Bangun Sarana Transportasi Setengah Hati

ilustrasi saja
KALAU Anda iseng mau merasakan kondisi jalan berlubang, tidak perlu jauh-jauh bepergian dari pusat Kota Kupang sebagai barometer pembangunan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pergilah sebentar ke pinggiran ibukota Propinsi NTT tersebut.

Tidak butuh waktu lama untuk menemukan kondisi jalan dengan rupa buruk. Kalau ingin melanjutkan penelusuran, jalan-jalanlah ke pelosok wilayah Amarasi, Kupang Tengah atau Kupang Barat. Sebaiknya siap fisik dan mental untuk menikmati jalan berlubang yang membuat kendaraan Anda bergoyang-goyang.

Petualangan akan lebih asyik jika kita ke bumi Lembata yang hari ini, 27 Juli 2011 menggelar pesta pemilu kada putaran final untuk memilih bupati dan wakil bupati periode 2011-2016. Masih di dalam Kota Lewoleba saja pemandangan jalan buruk segera menyambut kedatangan kita.

Masuk lebih jauh ke pedalaman Lembata, suasana makin memilukan dan menyayat hari. Jarak 60 kilometer bisa menghabiskan waktu lebih dari tiga sampai empat jam dengan syarat kondisi kendaraan bagus. Jika mesin kendaraan sudah mulai batuk-batuk maka waktu tempuh akan lebih lama lagi. Sepuluh tahun usia otonomi Lembata yang disebut kemajuan itu sulit ditemukan buktinya.

Begitulah sekilas gambaran tentang bagaimana Nusa Tenggara Timur memposisikan pembangunan sarana transportasi untuk meretas isolasi sekaligus menggairahkan perekonomian masyarakat. Pembangunan sarana transportasi tidak bermutu terjadi di hampir seluruh wilayah propinsi ini. Bukan cuma di Kabupaten Kupang atau Lembata. Hampir saban hari masyarakat merintih dan mengeluh tentang jalan buruk. Hampir setiap waktu selalu terdengar ratapan tentang ongkos transportasi yang mahal atau kesulitan petani memasarkan hasil komoditi mereka karena kendala transportasi.

Keluhan masyarakat itu seolah angin lalu. Sangat jarang terlihat aksi konkret pemerintah dan mitranya di lembaga DPRD memberikan respons yang memadai. Pengawasan wakil rakyat terhadap pembagunan sarana jalan sangat lemah. DPRD lazimnya hanya bereaksi sesaat jika ada pengaduan atau laporan dari masyarakat. Tindak lanjutnya kerapkali mengambang. Dugaan penyimpangan atau penyelewenangan dalam pembangunan sarana transportasi menguap begitu saja.
Penegakan hukum masih jauh dari harapan. Wakil rakyat di Nusa Tenggara Timur belum sungguh-sungguh memainkan peranannya sebagai mata dan telinga masyarakat. Janji pasangan bupati-wakil bupati pada saat pemilu kada untuk memprioritaskan pembangunan sarana transportasi sekadar pernak-pernik kampanye untuk meraih dukungan suara. Setelah meraih kekuasaan mereka lebih sering bepergian ke mana-mana bahkan sampai ke manca negara ketimbang masuk keluar kampung memberi solusi bagi masyarakat.

Itu cerita tentang sarana transportasi darat. Pembangunan sarana transportasi laut pun setali tiga uang. Sebagai Propinsi Kepulauan, Nusa Tenggara Timur idealnya telah memiliki sistem transportasi laut yang sungguh memberi manfaat ekonomis bagi masyarakat. Kenyataannya tidak demikian. Sistem transportasi laut di wilayah ini masih dibangun secara parsial dan tambal-sulam.
Sebagai contoh, mari kita cermati wilayah utara Pulau Flores dan selatan Pulau Timor. Selama puluhan tahun, wilayah yang kaya dengan hasil pertanian, perkebunan dan kelautan tersebut terabaikan. Sama sekali tak tersentuh sistem transportasi laut yang baik. Di utara Flores, misalnya, Pelabuhan Marapokot di Mbay, Kabupaten Nagekeo, Pelabuhan Reo di Kabupaten Manggarai dan Pelabuhan Lorens Say di Sikka seolah terpisah satu sama lain.
Ketiga pelabuhan itu tidak dilayani kapal secara rutin yang mampu mendorong tumbuhnya perekonomian antardaerah. Sudah berulangkali dianjurkan agar pemerintah membuka matanya ke utara, memberi perhatian secara maksimal ke sana namun anjuran itu seperti suara orang di padang. Tidak didengar dan direspons dengan kebijakan konkret yaitu menyiapkan sarana angkutan kapal yang murah dan nyaman bagi masyarakat.

Wilayah selatan Pulau Timor kondisinya lebih parah lagi. Sejauh ini hampir tidak ada pelabuhan yang layak di pesisir selatan. Dengan transportasi darat yang buruk bahkan sebagian besar wilayah selatan Timor masih terisolir, kekayaan alam di kawasan tersebut sekadar menjadi data potensi yang tidak memberi dampak langsung kepada masyarakat.


Di tengah gencarnya Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur memperjuangkan pengakuan formal negara ini terhadap NTT sebagai propinsi kepulauan, perjuangan itu mestinya didukung dengan keseriusan menyiapkan master plan pembangunan sarana transportasi yang baik. Pengakuan sebagai propinsi kepulauan yang tentu akn diikuti dengan dukungan dana lumayan besar dari pemerintah pusat tidak akan bermanfaat apa-apa bagi masyarakat Flobamora manakala sistem transportasi dibangun dengan semangat tambal sulam seperti sekarang. *

Pos Kupang, 27 Juli 2011 hal 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes