Hermien Kleden, Sang Guru dan Kakak Kami

Hermien Y. Kleden

Oleh: Yophiandi Kurniawan

Mantan Wartawan Tempo

POS-KUPANG.COM -  “Are you leaving?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunan. Malam itu,  kak Hermien memanggil saya. Khusus. 

Di hadapannya, saya sempat melamun. Masih bertanya dalam hati. Apakah benar langkah saya meninggalkan TEMPO. 

Sebelumnya, Nugroho Dewanto sudah mencolek saya di tengah rapat perencanaan Majalah TEMPO siang hari. 

Pada 2011 kantor Majalah TEMPO pindah ke kawasan Velbak, Kebayoran Baru. Punggung-punggungan dengan kantor Koran TEMPO. 

Pertanyaan mas Dede—panggilan Nugroho Dewanto—mirip-mirip dengan Kak Hermien. “Lu jadi cabut?”

Saya tersanjung. Merasa diperhatikan oleh dua orang yang kualifikasinya mumpuni sebagai pejabat teras Majalah TEMPO. Apalagi kala itu, saya sempat tertinggal naik pangkat dan jabatan. 

Kalah cepat lulus M1 (baca M satu). Sebuah jenjang transisi menuju staf redaksi dari status reporter. 

Padahal saya pernah bangga. Naik status M1 dari Reporter urutan ketiga diantara enam orang di angkatan waktu itu.

Ditegur, dengan kalimat itu, saya terbangun dari lamunan saya. Saya tak memberi jawaban tegas. Apakah menerima tawaran yang sangat menggiurkan secara gaji. 

Tapi saya paham segala kemewahan sebagai wartawan bakal hilang. Salah satunya eksklusifitas dan memahami sebuah masalah. 

Di TEMPO saya mulai menyadari begitu ruwetnya negeri ini. Bukan karena masalahnya. Tapi karena orang-orang di seputar masalah itu. 

Sejak ada di Koran TEMPO menangani rubrik Olahraga, saya menyaksikan bagaimana kak Hermien mendidik banyak wartawan muda yang hijau-hijau. 

Pertanyaan-pertanyaannya membuat kita tahu bahwa kita tahu lebih banyak dari yang kita sudah tulis. 

Bisa juga, ternyata kita tak tahu sebanyak yang kita kira. Pertanyaan si kakak senantiasa tajam dan dingin. 

Untuk rubrik Olahraga pun yang menurut banyak orang rubrik santai, HYK —panggilan Hermien Y Kleden — membuatnya jadi santai sekaligus serius. 

Hasilnya, judul dan anglenya memang jadi terasa berbeda. Bang Yon Moeis, jagoan rubrik Olahraga terutama Sepakbola punya banyak cerita soal ini.  

Perkenalan saya pertama kali adalah saat kak Hermien sedang memegang halaman depan Koran TEMPO. 

Saat itu saya mempunyai dokumen rencana pembelian alutsista di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. 

Tak segan kak HYK bertanya soal ini itu tentang spesifikasi pesawat tempur yang rencananya mau dibeli tapi tak terlihat awalnya di APBN. 

Mengapa dan apa manfaat atau malah tak bermantaatnya buat negara dan masyarakat Indonesia. 

Pertanyaan-pertanyaan itu untuk memastikan bahwa cerita itu memang berita layak TEMPO.

***

“Dek, kok gak pulang?” Dinihari itu—saya lupa harinya—, saya pikir saya sendirian di lantai dua kantor Majalah TEMPO di jalan Proklamasi nomor 72. 

Dia bilang cemas karena saya baru pemulihan. Tangan pun masih digendong. 

Waktu itu saya baru beberapa pekan aktif lagi di kantor, setelah istirahat lebih dari lima bulan. 

Tulang selangka saya patah. Terbentur separator bus Transjakarta. Di depan kantor Kementerian Luar Negeri. Waktu mengejar Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang sedang menemui Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda. 

Saya memang sengaja begadang karena tengah menunggu narasumber di San Fransisco, Amerika Serikat. 

Rebiya Kadeer, pemimpin suku Uyghur yang terasing dari tanahnya di Xinjiang, Tiongkok. 

Saya tak akan pernah tahu, kalau Arif Zulkifli, waktu itu redaktur eksekutif Majalah TEMPO menyatakan Kak Hermien memperjuangkan saya lulus segera M1. Menjadi staf redaksi. 

Itu setelah kali kedua saya begadang. Yakni menunggu Michael Bloomberg, Wali Kota New York waktu itu. Michael adalah pemilik media ekonomi Bloomberg yang tersohor itu. 

HYK memang sangat perhatian kepada para reporter. Tak cuma soal sudah makan atau belum. Terlebih berbagi ilmu dan tips menjadi wartawan yang keren. 

Mempelajari karakter orang yang hendak diwawancara adalah salah satu tipsnya. 

Seorang Handry Satriago — almarhum adalah orang Indonesia yang jadi bos General Electrics — contohnya. 

Kak Hermien bertanya kepada saya sampai soal mood dan kesukaan Handry yang saya tahu. Sebagai persiapan untuk mewawancarainya untuk Majalah TEMPO. 

Kebetulan saya pernah menulis tentang sang CEO di rubrik Sehari Bersama di Koran TEMPO Minggu. Hasilnya, dari pengakuan Handry, dia suka dengan garapan di Majalah. 

Sementara di Koran, Handry menilai ada beberapa kekurangan. Bukan data, tapi bagaimana cara dirinya diprofilkan. 

Ecep S Yasa, pemimpin redaksi portal berita TVOne pernah bercerita. Ditanya setiap hari apakah sudah makan, minum vitamin, dan istirahat cukup. 

Setiap hari Ecep dipantau karena sedang intensif melakukan investigasi di pedalaman sebuah provinsi. Tentang kejahatan di daerah itu. Ini spesialisasi TEMPO.  

Panduan dari HYK membuat tulisan Ecep di rubrik Investigasi jadi pujian seisi newsroom. 

Setelah tulisan itu, polisi baru bergerak, berlaku menumpas kejahatan. 

***

Kak HYK, dan Kak Hermien adalah panggilan kami para bocil di TEMPO. 

Bocil, karena memang jam terbang kami perbedaannya jauh sekali terbentang. 

Kakak sudah ke sana kemari di masa Orde Baru, kami masih mahasiswa. Kak HYK berada dalam naungan Pak Fikri Jufri di Majalah Matra. 

Untuk Pak FJ ini pun saya angkat topi. Salut dengan pendekatannya kepada anak buah. 

“Your Excellency, please introduce our best reporter in TEMPO,” begitu kata Pak FJ menyanjung anak buahnya di hadapan para kenalannya. Biasanya kenalannya adalah orang-orang asing. 

HYK juga begitu. Sama persis dengan FJ. Menyanjung reporter di depan narasumber. 

Bahkan untuk beberapa anak, dia bahkan tertarik mencari tahu siapa ayah ibu dan saudara-saudaranya. 

Termasuk saat Mawar Kusuma —sekarang wartawan Harian Kompas — menukil sebuah ayat Perjanjian Baru di tulisannya. 

Tambahan dari HYK adalah, sudah berapa ratus tahun usia ayat itu ketika diturunkan. 

Selain pujian, HYK juga bisa tak segan memanggil reporter kembali ke kantor untuk menulis ulang laporannya atau bertanya lagi kepadanya tentang apa yang diliputnya. 

Bahkan tak jarang saat si reporter sedang berkencan nonton di bioskop Megaria—sekarang Metropole. 

Bioskop di ujung jalan Proklamasi itu memang sering jadi tempat melepas penat atau mencari lead tulisan. 

Bahkan berkencan sebentar. Lalu balik lagi ke kantor untuk menuntaskan tulisan memenuhi tenggat atau deadline.

Tulisan saya tentang kedatangan Barack Obama ke Indonesia jadi ciamik karena polesannya. 

Waktu itu sebagai wartawan di rubrik Luar Negeri, kedatangan Obama ke Jakarta jadi sampul cerita utama Majalah TEMPO. 

Tugas saya mendapat insight dan background. Informasi saya dapat dari beberapa orang di Departemen Luar Negeri. 

Salah satunya dari Retno Marsudi, waktu itu Dirjen Amerika dan Eropa. Kemudian jadi Menteri Luar Negeri. 

***

Kami berempat diminta tak bercerita tentang yang dialaminya. Februari 2025. Waktu itu di antara kami, saya sudah diberitahu di akhir 2023 tentang penderitaannya. 

Tapi “vonis” baru datang pada 2025. Sembari seluruh persiapan operasi pada Mei 2025 yang diutarakannya. 

Kami berempat yakin. Ada mukjizat kesembuhan pascaoperasi. Optimisme yang dibangun kami berlima—termasuk kak Hermien. Ada banyak misi yang tengah kami rampungkan. Misi yang mulia. 

Dalam dua tahun terakhir,  kami berlima intensif bertemu. Dan jadi lebih dekat. Kami, selain Ijar Karim, —fotografer andalan TEMPO—, sudah purna tugas dari TEMPO.  

Kak Hermien sering meminta saya mengebrief tentang situasi terkini. Ekonomi politik. Nasional. 

Kadang kalau saya dapat insight yang internasional, juga saya ungkapkan. No secret.

Saya merasa informasi yang saya terima lebih berguna untuk kak Hermien. Ada kepuasan. 

Bertahun-tahun dengan bimbingan di TEMPO—termasuk utamanya dari kak HYK—saya bisa menyumbang karya-karya eksklusif bagi media elektronik tempat saya bekerja kemudian. 

Berbagai wawancara eksklusif, juga visual-visual yang betul-betul cuma media elektronik itu yang punya. Dan seperti pesan kak Hermien. Tak usah kamu labeli eksklusif, biar penonton yang tahu bahwa itu memang tak ada di tempat lain. 

“Itulah eksklusif sebenarnya.” Ini nasihat yang saya ingat bersama nasihat lain. “Pastikan di tempat lain, karakter kamu tidak hilang.” 

Saya telah menjalankan pesan-pesan itu dengan baik. 

Selasa malam, sehari menjelang 1 Oktober, Hari Kesaktian Pancasila 2025, anggota keluarga, sahabat, kerabat, dan handai taulan saling sapa di Rumah Duka Santo Carolus. Banyak senyum juga tawa. 

Tak sedikit yang menangis. Termasuk mas Wahyu Muryadi, mantan pemimpin redaksi Majalah TEMPO. 

Agus Martowardoyo, mantan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan era SBY juga menitikkan air mata saat memberikan testimoni. 

Ada juga para petinggi, romo-romo di Konferensi Waligereja Indonesia dan Keuskupan Agung Jakarta serta kalangan Katolik umumnya. 

Aktivis Pemuda Katolik, PMKRI, dan banyak lagi. Hermien memang tak cuma aktif jadi wartawan. Juga dalam kerasulan awam di semesta Katolik. 

Mereka melepas Hermina Yosephine Kleden, ke tempat istirahatnya di pemakaman di Jagakarsa. 

Paripurna tugas Hermien di dunia. Jadi kakak, guru, teman, dan bisa juga orang tua bagi yang mengenalnya. 

Istirahatlah dalam keabadian kekal di Rumah Bapa, kak Hermien. Tuhan memberkati selalu. (*)

Sumber: Pos Kupang 

Mak Comblang


Saya dan Dokter Husein (kanan)
Ada yang bilang kami agak mirip dalam beberapa hal. Beta aminkan saja.  Pertama soal kumis. Beliau doyan kumis hitam tebal mengilap, saya senang yang tipis-tipis saja.

Bentuk hidung kami sebelas dua belas. Berkaca mata pula. Tidak seprofesi tapi sama bekerja berkompaskan kode etik. 

 Beliau dokter, saya wartawan. Kami kerap bertemu dan dipertemukan oleh tugas masing-masing. 

Dia tergolong narasumber yang menyenangkan jurnalis. Tak tak pelit berbagi informasi, dan siap melayani wartawan kapan saja. Pria cerdas, rendah hati, bijaksana dan humoris. 

Sebagai pemimpin dia tipe pemimpin yang melayani.  Dalam suatu masa yang panjang nian, namanya identik dengan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. W.Z. Johannes Kupang. 

Sebut RSU Johannes Kupang, sontak ingat sosok dr. Husein Pancratius Rukeng alias Dokter Husein.

Ya beliau merupakan orang kesebelas yang menjadi direktur rumah sakit milik Pemerintah Provinsi NTT yang dibangun Belanda pada tahun 1941 ini.

Masa kepemimpinan Husein Pancratius sebagai direktur paling lama di antara 17 orang yang pernah memimpin RSUD Johannes Kupang sejak 1941 sampai sekarang.

Beliau menjabat direktur selama 13 tahun yaitu sejak tahun 1988 sampai 2001. 

Ketika saya berstatus mahasiswa baru Universitas Nusa Cendana tahun 1988, Husein Pancratius telah menjadi direktur RSU Kupang. Dia menggantikan pendahulunya, dr. Hendrik Roman Klaran (1985-1988).

Tiga gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) pernah menjadi atasannya yaitu dr. Hendrik Fernandez (Gubernur NTT periode 1988-1993), Herman Musakabe (1993-1998) dan Piet A. Tallo (1998-2008).

Masa kepemimpinannya lebih lama dibandingkan dengan direktur pertama RSUD Johannes Kupang, dr. Habel, yang menjabat tahun 1941-1952 (sumber: sejarah RSUD Johannes Kupang).

***

Tahun 1992 saya lolos seleksi masuk menjadi wartawan Harian Pos Kupang yang terbit perdana 1 Desember 1992. 

Pos Kupang mengangkasa di Flobamora hanya berjarak  dua pekan sebelum gempa dan tsunami meluluhlantakkan Pulau Flores yang menelan korban jiwa sedikitnya 2.080 orang.

RSUD Johannes Kupang yang dinakhodai dr. Husein Pancratius merupakan rumah sakit terbesar dan terlengkap di  NTT kala itu. 

Korban gempa dan tsunami  yang tak bisa ditangani pada fasilitas kesehatan di Flores, umumnya dirujuk ke rumah sakit tersebut. 

Kesibukan dan level pelayanan di RSUD Johannes Kupang  meningkat pesat. Sang direktur menjadi orang yang paling diburu para jurnalis untuk mengetahui perkembangan terbaru mengenai perawatan korban.

Perkenalanku dengan beliau berawal dari situ dan terus berlanjut hingga bertahun-tahun kemudian lantaran wilayah tugas saya paling lama sebagai wartawan di Kota Kupang. 

Sementara teman-teman seangkatanku yang lain mendapat tugas dari Om Damyan Godho selaku pemimpin redaksi Pos Kupang di 11 kabupaten yaitu Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, Alor, Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Timur.

Dokter Husein adalah pria humoris dengan kumis hitam mengilap dan logat Manggarai yang kental. Dia juga seorang yang sangat berperhatian.

Suatu hari di pertengahan tahun 1995, dia mengejutkanku dengan pertanyaan menggelitik ini, "Dion, kamu sudah ada pacar atau belum?" 

Saya spontan tersenyum. Beliau lanjut bertutur. "Di sini (RSUD Prof Dr. W.Z. Johannes Kupang)  banyak nona perawat yang belum ada nyong (baca: pacar). Kalau ada yang kamu orang suka, beritahu saya."

Rupanya beliau mau menjadi mak comblang. Saya kembali meresponsnya dengan tertawa.

Perjalanan hidup membawaku sampai pada titik ini. Nona perawat di RSUD Johannes Kupang ternyata orang lain pung jodoh. Bukan jodoh saya.

"Bapa dokter saya sudah beristri, tapi dia bukan perawat," kataku kepada beliau dalam suatu acara di awal tahun 2000-an. Beliau ngakak.

Respek, rendah hati, hangat  dan kebapaan merupakan keutamaan sosok Dokter Husein Pancratius.

Tahun 2001 ia melepas tugasnya sebagai direktur RSUD Prof. Dr. W.Z Johannes Kupang. Posisinya digantikan dr. E. H. J. Mooy yang menahkodai manajemen rumah sakit itu sampai tahun 2006.

Selanjutnya rumah sakit itu dipimpin dr. Y. A. Mitak, MPH (2006-2008), dr. Alphonsius Anapaku, Sp.OG (2008-Agustus 2015),  drg. Dominikus Minggu,M.Kes (Agustus 2015-Januari 2019),  dr.drg. Mindo E. Sinaga, M.kes Februari (2019-2024) dan dr. Stefanus Dhe Soka, Sp.B, M.KM (2025-sekarang).

***

Setelah meninggalkan RSU Johannes, Dokter Husein Pancratius Rukeng sempat memangku sejumlah tanggung jawab penting di lingkup Pemerintah Provinsi NTT, antara lain Kepala Dinas Sosial Provinsi NTT, Asisten Setda NTT dan penjabat Bupati Flores Timur (April-Agustus 2005).

Dokter Husein pun sempat menjadi Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Dedari Kupang selama lima tahun sejak 2010 hingga 2015.

Pengabdian lainnya yang amat monumental bagi masyarakat Flobamora  terkait masalah  HIV/AIDS. 

Beliau merupakan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Nusa Tenggara Timur selama belasan tahun.

Gusti Brewon yang selama 10 tahun menjadi stafnya di KPA Provinsi NTT memberi kesaksikan yang menegaskan kepedulian beliau tersebut.

"Banyak kenangan dalam kebersamaan saya dan Bapa Dokter Husein  Singkatnya, Dokter Husein ini figur yang komplet. Cerdas, humoris, bijaksana dan peduli. Banyak pelajaran kehidupan yang saya timba selama menjadi staf beliau," kata Gusti Brewon.

 Menurut Gusti Brewon yang lebih lama menjadi staf dokter Husein adalah Rini Karsidin. 

"Rini jadi staf sejak tahun 2009, saat bapa dokter dipercaya sebagai sekretaris KPA Provinsi NTT hingga beliau meninggal, 16 tahun lamanya.  Meski demikian, rasanya saya paling banyak menemani beliau dalam perjalanan dan tugas di KPA Provinsi NTT. Karena sebagai Pengelola Program, saya biasanya akan membantu beliau dalam kegiatan pertemuan, sosialisasi dan advokasi. Saya berhenti dari KPA NTT tahun 2019," tulis Gusti di akun Facebooknya.

Kepedulian dan kerja keras  Husein Pancratius  untuk menanggulangi masalah HIV/AIDS di NTT sungguh tak ternilai. 

Pemerintah dan masyarakat Provinsi  Nusa Tenggara Timur patut berterima kasih kepada tokoh kemanusiaan ini. Di tangannya, NTT bisa menekan laju kasus HIV/AIDS secara signifikan.

Penghargaan yang layak untuk tokoh kemanusiaan ini rasanya perlu dipertimbangkan pemerintah daerah.

'Sejak kabar kepergiannya tersiar pada Selasa pagi 26 Agustus 2025, pelayat tak henti-hentinya mendatangi rumah duka di kawasan Kota Baru,  Kupang. 

Mereka merupakan pasien, kerabat, handai taulan, orang-orang dari berbagai kalangan masyarakat yang pernah mengalami perjumpaan personal dengan mendiang semasa hidupnya.

Beta bersaksi Husein Pancratius Rukeng (78)  adalah orang baik. Beliau sungguh seorang dokter, pemimpin, dan orang tua yang bijaksana dan penuh kasih. 

Di rumah duka Selasa petang kutatap wajah lembut kebapaannya. Terlintas senyum hangatmu dulu. 

Aih Bapa dokter, candamu akan selalu menarik rindu. Selamat jalan. Bahagia kekal di sisiNya. 

Tuhan meneguhkan dan menghibur Mama Wati, Adik Tedi, Alo Geong dan semua rumpun keluarga terkait. (*)

Sumber: Pos Kupang

Imam Pertama dari Wolonio


Romo Vincent Bata
 Dia imam dari Wolonio, Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga Watuneso, Keuskupan Agung Ende. Namanya RD Vincentius Budi Bata Putra.

Dia bukan imam pertama dari Paroki Watuneso. Tapi yang pertama dari Wolonio, kampung kecil di kaki pegunungan Ndura. 

RD Vincentius Budi Bata Putra lahir di Mulawatu, kampung tetangga Wolonio. 

Secara administratif pemerintahan,  kampung itu masuk wilayah Desa Fatamari, Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dia datang paling akhir dari kami berenam, tapi yang pertama pulang ke rumah sang khalik, empunya kehidupan.

Dari kami berenam, dia yang pertama bersua di keabadian bersama kedua orangtua kami terkasih Thomas Bata (1933-2002) dan Theresia Masi (1943-2011).

Kisah hidup Romo Vincent Bata berakhir pada hari Senin, 18 November 2024 kira-kira pukul 16.00 Wita. 

Kami berlima saudara kandungnya dan seluruh rumpun keluarga serta handai taulan bak tersambar petir mendengar kabar duka Senin petang itu.

Kehidupan dan kematian memang begitu tipis. Kematian hadir kapan saja dia mau. Dia tak pernah bertanya kapan kita siap.

Sekian purnama telah berlalu sejak adik kami Romo Vincent Bata berpulang. Tapi jujur dikatakan, kegetiran masih membekas di hati kami manusia biasa yang rapuh.

Walau demikian serentak pula  kami memadahkan rasa syukur berlimpah, memuji Allah Tritunggal Mahakudus yang telah menuntun dan menopang kami, segenap keluarga melalui semua fase duka yang getir ini, hingga  hari ini.

Adik Romo Vincent Bata telah berdiam di keabadian. Kini tersisa kepingan-kepingan kenangan tentang dia yang berkelindan, terbayang-bayang di dalam benak, dan semoga akan terus hidup sebagai kenangan manis di hati  semua yang pernah mengenalnya. 

Meski  terus menyimpan rasa duka yang tersekat di batin saat melewati via dolorosa ini, kami segenap keluarga merasa diteguhkan dan dimampukan untuk tiada henti memuji Nama Tuhan yang maha kasih.

Terima kasih Tuhan yang telah menyembuhkan kekasih hati kami Romo Vincen dengan cara-Nya yang ajaib. Sejak 18 November 2024,  adik bungsu kami tidak sakit lagi. Tidak menderita lagi.

Vincen Bata nyaris sepanjang hidupnya selama 47 tahun selalu bersinggungan dengan klinik, rumah sakit dan obat. Muri menga gebi no oba, lukisan kata dalam Bahasa Lio. 

Tapi Tuhan sungguh baik padanya. Tuhan mengasihi dan menguatkannya. Dia paripurna melakoni hidup sebagai iman Tuhan sejak ditahbiskan di Gereja Salib Suci Maurole 23 Agustus 2007.

Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah namaNya. Kepergian Aji Cen ke alam baka merupakan momen duka yang besar, namun sekaligus peristiwa mulia bagi keluarga.

Dia menyusul ayah kami Thomas Bata yang berpulang pada 8 Februari 2002 dan Mama Theresia Masi pada 3 Agustus 2011.

Kami yakin dan percaya Aji Vincen, Bapa Thomas dan Mama Theresia kini telah bersua kembali di surga. 

***

Atas kepergiannya pada 18 November 2024, kami berterima kasih kepada karyawan-karyawati Rumah Bina Kerahiman Ilahi (RBKI) Ende. 

Mereka adalah keluarga terdekat Romo Vincent sejak tahun 2016 hingga akhir hayatnya. Adik Rusmini Jeniku, Abe dan anak-anak lainnya.

Mereka telah hidup bersama penuh kasih di bawah naungan atap RBKI, medan pelayanan Romo Vincent setelah melepas tanggungjawabnya sebagai ekonom di Seminari Tinggi Interdiosesan Ritapiret Maumere.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pelayat yang datang dari mana-mana. Bajawa, Mataloo, Ruto, Laja, Mbay, Mauponggo, Nangaroro, Watuneso, Maumere dan lain-lain 

Terima kasih berlimpah kepada Bapa Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, para imam, diakon, biarawan, biarawati serta umat yang mendoakan Romo Vincent serta meneguhkan kami keluarga.

Kami sungguh merasa diteguhkan dan dikuatkan melihat begitu banyak orang yang datang melayat, mendoakan Romo Vincent Bata pada malam jaga hingga pemakamannya di Ndona pada Rabu siang 20 November 2024. 

Demikian pula pada misa peringatan 40 hari di Gereja St. Yosef Onekore Ende, 29 Desember 2024.

Kehadiran Bapa Uskup Paulus Budi Kleden, para imam seangakatan Romo Vincent serta kurang lebih 1.000 umat pada misa 40 hari, suatu bukti betapa imam dari Kampung Wolonio tersebut sungguh dikasihi.

Kami mengucapkan terima kasih kepada kerabat dekat dan atau jauh yang tak mungkin kami sebut satu persatu. Tuhan maha pemurah akan membalas semua budi baik dan kasihmu buat Romo Vincent Bata, adik terkasih kami.

Teriring permohonan maaf yang tulus dari kami segenap keluarga atas khilaf dan salah Romo Vincent semasa hidup. 

"Sudah selesai," begitu kata-kata Yesus ketika wafat di Salib. Romo Vincent Bata pun telah menggenapi dengan iman perkataan Yesus, sang Imam Agung itu. "Sudah selesai!" 

Ihwal kematian, pujangga asal Libanon, Kahlil Gibran melukiskan dengan kata-kata indah berikut ini. 

"Ratap tangis oleh karena kematian manusia di Bumi, sesungguhnya adalah pesta meriah para malaikat di Surga." 

Adik terkasih Romo Vincent, beristirahatlah dalam damai dan kasih Tuhan. (dion db putra)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes