Orangtua Egois Anak Jadi Korban

ilustrasi
PENGHORMATAN terhadap lembaga perkawinan agaknya telah bergeser jauh. Di sekitar kita mudah ditemukan mahligai rumah tangga yang tidak langgeng. Banyak pasangan bercerai setelah hidup bersama setahun atau dua tahun. Bahkan mereka yang telah membangun rumah tangga selama puluhan tahun pun akhirnya memilih berpisah karena beragam alasan.

Warta Tribun Manado edisi kemarin menunjukkan fenomena sosial memprihatinkan itu. Keretakan rumah tangga yang berujung perceraian di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) mencengangkan. Rata-rata terjadi satu kasus perceraian setiap hari sepanjang tahun. Faktor pemicunya banyak namun paling dominan justru ketidaksetiaan. Suami memiliki Wanita Idaman Lain (WIL) dan sang istri menyimpan Pria Idaman Lain (PIL).

Data yang dihimpun dari berbagai daerah di Sulut menunjukkan trend perceraian pasangan suami istri (pasutri) terus meningkat selama tiga tahun terakhir. Selain Manado dan Bolmong Raya yang mencatat rekor perceraian tertinggi, kecenderungan meningkat itu juga terjadi di Minahasa, Bitung dan wilayah lain. Total kasus perceraian dari berbagai daerah itu dalam tiga tahun terakhir 2.659. Bukan angka yang sedikit kan?

Kiranya benar pernyataan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulut Drs H Syahban Mauluddin MPdI melalui Kasubag Humas, Chyntia Sepang Spak. "Sekarang ini sepertinya pernikahan diibaratkan seperti orang makan fast food (makanan cepat saji) yang sekadar untuk menghilangkan rasa lapar," kata Sepang. Dikatakannya, saat seseorang mengambil keputusan untuk menikah sepertinya begitu tergesa-gesa dan terkesan hanya untuk memperjelas status. Ketika mereka hidup berkeluarga dan menghadapi berbagai persoalan, maka cara tercepat untuk menyelesaikan masalah adalah memilih bercerai. "Di era sekarang cerai terkesan gampang," tutur Sepang.

Memang banyak faktor yang memicu terjadinya perceraian di Sulut selain faktor selingkuh atau ketidaksetiaan pasangan. Beberapa bisa disebut yakni kegagalan komunikasi antara pasutri, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tekanan ekonomi, pernikahan dini serta perubahan budaya dan gaya hidup.

Apa maksud kita mengedepankan fenomena perceraian ini? Toh fenomena itu lazim di mana-mana, bukan hanya di Sulut. Kita tentu saja dengan sadar mengangkat kenyataan sosial tersebut untuk sekadar mengingatkan bahwa di balik setiap perceraian, dampak psikologis paling buruk justru menimpa anak-anak. Sebuah perceraian -- apapun argumentasi dan alasannya -- kesimpulannnya satu yaitu orangtua egois. Hanya ingat diri sendiri, bukan kepentingan masa depan anak mereka. Sudah banyak bukti di tengah masyarakat anak dari keluarga broken home nasibnya tak sebaik mereka yang tumbuh besar dalam keluarga yang utuh. Misalnya 2.659 pasangan di Sulut yang bercerai dalam tiga tahun terakhir memiliki satu atau dua orang anak, bisa kita bayangkan betapa banyak anak yang harus hidup tanpa kasih sayang yang utuh dari orangtua. Mereka adalah generasi yang terluka batinnya sepanjang hidup.

Dan inilah beberapa dampak psikologis yang mendera anak dari orangtua yang bercerai. Mereka merasa tidak aman, tidak diinginkan atau ditolak oleh orang tuannya, suka marah, sedih dan kesepian, merasa kehilangan, merasa sendirian bahkan paling buruk selalu menyalahkan diri sendiri. Mestinya setiap kali pasutri memutuskan bercerai atau tetap bersatu, anak menjadi pertimbangan nomor satu.*

Tribun Manado, Sabtu 14 April 2012 halaman 10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes