat pun terkuak. Namanya Simon Subun, usia 20 tahun, warga Tublopo, Kecamatan Bikomi Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Simon yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek diduga jasi korban pembunuhan dalam suatu aksi pencurian. Indikasi tersebut muncul setelah sepeda motor jenis Shogun biru nomor polisi DH 4846 CD yang dikendarai Simon, raib entah ke mana.
Horor penemuan mayat belum berakhir di situ. Sembilan jam kemudian warga temukan lagi mayat seorang pria berusia 33 tahun di ruas jalan Ponu-Atambua Atas, Jumat (20/5/2011) sekitar pukul 07.00 Wita. Namanya Markus Beli (33) asal Kampung Oekoro, Kelurahan Ponu, Kecamatan Biboki Anleu, TTU. Jenazah Markus ditemukan dalam kondisi telentang di jalan dengan luka tusuk pada leher dan kaki kiri, tempurung kepala bagian belakang terbuka serta luka gores di sekujur tubuh seperti bekas seretan. Markus mungkin dihabisi sang pembunuh baru mayatnya diletakkan di pinggir jalan. Sadis!
Begitulah warta pembunuhan yang disiarkan sejumlah media massa Nusa Tenggara Timur akhir pekan lalu. Mungkin sebagian orang menganggap biasa saja peristiwa semacam itu. Toh manusia bakubunuh sudah ada sejak zaman Kain dan Abel. Lagipula kematian bisa terjadi kapan saja dan akan menimpa semua orang yang bernyawa. Yang berbeda hanya soal cara mati, waktu dan tempat kematian.
Namun, bagi tuan dan puan yang jeli mengikuti perkembangan, tindak pidana pembunuhan di wilayah hukum Timor Tengah Utara telah menebarkan teror yang menakutkan karena negara seolah absen dalam setiap peristiwa sadis yang menimpa warganya. Data Pos Kupang menunjukkan indikasi tersebut. Dalam tempo sepuluh tahun terakhir, tercatat sedikitnya 20 kasus pembunuhan di wilayah hukum TTU yang belum sampai ke pengadilan.
Data berikut memberi secuil gambaran. Di kepolisian sektor (Polsek) Ponu ada tujuh kasus pembunuhan sejak tahun 2003 yang berkasnya belum sampai ke pengadilan. Ditambah kasus terbaru yang menimpa Markus Beli, maka ada delapan kasus pembunuhan di Polsek ini yang belum terungkap. Di Polsek Nunpene terdapat lima kasus pembunuhan, termasuk kasus kematian Paulus Usnaat di kamar tahanan Polsek Nunpene yang sempat menggegerkan beranda Flobamora lantaran salah seorang tersangka merupakan figur terkenal. Di Polsek Kota Kefamenanu ada empat kasus dan Polsek Noemuti satu kasus pembunuhan.
Dengan demikian jelaslah betapa para pembunuh berkeliaran bebas di luar sana. Boleh jadi si pembunuh itu tetangga rumahmu, rekan kerjamu atau bahkan pimpinanmu di suatu instansi swasta maupun pemerintah. Dia bisa saja seorang yang ramah, rajin berdoa dan dermawan. Boleh jadi dia adalah tokoh masyarakat, orang yang terpandang secara sosial. Tapi mereka luput dari jeratan hukum. Mereka pun merasa tidak bersalah meski telah menghilangkan nyawa sesamanya dengan keji. Pembunuh yang luput dari hukum, baik perorangan maupun kelompok dapat saja mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Membunuh dianggap sebagai cara menyelesaikan masalah yang paling mudah.
Kasus pembunuhan misterius tidak hanya terjadi di wilayah Timor Tengah Utara. Kasus serupa juga banyak terjadi di berbagai wilayah Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Alor, Rote, Sabu dan Lembata). Sumba merupakan salah satu wilayah dengan tingkat kriminalitas tinggi di NTT. Tidak sedikit kasus bakupotong kepala manusia di sana yang menguap begitu saja.
Tuan dan puan kiranya belum lupa sejumlah kasus dengan ekspetasi besar dari publik. Misalnya kasus kematian Romo Faustinus Sega, Pr di Ngada dan Nurdin Devyanto di Maumere, Kabupaten Sikka. Kasus Romo Faustin memang sampai ke meja pengadilan, namun vonis hakim di level pengadilan tinggi membebaskan para terdakwa. Artinya, jika Romo Faustin dibunuh maka pembunuhnya masih misteri sampai detik ini. Sang pembunuh tertawa ngakak mengolok ketidakmampuan penegak hukum menjeratnya.
Kisah kematian Nurdin Devyanto pun setali tiga uang. Kepolisian Daerah (Polda) NTT menunjukkan keseriusan dengan membentuk dua tim penyidik untuk mengusut kasus ini. Tim pertama berkesimpulan Nurdin mati akibat kecelakaan lalulintas. Tim kedua meyakini Nurdin dibunuh. Sejumlah tersangka ditangkap dan ditahan di Kupang. Sampai masa penahanan tersangka berakhir, berkas mereka sekadar bolak-balik dari polisi ke jaksa. Entah sampai kapan kasus tersebut baru sampai ke pengadilan. Mungkin sudah masuk kotak.
Kasus paling heboh dari Timor Tengah Utara adalah misteri kematian Paulus Usnaat di kamar tahanan Polsek Nunpene tahun 2008. Polisi memang sempat menangkap dan menahan tersangka. Tapi nasibnya sama dengan kasus Nurdin. Sampai masa penahanan tersangka berakhir, berkas Usnaat mengandung banyak kekurangan alias tidak lengkap.
Kematian Paulus Usnaat pun menebaran horor yang lebih mengerikan. Bayangkan, sel polisi begitu mudah diterobos pembunuh dan polisi gagal membekuknya untuk diproses hukum. Kalau di "rumah polisi" saja tidak aman, bagaimana dengan dunia di luar sana? Masuk akal kalau kasus pembunuhan misterius akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Rupanya kemampuan aparat penegak hukum kita baru sebatas itu, kendati ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang sangat maju. Secanggih apapun teknologi tetaplah manusia yang paling menentukan. Person behind the gun. Kalau etos kerja manusianya loyo, teknologi tak bisa menolong. Kalau manusia tidak punya nurani, hancur leburlah segalanya.
Begitu banyaknya kasus pembunuhan di beranda Flobamora yang tidak terungkap memberi pesan tegas kepada semua. Bahwa tuan dan puan sesungguhnya hidup di zaman barbar. Siapa yang kuat dialah yang menang. Yang berlaku adalah hukum rimba meskipun institusi hukum formal sebagai perangkat negara demokrasi memang ada. Penegak hukum ada di mana-mana dengan seragam rapi, pangkat, fasilitas dan kantor megah.
Kemunduran sebagai bangsa itu sungguh nyata, kawan! Kegagalan negara melindungi warganya bukan isapan jempol semata bukan? Horor bisa menimbulkan kesurupan. Celaka tiga belas hidup di negara kesurupan. Histeris melulu. Ribut terus. Kisruh. (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang, Senin 23 Mei 2011 halaman 1