![]() |
Hermien Y. Kleden |
Oleh: Yophiandi Kurniawan
Mantan Wartawan Tempo
POS-KUPANG.COM - “Are you leaving?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunan. Malam itu, kak Hermien memanggil saya. Khusus.
Di hadapannya, saya sempat melamun. Masih bertanya dalam hati. Apakah benar langkah saya meninggalkan TEMPO.
Sebelumnya, Nugroho Dewanto sudah mencolek saya di tengah rapat perencanaan Majalah TEMPO siang hari.
Pada 2011 kantor Majalah TEMPO pindah ke kawasan Velbak, Kebayoran Baru. Punggung-punggungan dengan kantor Koran TEMPO.
Pertanyaan mas Dede—panggilan Nugroho Dewanto—mirip-mirip dengan Kak Hermien. “Lu jadi cabut?”
Saya tersanjung. Merasa diperhatikan oleh dua orang yang kualifikasinya mumpuni sebagai pejabat teras Majalah TEMPO. Apalagi kala itu, saya sempat tertinggal naik pangkat dan jabatan.
Kalah cepat lulus M1 (baca M satu). Sebuah jenjang transisi menuju staf redaksi dari status reporter.
Padahal saya pernah bangga. Naik status M1 dari Reporter urutan ketiga diantara enam orang di angkatan waktu itu.
Ditegur, dengan kalimat itu, saya terbangun dari lamunan saya. Saya tak memberi jawaban tegas. Apakah menerima tawaran yang sangat menggiurkan secara gaji.
Tapi saya paham segala kemewahan sebagai wartawan bakal hilang. Salah satunya eksklusifitas dan memahami sebuah masalah.
Di TEMPO saya mulai menyadari begitu ruwetnya negeri ini. Bukan karena masalahnya. Tapi karena orang-orang di seputar masalah itu.
Sejak ada di Koran TEMPO menangani rubrik Olahraga, saya menyaksikan bagaimana kak Hermien mendidik banyak wartawan muda yang hijau-hijau.
Pertanyaan-pertanyaannya membuat kita tahu bahwa kita tahu lebih banyak dari yang kita sudah tulis.
Bisa juga, ternyata kita tak tahu sebanyak yang kita kira. Pertanyaan si kakak senantiasa tajam dan dingin.
Untuk rubrik Olahraga pun yang menurut banyak orang rubrik santai, HYK —panggilan Hermien Y Kleden — membuatnya jadi santai sekaligus serius.
Hasilnya, judul dan anglenya memang jadi terasa berbeda. Bang Yon Moeis, jagoan rubrik Olahraga terutama Sepakbola punya banyak cerita soal ini.
Perkenalan saya pertama kali adalah saat kak Hermien sedang memegang halaman depan Koran TEMPO.
Saat itu saya mempunyai dokumen rencana pembelian alutsista di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Tak segan kak HYK bertanya soal ini itu tentang spesifikasi pesawat tempur yang rencananya mau dibeli tapi tak terlihat awalnya di APBN.
Mengapa dan apa manfaat atau malah tak bermantaatnya buat negara dan masyarakat Indonesia.
Pertanyaan-pertanyaan itu untuk memastikan bahwa cerita itu memang berita layak TEMPO.
***
“Dek, kok gak pulang?” Dinihari itu—saya lupa harinya—, saya pikir saya sendirian di lantai dua kantor Majalah TEMPO di jalan Proklamasi nomor 72.
Dia bilang cemas karena saya baru pemulihan. Tangan pun masih digendong.
Waktu itu saya baru beberapa pekan aktif lagi di kantor, setelah istirahat lebih dari lima bulan.
Tulang selangka saya patah. Terbentur separator bus Transjakarta. Di depan kantor Kementerian Luar Negeri. Waktu mengejar Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang sedang menemui Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda.
Saya memang sengaja begadang karena tengah menunggu narasumber di San Fransisco, Amerika Serikat.
Rebiya Kadeer, pemimpin suku Uyghur yang terasing dari tanahnya di Xinjiang, Tiongkok.
Saya tak akan pernah tahu, kalau Arif Zulkifli, waktu itu redaktur eksekutif Majalah TEMPO menyatakan Kak Hermien memperjuangkan saya lulus segera M1. Menjadi staf redaksi.
Itu setelah kali kedua saya begadang. Yakni menunggu Michael Bloomberg, Wali Kota New York waktu itu. Michael adalah pemilik media ekonomi Bloomberg yang tersohor itu.
HYK memang sangat perhatian kepada para reporter. Tak cuma soal sudah makan atau belum. Terlebih berbagi ilmu dan tips menjadi wartawan yang keren.
Mempelajari karakter orang yang hendak diwawancara adalah salah satu tipsnya.
Seorang Handry Satriago — almarhum adalah orang Indonesia yang jadi bos General Electrics — contohnya.
Kak Hermien bertanya kepada saya sampai soal mood dan kesukaan Handry yang saya tahu. Sebagai persiapan untuk mewawancarainya untuk Majalah TEMPO.
Kebetulan saya pernah menulis tentang sang CEO di rubrik Sehari Bersama di Koran TEMPO Minggu. Hasilnya, dari pengakuan Handry, dia suka dengan garapan di Majalah.
Sementara di Koran, Handry menilai ada beberapa kekurangan. Bukan data, tapi bagaimana cara dirinya diprofilkan.
Ecep S Yasa, pemimpin redaksi portal berita TVOne pernah bercerita. Ditanya setiap hari apakah sudah makan, minum vitamin, dan istirahat cukup.
Setiap hari Ecep dipantau karena sedang intensif melakukan investigasi di pedalaman sebuah provinsi. Tentang kejahatan di daerah itu. Ini spesialisasi TEMPO.
Panduan dari HYK membuat tulisan Ecep di rubrik Investigasi jadi pujian seisi newsroom.
Setelah tulisan itu, polisi baru bergerak, berlaku menumpas kejahatan.
***
Kak HYK, dan Kak Hermien adalah panggilan kami para bocil di TEMPO.
Bocil, karena memang jam terbang kami perbedaannya jauh sekali terbentang.
Kakak sudah ke sana kemari di masa Orde Baru, kami masih mahasiswa. Kak HYK berada dalam naungan Pak Fikri Jufri di Majalah Matra.
Untuk Pak FJ ini pun saya angkat topi. Salut dengan pendekatannya kepada anak buah.
“Your Excellency, please introduce our best reporter in TEMPO,” begitu kata Pak FJ menyanjung anak buahnya di hadapan para kenalannya. Biasanya kenalannya adalah orang-orang asing.
HYK juga begitu. Sama persis dengan FJ. Menyanjung reporter di depan narasumber.
Bahkan untuk beberapa anak, dia bahkan tertarik mencari tahu siapa ayah ibu dan saudara-saudaranya.
Termasuk saat Mawar Kusuma —sekarang wartawan Harian Kompas — menukil sebuah ayat Perjanjian Baru di tulisannya.
Tambahan dari HYK adalah, sudah berapa ratus tahun usia ayat itu ketika diturunkan.
Selain pujian, HYK juga bisa tak segan memanggil reporter kembali ke kantor untuk menulis ulang laporannya atau bertanya lagi kepadanya tentang apa yang diliputnya.
Bahkan tak jarang saat si reporter sedang berkencan nonton di bioskop Megaria—sekarang Metropole.
Bioskop di ujung jalan Proklamasi itu memang sering jadi tempat melepas penat atau mencari lead tulisan.
Bahkan berkencan sebentar. Lalu balik lagi ke kantor untuk menuntaskan tulisan memenuhi tenggat atau deadline.
Tulisan saya tentang kedatangan Barack Obama ke Indonesia jadi ciamik karena polesannya.
Waktu itu sebagai wartawan di rubrik Luar Negeri, kedatangan Obama ke Jakarta jadi sampul cerita utama Majalah TEMPO.
Tugas saya mendapat insight dan background. Informasi saya dapat dari beberapa orang di Departemen Luar Negeri.
Salah satunya dari Retno Marsudi, waktu itu Dirjen Amerika dan Eropa. Kemudian jadi Menteri Luar Negeri.
***
Kami berempat diminta tak bercerita tentang yang dialaminya. Februari 2025. Waktu itu di antara kami, saya sudah diberitahu di akhir 2023 tentang penderitaannya.
Tapi “vonis” baru datang pada 2025. Sembari seluruh persiapan operasi pada Mei 2025 yang diutarakannya.
Kami berempat yakin. Ada mukjizat kesembuhan pascaoperasi. Optimisme yang dibangun kami berlima—termasuk kak Hermien. Ada banyak misi yang tengah kami rampungkan. Misi yang mulia.
Dalam dua tahun terakhir, kami berlima intensif bertemu. Dan jadi lebih dekat. Kami, selain Ijar Karim, —fotografer andalan TEMPO—, sudah purna tugas dari TEMPO.
Kak Hermien sering meminta saya mengebrief tentang situasi terkini. Ekonomi politik. Nasional.
Kadang kalau saya dapat insight yang internasional, juga saya ungkapkan. No secret.
Saya merasa informasi yang saya terima lebih berguna untuk kak Hermien. Ada kepuasan.
Bertahun-tahun dengan bimbingan di TEMPO—termasuk utamanya dari kak HYK—saya bisa menyumbang karya-karya eksklusif bagi media elektronik tempat saya bekerja kemudian.
Berbagai wawancara eksklusif, juga visual-visual yang betul-betul cuma media elektronik itu yang punya. Dan seperti pesan kak Hermien. Tak usah kamu labeli eksklusif, biar penonton yang tahu bahwa itu memang tak ada di tempat lain.
“Itulah eksklusif sebenarnya.” Ini nasihat yang saya ingat bersama nasihat lain. “Pastikan di tempat lain, karakter kamu tidak hilang.”
Saya telah menjalankan pesan-pesan itu dengan baik.
Selasa malam, sehari menjelang 1 Oktober, Hari Kesaktian Pancasila 2025, anggota keluarga, sahabat, kerabat, dan handai taulan saling sapa di Rumah Duka Santo Carolus. Banyak senyum juga tawa.
Tak sedikit yang menangis. Termasuk mas Wahyu Muryadi, mantan pemimpin redaksi Majalah TEMPO.
Agus Martowardoyo, mantan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan era SBY juga menitikkan air mata saat memberikan testimoni.
Ada juga para petinggi, romo-romo di Konferensi Waligereja Indonesia dan Keuskupan Agung Jakarta serta kalangan Katolik umumnya.
Aktivis Pemuda Katolik, PMKRI, dan banyak lagi. Hermien memang tak cuma aktif jadi wartawan. Juga dalam kerasulan awam di semesta Katolik.
Mereka melepas Hermina Yosephine Kleden, ke tempat istirahatnya di pemakaman di Jagakarsa.
Paripurna tugas Hermien di dunia. Jadi kakak, guru, teman, dan bisa juga orang tua bagi yang mengenalnya.
Istirahatlah dalam keabadian kekal di Rumah Bapa, kak Hermien. Tuhan memberkati selalu. (*)
Sumber: Pos Kupang