Noni Cantik Memakai Baju Robek

TENTANG kerusakan jalan di Kota Manado, pengamat masalah Tata Kota Dr  Veronica Kumurur pernah melukiskan dengan kata kiasan. Manado seperti seorang noni (gadis)  yang sudah berdandan cantik tapi memakai baju robek.  Keindahan Manado, siapa pun pasti mengacungi jempol. Tapi keindahan itu tidak disertai kenyamanan ketika seseorang jalan-jalan menikmati kota berbukit dengan bibir pantainya yang seksi tersebut.

Kerusakan jalan di Kota Manado, baik jalan protokol maupun jalan penghubung sungguh menodai tata wajah ibu kota Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) ini. Siapapun yang jalan-jalan di kota Nyiur Melambai ini akan menikmati ketidaknyaman. Selain kerap terjebak kemacetan arus lalulintas, banyaknya titik jalan yang bopeng memberi kesan kuat  Manado tak ubahnya seperti sebuah desa besar.

Kita tidak meragukan keseriuan pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi Sulut maupun Pemerintah Kota (Pemko) Manado membenahi kerusakan fasilitas vital tersebut. Tetapi kita juga tidak menutup mata terhadap suara-suara di tengah masyarakat yang masih saja mengeluh  tentang belum memadainya pembenahan jalan rusak.

Pantauan Tribun Manado dalam beberapa hari terakhir menemukan kenyataan betapa wajah jalan di Kota Manado  masih bopeng di mana-mana, baik di jalan protokol maupun jalan penghubung, baik di jalan provinsi maupun jalan yang menjadi tanggung jawab Pemko Manado.

Contoh jalan bopeng terlihat misalnya di jalan baru Tugu Adipura Kecamatan Mapanget, Jalan  Mangga dan Maengket. Kerusakan jalan terparah berada di Kelurahan Kairagi I,  dekat titik masuk ke jalan   Jalan A.A Maramis (jembatan Kairagi). Di sana ada lubang menganga hampir selebar jalan tersebut.

Kerusakan pun terlihat mulai dari jalan depan lokasi pergudangan di Kombos Timur. Warga sekitar kerap berinisiatif menutup kerusakan dengan material tanah dan batu. Namun, langkah  itu tak bertahan lama karena saat hujan material penutup jalan rusak lagi dihanyutkan air. Kerusakan lain terlihat di  Jalan Politeknik -Tumiting,  Jalan Arie Lasut yang masuk kawasan Kombos Timur, Kecamatan   Singkil, sebagian Jalan Babe Palar (Wanea), jalan menuju Pasar Karombasan, .Jalan Daan Mogot di kelurahan Tikala Baru Kecamatan Tikala dan  wilayah  lainnya.

Dengan mengungkap fakta semacam ini harapan kita adalah keseriusan pemerintah itu hendaknya bisa mereka buktikan melalui langkah konkret. Rencana perbaikan jalan yang sudah dianggarkan dalam APBD, jangan lagi ditunda atau dipending.
Mengingat musim hujan sudah di depan mata, kerusakan jalan di Kota Manado akan semakin parah bila tidak dibenahi segera.

Kiranya semua memaklumi bahwa jalan merupakan urat nadi perekonomian. Jika sarana vital itu diabaikan maka dampak negatifnya sangat besar bagi masyarakat. Merawat jalan adalah cara terbaik mempertahankan kecantikan wajah Manado dan kenyamanan penghuninya.*

Sumber: Tribun Manado 31 Oktober 2013 hal 10


Survei Membuktikan

Jokowi
MENARIK perhatian kita  menyimak geliat politik lokal maupun  nasional menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014. Banyak warna terpantul dengan bening. Kadang genit, juga menggelikan.  Ada warna perjuangan dengan idealisme dan komitmen yang sungguh-sungguh, warna taktik dan strategi, warga merangkul atau malah saling jegal.

Survei elektabilitas calon presiden (capres)   merupakan satu di antara geliat politik paling heboh dan senantiasa  memancing perhatian publik. Nah dalam sepekan terakhir dua lembaga survei merilis hasil riset mereka. Hasil riset tersebut  menarik perhatian publik karena "hilangnya" nama Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi  dalam daftar capres favorit pilihan masyarakat Indonesia. 

Menurut hasil survei yang dilakukan Political Weather Station (PWS), Ketua Umum Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesai Raya (Gerindra) Prabowo Subianto menempati urutan pertama yang dipilih responden sebagai presiden.
Prabowo mendapatkan 16,7 persen suara responden tersebut mengalahkan Megawati Soekarnoputri (12,5 persen) dan Aburizal Bakrie (10,9 persen).

"Pertanyaan yang diajukan kepada responden adalah, seandainya hari ini Pemilu, siapa yang Anda pilih. Kami mengajukan pertanyaan tertutup dan hasilnya yang tertinggi Prabowo," kata peneliti PWS Imam Sofyan di Jakarta, Minggu (27/10/2013).

Calon presiden yang dimasukkan sebagai pilihan adalah mereka yang sudah resmi diusung partai politik atau dimunculkan partainya masing-masing. PWS hanya  menempatkan Jokowi sebagai pilihan dalam survei lainnya, yakni tokoh muda yang dapat menjadi alternatif sebagai capres 2014. Dalam survei mengenai tokoh muda berpotensi itu, Jokowi menempati urutan nomor satu di PDIP dengan suara responden 70,1 persen, diikuti Puan Maharani (15,7 persen), dan Pramono Anung (3,9 persen), sementara sisanya 10,1 persen memilih tidak menjawab.

Sebelumnya nama Jokowi hilang dalam survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA. LSI Denny  tak memasukkan Jokowi dan Prabowo sebagai capres potensial di Pemilu 2014. Dalam hasil survei LSI Denny yang dilansir Minggu (20/10) lalu,  Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum PDIP Megawati dan Capres dari Demokrat hasil konvensi dinyatakan sebagai Capres yang riil karena diperkirakan mendulang perolehan suara dalam Pemilu tahun depan. Sementara Jokowi dan  Prabowo oleh survei LSI Denny dianggap sebagai Capres wacana saja.

"Hilangnya" nama Jokowi tentu bukan perkara besar yang patut diperkarakan. Toh survei hanyalah salah satu cara untuk menggali kecenderungan persepsi dan sikap konstituen. Pemilu baru berlangsung enam bulan lagi. Dalam kurun waktu tersebut segala sesuatu masih mungkin terjadi. Pilihan pada akhirnya kembali ke masyarakat sendiri. Pemilih kita tahu mana survei yang objektif dan mana yang tidak. Begitulah kira-kira.*

Sumber: Tribun Manado 29 Oktober 2013 hal 14

Pilkada Ende, Darmawan dan Marsel-Djafar ke Putaran Kedua

Saksi tanda tangan berita acara
ENDE, PK- Seperti yang telah dipredisikan pelaksanaan Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Ende (Pilkada) Ende tahun  2013 akan berlangsung dalam dua putaran menjadi kenyataan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Ende dalam rapat pleno terbuka rekapitulasi hasil perhitungan perolehan suara dan penetapan pasangan calon terpilih Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Ende tahun 2013 di Aula BBK, Ende, Sabtu (26/10/2013), menetapkan paket Darmawan (Drs Don Bosco Wangge-drg Dominikus M Mere, M.Kes) dan Paket Marsel-Djafar (Ir Marsel Y.W Petu-Drs H Djafar H Achmad) maju ke putaran kedua bulan Desember 2013.

Menurut Anggota KPU, Djamal Umar yang membacakan hasil keputusan KPU,  dari semua paket yang ada tidak ada satu paketpun yang berhasil meraih prosentasi suara lebih dari 50 persen ataupun 30 persen sebagaimana yang diatur undang-udang maupun keputusan  KPU.

Dari delapan paket yang ada dua paket atas nama, Paket Drs Don Bosco Wangge-drg Dominikus M.Mere, M.Kes serta Paket Marsel Petu-Djafar Achmad yang berhasil meraih suara terbanyak maka kedua paket yang dipastikan lolos ke putaran kedua. Dengan demikian pelaksanaan Pilkada Kabupaten Ende akan dilangsungkan dalam putaran.

Dalam penetapan itu Paket Drs Don Bosco Wangge-drg Dominikus M.Mere berhasil meraih suara terbanyak sebanyak 37.288 atau 28.00 persen sedangkan di urutan kedua pasangan Ir Marsel Petu-Djafar Achmad dengan meraih suara sebanyak 32.062 atau 24,08 persen.

Disaksikan Pos Kupang pelaksanaan pleno terbuka rekapitulasi hasil perhitungan perolehan suara dan penetapan pasangan calon terpilih Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Ende tahun 2013 yang diprakirakan tegang ternyata berlangsung aman. Namun demikian untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan ratusan anggota polisi maupun brimob baik pekain dinas maupun preman dikerahkan untuk mengamakan proses tersebut. Terlihat juga satu unit mobil water cannon disediakan di depan Aula BBK.

Untuk mengamankan pelaksanaan pleno tidak semua hadirin diperkenankan masuk ke aula hanya undangan yang memiliki undangan diperkenankan masuk setelah melalui metal detaktor yang dibawa anggota polisi dari Polres Ended an Brimob.

Perhitungan rekapitulasi berjalan aman hanya terjadi sedikit masalah ketika PPK dari Kecamatan Kota Baru salah dalam menyajikan data. Namun setelah sempat diskors akhirnya PPK dari Kecamatan Kota Baru yang memperbaiki data diminta untuk mempresentasikan perolehan suara dari para paket serta diterima oleh para saksi, Panwas maupun KPU.

Namun demikian pelaksanaan rekapitulasi hanya dihadiri tiga saksi dari Paket Teman, Marsel-Djafar dan Paket Madani sedangkan Paket Darmawan, Paket Garuda, Paket Senayan maupun Paket Lengo Reda Lio juga Paket Hadir Sehati tidak hadir dalam pleno tersebut. Meskipun tidak dihadiri oleh lima saksi dari lima paket pelaksanaan pleno yang dipimpin oleh Ketua KPU Kabupaten Ende, Florentinus H Wadhi serta  dihadiri oleh Anggota KPU lainnya, Rosario Ndai, Vincen Moni dan Djamal Umar juga Ketua Panwas, Esterina Sagajoka, Kapolres Ende, AKBP Musni Arifin serta PPK dari 21 kecamatan tetap berlangsung aman hingga selesai pukul 18.00 Wita. (rom)

Hasil Perolehan Suara Keenam Pasangan

Nama Paket                                                             Jumlah Suara     Persentase
Paket Teman (Yosef Badeoda-Mansur Mberu)         12.429                     9,33
Darmawan (Don Wangge-Dominikus M.Mere         37.288                   28.00
Garuda  (Agustinus G Ngasu-Achmad Mochdar)      12.032                     9,04
Marsel-Djafar (Marsel Petu-Djafar Achmad)            32.062                  24,08
Senayan  (Servas Mario Paty-Yohanes Nggae)         4.659                    3,50
Hadir Sehati (Hendrikus Latu-Abdul Kadir)              8.257                    6,20
Lengo-Reda Lio (Piet Lengo-Siprianus Reda Lio)     6.172                    4,64
Madani  (Martinus Ndate-Heribertus Gani)               20.260                  15,21
                                       Suara sah                          133.159
                                       Suara Tidak Sah                682
                                       Total Suara sah-tidak sah   133.841

Sumber:  KPU Kabupaten Ende


Telah Siap Berkoalisi

Sebelumnya Calon Bupati dari Paket Darmawan, Drs Don Bosco Wangge saat dimintai komentarnya tentang kemungkinan pelaksanaan Pilkada Ende dalam dua putaran menjawab kalau kemungkinan Paket Darmawan masuk ke putaran kedua serta berhadap secara head to head dengan Paket Marsel-Djafar, Don Wanggepun tetap optimis bahwa Paket Darmawan yang akan keluar sebagai pemenang. "Dalam ajang politik kita harus selalu optimis,"ujarnya.

Don Wangge mengatakan kalaupun terjadi dalam dua putaran Paket Darmawan telah siap berkoalisi dengan 6 paket lainnya yang tidak lolos ke putaran kedua. Komunikasi politik telah dibangun dengan secara intes bahkan sudah beberapa kali  diadakan rapat baik dengan para paket ataupun tim sukses dari paket-paket yang ada. "Iya kami sudah bertemu di sekretariat,"ujarnya.

Terima Kasih
Ketua tim paket Marsel-Djafar, Herman Yoseph Wadhi dalam pesan singkatnya kepada Pos Kupang mengatakan atas nama paket marsel jafar, atas nama tim pemenangan , bersyukur kepada Yang Maha Kuasa karena atas penyelenggaraannya paket Marsel Djafar lolos ke putaran dua.

"Saya  menyampaikan terima kasih dan menaruh rasa hormat kami kepada masyarakat  yang telah memilih Marsel Djafar. Terimakasih kepada simpatisan, kepada tim relawan, tim kuarga, tim pemenangan serta simpatisan Marsel Djafar yang telah maksimal bekerja keras memenangkan paket no 4,"kata pria yang dipanggil,Hery Wadhi.


"Tekad kami memang ingin menang satu putaran, tapi hasil yang diperoleh merupakan upaya maksimal dari semua pihak. Tentu tidak boleh berpuas diri, banyak hal yang harus kami evaluasi,  menentukah langkah-langkah strategis, serta kerja tim dalam rangka memenangkan pertarungan di putaran dua,"tambahnya. (rom)

Sumber: Pos Kupang

Hiburan dari Sarajevo

Catatan Sepakbola Dion DB Putra

SREBRENICA
melambungkan nama  Ratko Mladic. Srebrenica, kota kecil pegunungan di sisi timur Bosnia-Herzegovina, oleh kenyataan sejarah, oleh kekejian nafsu hewani manusia, kurang lebih sama dan sebangun dengan kamp penyiksaan warga Yahudi di Auschwitz Jerman, tempat yang membuatku merinding saat mengunjunginya dalam lawatan beberapa tahun  silam.

Srebrenica-Ratko Mladic,  Adolf  Hitler-kamp Auschwitz  sama-sama menjadi nama yang menakutkan, sama-sama menebarkan horor,  nama yang akan lama dikenang dunia. Bahkan mungkin hingga akhir zaman (jika itu memang ada).

Di Srebenica medio Juli 1995,  kurang tiga tahun pasca kemerdekaan Bosnia, di hadapan wajah-wajah tak berdaya, wajah-wajah polos tak bersalah, dengan gagah berani Jenderal  Ratko Mladic memerintahkan para algojo menghamburkan peluru. Lebih dari 120 jam, para penjagal Mladic, anggota angkatan bersenjata Serbia membombardir Srebrenica dengan granat berat dan  roket.

Lima hari setelah Srebrenica berlumuran darah, Mladic memasuki kota itu sambil mengajak juru kamera guna merekam hasil kerja para alogojonya. Tanpa rasa bersalah secuil pun, jenderal tambun dengan wajah sangar itu menyaksikan ribuan kepala manusia berlubang,  tumpukan jasad yang dibantai hanya karena mereka punya  asal-usul berbeda, suku berbeda, agama berbeda dengan Mladic yang berdarah Serbia. Sedikitnya 7.500 warga  Bosnia tewas dalam pembantaian selama lima hari di bulan berdarah Juli 1995 itu.

Puas meninggalkan jejak tengik di Srebrenica, bersamaan dengan berakhirnya perang saudara di semenanjung Balkan, Mladic kembali ke Beograd, menikmati dukungan dan perlindungan terbuka dari Pemimpin Serbia Slobodan Milosevic. Ia tinggal di rumah mewah, rajin mengunjungi tempat umum, menonton opera, balet, konser musik simfoni  dan makan di restoran mahal.

Enam tahun lamanya Mladic menikmati kemewahan hidup sebagai veteran perang Bosnia sampai penahanan Slobodan Milosevic tahun 2001 atas desakan masyarakat internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Milosevic diajukan ke Pengadilan Kejahatan Perang PBB di den Haag Belanda atas kejahatan perang, atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Milosevic digelandang ke den Haag bersama dua prajurit binaan Mladic yang menjadi algojo di Srebrenica tahun 1995.

Ke mana Mladic?  Jenderal licik dan licin itu berhasil lolos dari kepungan polisi yang menggrebeknya di Beograd. Mladic buron. Dia tidak pernah menetap lama di suatu tempat, selalu berpindah-pindah lewat penyamaran, lewat bantuan kaki tangannya yang masih setia.  Beberapa laporan menyebutkan ia tinggal di bunker masa perang Bosnia di Han Pijesak, tak jauh dari Sarajevo atau di Montenegro. Laporan lain menyebut ia tetap di berada atau sekitar Belgrade.

Pada tanggal 21 Februari 2006 berembus isu Mladic  telah ditahan di Beograd,  ibu kota Serbia lalu  dipindahkan ke Kota Tuzla di timur laut Bosnia atas permintaan pengadilan  PBB di den Haag. Penahanan itu disangkal pemerintah Serbia. Ketua Penuntut Pengadilan PBB di den Haag Carla Del Ponte pun  menyangkal kabar burung itu. Mladic lagi-lagi lolos dari tangkapan.

Mladic masih bebas berkelana hingga Serbia-Montenego resmi berpisah sebagai negara merdeka, masing-masing sebagai negara Serbia dan negara Montenegro lewat referendum tanggal  21 Mei 2006. Referendum Mei 2006  itu melahirkan tiga negara baru pecahan Yugoslavia yaitu Bosnia-Herzegovina, Serbia dan Montenegro.

Ya, sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga. Selicin-licinnya Mladic, dia akhirnya menyerah juga. Mladic ditangkap pasukan keamanan Serbia di Lazarevo, dekat Zrenjanin di wilayah Banat, Provinsi Vojvodina pada 26 Mei 2011. Mladic bertekuk lutut saat dikepung dua lusin pasukan khusus kepolisian yang memakai seragam hitam dan cadar serta tanpa tanda pengenal apapun.

Lengannya yang lumpuh akibat stroke serta usia tua (Mladic lahir di Bosnia 12 Maret 1943), membuat buronan kelas kakap itu menyerah. Selama  persembunyian, Mladic menggunakan nama samaran Milorad Komadic. Dia tidak memelihara janggut, kumis  atau tanda pengenal apapun.  Seperti Milosevic,  Mladic kemudian diborgol ke den Haag menjalani persidangan atas kasus paling mengerikan, genosida! Dia menanam, dia menuai hasilnya.

Horor Mladic di Srebrenica. Demikianlah genosida terburuk menjelang ujung abad ke-20 ketika dunia begitu getol berteriak tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Tragedi  Srebrenica terjadi  karena orang seperti Mladic tak sudi mengakui bahwa pluralisme, bahwa perbedaan itu adalah keniscayaan. Bahwa kemanusiaan itu satu dan universal  tapi sang Khalik yang empunya kehidupan, yang sejatinya seniman agung itu,  menciptakan pelangi kemanusiaan  agar dunia ini indah.

Tak pernah ada manusia yang meminta jadi minoritas, tak ada yang patut merasa hebat karena klaim mayoritas.  Pembunuhan sesama karena perbedaan etnis, agama, latar politik  tidak dapat dibenarkan. Dan, tidak boleh terjadi lagi.

                                                      ***
DI balik wajahnya yang sangar, kulitnya yang kasar dan hatinya yang sejahat Adolf Hitler  itu, Ratko Mladic adalah penggemar sepakbola sejati. Sebelum menjadi buronan penjahat perang dan penjagal genosida, jenderal  angkatan bersenjata Serbia ini hampir selalu menonton pertandingan sepakbola setiap  akhir pekan. 

Dia tidak hanya menikmati pertandingan di depan layar televisi, tetapi sangat sering Mladic hadir di stadion, berteriak memberi dukungan kepada tim dan pemain kesayangannya. Tim idola Mladic adalah Red Star Belgrade, klub Serbia (dulu Yugoslavia) yang pernah meraih trofi Liga Champions Eropa dan paling banyak menjuarai kompetisi Liga Serbia dengan koleksi 25  gelar juara.

Delapan belas tahun setelah Mladic menciptakan horor di Srebrenica,  berusaha menistakan etnis Bosnia,  tim nasional (timnas) sepakbola  Bosnia-Herzegovina membuat sejarah. Untuk pertama kali Bosnia-Herzegovina lolos ke putaran  final kejuaraan sepakbola paling bergengsi antarnegara, FIFA Word Cup.

 Bosnia-Herzegovina mengamankan tiket Piala Dunia di Brasil musim panas 2014 setelah sukses menaklukkan tuan rumah  Lithuania 1-0 di Kaunas, hari  Selasa 15 Oktober 2013.

Gol tunggal pemain  klub Bundesliga Jerman, VfB Stuttgart, Vedad Ibisevic pada menit ke-68, sudah  cukup untuk memastikan kemenangan bagi negara pecahan Yugoslavia itu terbang  ke negeri elok Brasilia tahun depan. Ibisevic menggetarkan jala gawang tuan rumah yang lebih difavoritkan setelah memanfaatkan umpan silang Edin Dzeko dari sayap kanan pertahanan Lithuania.

Hasil ini cukup untuk memastikan Bosnia-Herzegovina tampil sebagai juara Grup G kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Eropa. Bosnia-Herzegovina unggul selisih gol atas Yunani, yang pada hari yang sama mengalahkan tim rapuh Liechtenstein  2-0.

Sejak berdiri sebagai negara merdeka 1992, lima tahun pasca kejatuhan Soviet dan Komunismenya yang ikut meruntuhkan negara Yusgolavia, Bosnia-Herzegovina dua kali hampir merasakan berkiprah di kejuaraan sepakbola kelas  dunia. Namun, kesempatan emas tersebut selalu dipupuskan Portugal. Dua kali Portugal gagalkan mimpi Bosnia-Herzegovina di babak play-off menuju Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, dan babak play-off Piala Eropa 2012 di Ukraina dan Polandia.

Maka ketika gol Vedad Ibisevic bertahan hingga wasit meniup peluit panjang di Kaunas 15 Oktober 2013, sekitar 5 juta penduduk Bosnia larut dalam kebahagiaan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Hampir 30 ribu orang turun ke jalan-jalan utama Sarajevo, ibu kota Bosnia. Klakson mobil nyaring bersahut-sahutan, seruling terompet nyaris memekakkan telinga. Sarajevo berspesta pora semalam suntuk di alun-alun kota, di taman-taman dan kafe  merayakan sukses negeri yang terkoyak perang Balkan itu lolos ke Piala Dunia.

Mereka mengelu-elukan nama Pelatih Safet Susic sebagai arsitek kemenangan bersejarah. Susic mengantar Bosnia kini boleh sejajar dengan negara lain di Eropa yang lebih dulu berjaya di Piala Dunia. Warga Sarajevo tiada henti menyebut Ibisevic sebagai pahlawan. Tak lupa pula menyanjung punggawa timnas Bosnia Asmir Begovic,  Avdija Vrsajevic, Adnan Zahirovic,  Ermin Bicakcic,  Emir Spahic; Zvjezdan Misimovic, Haris Medunjanin, Sejad Salihovic; Miralem Pjanic, Senad Lulic dan  Edin Dzeko.

Di dalam pesawat yang menerbangkan pahlawan Bosnia di ladang bola kembali ke Sarajevo dari ibu kota Lithuania seusai kemenangan heroik  malam itu, para pemain tak henti-hentinya bernyanyi. Susic harus menutup rapat telinganya karena tak tahan mendengar Dzeko yang paling keras suaranya, meski fals. 

"Hampir saja saya menendang mereka satu per satu karena nyanyian di kabin itu," kata Susic kepada wartawan saat landing di Sarajevo. Susic bercanda dengan awak media sekaligus melukiskan suasana hatinya yang ceria. "Ini momen paling membahagiakan untuk saya selama berkarir di sepakbola," demikian Susic seperti dikutip Miami Herald, Rabu (16/10/2013).

Bola menjadi hiburan. Bola menjadi pengobat lara.  Timnas  sepakbola Bosnia mempersembahkan sesuatu yang sangat berarti bagi bangsanya. "Ini tidak sekadar tentang sepakbola lagi. Ini tentang perasaan kami yang selalu dilupakan karena sebagai negara baru kami tak punya pengalaman," kata Salih Redzic, satu di antara warga Sarajevo  yang merayakan pesta Selasa malam itu di alun-alun kota.

Sukses Bosnia lolos ke Piala Dunia sungguh menghibur  warga Bosnia yang selama ini berada dalam situasi serba sulit, baik secara ekonomi maupun politik. Data terkini menyebutkan, sekitar 25 persen dari total populasi Bosnia berstatus pengangguran. Mereka bekerja serabutan sekadar mempertahankan periuk nasi.

Geliat perekonomian dalam negeri Eropa Timur itu sedang buruk. Konflik politik yang melibatkan elit Bosnia tak henti-hentinya berkecamuk.  Pekan lalu, penderitaan warga Bosnia bertambah berat setelah bantuan 47 juta Euro dari Uni Eropa menguap karena konflik politik dalam negeri.

Bagi warga Bosnia, kegembiraan yang merebak seperti Selasa malam 15 Oktober 2013  itu sangat jarang mereka rasakan. Dua dekade lalu, Bosnia terlibat perang Balkan  yang mengakibatkan sekitar 100 ribu orang terbunuh. Mereka pun tak akan melupakan horor yang ditebarkan Jenderal Ratko Mladic dan para algojonya di Srebrenica Juli 1995. 

Hingga hari ini pun konflik itu masih saja meninggalkan luka batin,  mewariskan kemiskinan,  mencuatkan tingkat pengangguran tinggi serta konflik politik atas nama demokrasi dalam negeri Bosnia yang tak kunjung usai

"Kami tak punya alasan lain untuk bahagia," ujar Benjamin Saric, seorang pelajar berusia 20 tahun dari Sarajevo. Sukses di lapangan bola membuat warga Bosnia- Herzegovina kini sejenak melupakan kepenatan hidup harian mereka.

Dalam skala berbeda tapi dengan getar batin yang kurang lebih sama, bola pun sedang menjadi  pengobat lara kita yang menghuni negeri bernama Indonesia. Negeri yang masih dililit krisis ekonomi, gurita korupsi tiada akhir serta intrik dan trik politik yang hari-hari ini menawarkan misteri baru bernama Bunda Putri.

Bukankah Anda mendadak bangga sebagai anak Indonesia ketika Evan Dimas dkk menjuarai Piala AFF U-19? Bukankah tuan dan puan berteriak kegirangan ketika 12 Oktober 2013, Evan Dimas dkk mengalahkan Korea Selatan 3-2 sekaligus meraih tiket ke putaran final Piala Asia U-19 tahun depan di Myanmar?  

Bola menghibur dunia, begitulah pesona cabang olahraga sepak kulit bundar ini sejak abad yang lalu,  hari ini dan hingga kapan pun,  sepanjang sepakbola masih dimainkan anak manusia.

Sepakbola menebarkan keutamaan yang sangat indah karena bola selalu menembus batas, melewati sekat perbedaan suku, agama, ras dan golongan. Dalam bola kita bisa sehati. Bisa menangis dan tertawa bersama atas kekalahan dan kejayaan. Maka filsuf Albert Camus benar ketika dia bertitah, "Dalam hal keutamaan dan tanggung jawab akan tugas saya belajar dan berhutang budi pada sepakbola". Anda dan saya, putri-putri Srebrenica yang perih atas horor Ratko Mladic,   kita semua,  berhutang budi pada sepakbola. Karena dia menghibur, dia mengobati lara. (*)

Sumber: Tribun Manado

Pesona Brasil 2014

MESKIPUN baru akan  bergulir sekitar delapan bulan lebih dari sekarang, namun pesona kejuaraan sepakbola paling bergengsi,  Piala Dunia di Brasil 2014 telah membius sebagian besar penggemar kulit bundar. Pembicaraan tentang FIFA World Cup 2014 sudah bergemagaung  di warung kopi,  di beranda rumah atau di pasar, restoran bahkan hotel berbintang.

Masyarakat sejagat memang sedang menanti dengan hati gembira datangnya pesta sepakbola empat tahunan bernama Piala Dunia. Mereka seolah tak peduli dengan adanya riak, onak dan duri di dalam negeri Brasil. Sebagian rakyat Brasil tidak ceria menanti Piala Dunia karena menurut mereka event tersebut hanya memboroskan uang negara di tengah kemiskinan rakyat Brasil yang kian masif.

Apa boleh buat. Jeritan rakyat Brasil yang miskin niscaya akan tenggelam dalam hingar bingar pesta bola yang sudah menjadi agenda tetap FIFA tersebut. Di sini tidak sekadar urusan boros atau hemat uang. Brasil sebagai negara adi daya sepakbola juga mempertaruhkan kehormatan dan martabat  bangsanya yang sudah menyatakan diri siap menjadi tuan rumah.

Sampai kemarin tanggal 16 Oktober 2013, tercatat sudah 21 negara yang memastikan diri lolos ke putaran final Piala Dunia 2014. Dengan toral 32 tim finalis, maka  berarti tersisa 11 negara lagi yang sedang berjuang meraih tiket ke Brasil. Mereka adalah sebagian dari Eropa, wakil zona Afrika serta beberapa negara yang harus menjalani babak playoff.

Adapun negara yang sudah lolos adalah  Brasil (tuan rumah), Jepang, Australia, Iran, Korea Selatan (zona Asia),  Italia, Belanda, Belgia, Swiss, Jerman, Rusia Bosnia, Inggris, Spanyol (zona Eropa),  Argentina, Kolombia, Ekuador, Chile (zona Amerika Selatan),  Kosta Rika dan Amerika Serikat (zona Amerika Utara, Tengah dan Karibia).

Di zona Afrika perang bola masih berlangsung sangat sengit dengan korban bakal berjatuhan di masa injury time. Demikian pula di kawasan Eropa sebagai barometernya kiblat sepakbola dunia.  Satu-satunya zona yang lebih dulu aman dari hingar-bingar persaingan adalah Asia dengan kejutan berupa gagalnya Arab Saudi lolos ke Brasil 2014. Arab Saudi adalah langganan finalis Piala Dunia, tetapi kali ini negara kaya minyak itu keteteran. Malah Iran yang naik ke pentas dunia.

Dari benua bersalju  Eropa, kejutan bersejarah ditorehkan negara Balkan yang sempat hancur lebur oleh perang saudara dan aksi genosida. Untuk pertama kali dalam sejarah Piala Dunia,  Bosnia-Herzegovina  lolos ke putaran final.  Bosnia mengamankan tiket Brasil 2014  setelah menaklukkan Lithuania 1-0 di Kaunas, Selasa (15/10/2013) waktu setempat. Bosnia seolah menyampaikan pesan kepada masyarakat dunia bahwa mereka sudah bangkit dari kematian. Bangkit dari keterpurukan akibat perang.

Melalui bola,  Bosnia kini memposisikan martabat dan kehormatan bangsanya sejajar dengan bangsa lain di dunia. Membangun olahraga prestasi adalah bagian penting dalam membentuk karakter bangsa yang tangguh. Pemimpin kita di negeri ini kerap melupakan hal itu. Celaka memang! (*)

Sumber: Tribun Manado 17 Oktober 2013 hal 10


Oh Mace, Ya Yabes!

Yabes bersujud seusai cetak gol ke gawang Filipina 10-10-13
Catatan Sepakbola Dion DB Putra

ANAK
Flobamora, nama gaul komunitas masyarakat Provinsi  Nusa Tenggara Timur (NTT)  itu  punya mimpi. Mimpi memberi diri demi Ibu Pertiwi lewat olahraga berprestasi. Maka sejak berpuluh-puluh  tahun yang lalu, di dusun-dusun yang sunyi,  di antara lembah dan ngarai serta gunung-gemunung Nusa Nipa, Nusa Lote, Timor, Alor, Sabu dan padang meringkik Savana Sumba, anak-anak NTT tak pernah berhenti bergerak.

Mereka bergelora,  bergoyang seirama alam kampung, berolahraga apa saja, dari sekadar menepuk bulu angsa meniru kehebatan Rudi Hartono, meninju pohon pisang sambil membayangkan kerasnya kepalan Ellyas Pical hingga menendang buah jeruk besar sembari berangan sebagai Pele, laksana Armando Maradona.

Nusa Tenggara Timur bukanlah yang terpencil di antara gemagaung olahraga berprestasi Indonesia. Bertahun-tahun kampung jauh dari Jakarta itu, yang kerap pula terlupakan dalam kampanye pembangunan itu,  menyumbang putra-putri terbaiknya untuk membela  panji Merah Putih, memberi diri untuk kehormatan  bangsa ini tanpa pamrih berlebih.

Jejak bersejarah NTT pertama ditorehkan Wempy Foenay tahun 1955,  pada zaman Provinsi Sunda Kecil di nomor lempar cakram. Dia memegang rekor  nasional dengan skor 33,2 meter  yang baru pecah tahun 1973 oleh atlet DKI Jakarta, Sri Numini. Berturut-turt lahir olahragawan legendaris daerah kepulauan itu seperti Mathilda Fanggidae,  Rony Mello, Ratmini,  Mace Siahainenia, Welmince Sonbay, Theo Rodja, Ruben Ludji, Amos Kamesah, Eduardus Nabunome, Hermensen Ballo.
Eforia penyambutan Yabes di Kalabahi (Fb Sipri Seko)

Mace Siahainenia boleh disebut secara spesial. Tatkala radio adalah satu-satunya media andalan yang merangsek hingga pelosok, nama Mace sudah tersohor. Itu tahun 1970-an ketika Nusa Tenggara Timur baru sebatas dusun, sekadar kampung besar yang pesawat televisi  merupakan barang mewah dan masih jarang amat.

Bulu kuduk merinding mendengar reportase penyiar  RRI mengelu-elukan nama Mace dari arena PON, dari ajang SEA Games. Amboi!  Mace.... Mace... Oh  Mace Siahainenia  merebut emas lagi! Emas dari tolak peluru, emas dari lempar cakram dari arena Pekan Olahraga Nasional (PON) selama tiga kali berturut-turut . Dari PON ke PON, nama Mace selalu terpampang di papan skor.  Emas SEA Games pun menjadi lazim. Persembahan Mace untuk Merah Putih.

Itu berlangsung selama hampir dua dasawarsa. Mace tak terkalahkan, Mace tak tergantikan di cabang sunyi atletik khususnya nomor lempar cakram dan tolak peluru putri . Hingga detik ini pun, ketika nona-nona cantik  Indonesia jauh lebih sehat oleh makanan bergizi tinggi,  belum ada atlet putri Indonesia sehebat Mace Siahainenia.

Dia tidak cuma mengharumkan nama  Flobamora, tetapi Indonesia hingga level Asia. Di semesta Nusantara, nama Mace melambung jauh sebelum hadir generasi yang lebih muda seperti Eduardus Nabunome atau dua jagoan ring tinju, Johny Asadoma dan Hermensen Ballo menembus Olimpic Games (olimpiade).

Bagi yang mengenalnya,  Mace mestinya layak dan sepantasnya dinobatkan sebagai srikandi terbaik Nusa Tenggara Timur di jagat olahraga sampai saat ini. Dia duta olahraga Flobamora. Tapi Mace, tanta Mace yang rendah hati itu tidak pernah meminta lebih. Dia tetaplah gadis NTT kelahiran Sumba yang enggan jumawa. 

Maka ketika Mace Siahainenia menghembuskan napas terakhir di RS Bhayangkara Kupang 5 Mei 2011, saya menyaksikan begitu banyak orang menitikkan air mata.

Di sudut rumah duka di  Jalan Sam Ratulangi, Kota Baru, Kupang kala itu, Ketua Umum Pengurus Provinsi Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) NTT, Ir. Esthon L Foenay, M.Si berkali-kali mengambil sapu tangan, mengusap lelehan air bening di pipinya.

Air mata duka atas kepergian Mace. Tapi Esthon dan semua yang hadir kala itu bangga atas dedikasi tanta Mace untuk ini negeri hingga akhir hayatnya. Di luar nama besarnya sebagai atlet, Mace adalah abdi negara, pegawai negeri sipil yang berbakti melalui  Bidang Keolahragaan Dinas PPO Provinsi NTT.

Banyak nian kenangan indah yang terungkap dari sesepuh atletik NTT seperti Wellem Radja, Fredik Tunliu, Eduard Setty, Saturnus Serajawa, hingga mantan atlet atletik  Anton Fallo dan Tersiana Riwu Rohi. Pribadi Mace dikenal sangat bersahaja. Tapi dia sangat disiplin dalam berlatih. Disiplinlah yang bikin Mace tetap berprestasi belasan tahun, sampai batas usia atlet  tak bisa lagi kompromi.

Beberapa yang masih terbayang dalam ingatan, Mace memulai prestasi di PON VIII tahun 1975 dengan merebut medali perak lempar cakram. PON IX 1977 Jakarta,  emas tolak peluru dan perunggu lempar cakram. Medali emas PON X 1981, medali perak PON XI 1985,   perunggu PON XIII 1993 dan perunggu PON XII 1989. 

Kesederhaan, ketekunan berlatih serta konsistensi menjaga kebugaran tubuh hingga prestasi bertahan lama, itulah warisan terindah Mace Siahainenia. Siapapun atlet Indonesia yang masih aktif saat ini di cabang olahraga manapun mestinya meniru jejak Mace. Mengambil warisannya yang tetap relevan sampai kapan pun!

                                                                           ***
DEMAM Yabes. Ya, demam Yabes  Roni Malaifani! Begitu atmosfer Nusa Tenggara Timur sepekan terakhir, sejak remaja  hitam manis rambut keriting riwil riwil dari Moru, Pulau  Alor menjebol gawang Filipina di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, Kamis 10 Oktober 2013.

Yabes menjebol jala gawang dengan kostum berlambang Garuda di dada, jersey pemain tim nasional sepakbola  Indonesia, Merah Putih. NTT terhenyak bergetar tercengang. Bangga! Ada lagi putra Flobamora membela timnas Indonesia di cabang sepakbola setelah Om Sinyo Aliandoe melakoninya di waktu yang amat lampau,  akhir 1970-an. Lama nian mimpi itu baru terwujud lagi melalui Yabes. Bertahun-tahun yang langganan memakai kostum Garuda adalah anak Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Jawa dan Sumatera. NTT, entah di mana?

Bila Pulau Alor gempar, jika Kamis malam 10 Oktober 2013 penduduk Flobamora jingkrak bergirang ria, itu sebuah pemenuhan dahaga. Oase di tengah gurun prestasi bola yang hening sepi di kawasan  tenggara Republik Indonesia. Yabes mencetak gol, ada yang sampai memeluk televisi segala. Ada juga yang melempar layar lebar untuk nobar (nonton bareng)  karena kegirangan hingga layar robek berhamburan. Pesona bola memang menghipnotis manusia. Bola bikin orang jadi setengah gila!

Heboh penyambutan Yabes di  Kota Kupang pada 16 Oktober 2013 dan di Kalabahi sehari kemudian mencerminkan betapa dahaganya Flobamora akan prestasi di cabang sepakbola. Untung mimpi Yabes kesampaian berkat rejeki blusukan ala Pelatih Timnas Indonesia U-19 Indra Sjafri.

Seandainya Indra tidak melirik NTT, tidak  mencari talenta dari seluruh pelosok Indonesia, nasib Yabes pastilah sama dengan anak-anak NTT lainnya. Mereka punya talenta, punya kemauan untuk meraih prestasi, tetapi peluang itu tidak pernah datang. Mereka layu sebelum berkembang. Saat remaja menjelang, mereka lebih piawai menenggak arak, mengisap rokok sambil bermain kartu remi berjam-jam. Badan tambun. Tambun bonsai. Tambun dengan penyakit sesak berdesak.

Begitulah. Kompetisi sepakbola di NTT memang hidup enggan mati pun tak mau. Dari waktu ke waktu begitu saja yang tergelar. Menu yang itu itu juga yang tersaji di altar bola Flobamora. Kejuaraan El Tari Memorial Cup adalah ritual tahunan. Ritual sang jago kandang yang begitu susah menembus kasta kompetisi divisi sedikit lebih tinggi di  Indonesia. Jangankan Divisi Utama apalagi Liga Super, sekadar divisi II pun begitu rapuh tim-tim asal NTT mampu bertahan. Warta kekalahan merupakan derita panjang tim-tim Flobamora.

Begitulah hukumnya. Kompetisi berjenjang berkelanjutan merupakan keniscayaan sepakbola. Tatkala dunia gemas dan girang melihat anak bola yang sehat dan menghibur seperti Pele, Maradona, David Beckham, Cristiano Ronaldo, Lionel Messi atau Neymar, ketahuilah mereka  tidak lahir begitu saja. Mereka lahir dari rahim ibu bola yang kerja keras memeras keringat bahkan air mata.

Ketika suatu kabupaten, kota, provinsi di ini negeri  tidak memiliki kompetisi sepakbola yang kompetitif, sumbangan pemain untuk tim nasional adalah mimpi di siang bolong. Kalau elit pemimpin daerah lebih sibuk berkompetisi politik, lebih doyan bermain jurus di rimba persilatan pemilukada dan setelah itu lupa urus rakyat, anak-anak bola Indonesia tak pernah mengguncang dunia.

Ini memang bukan hanya masalah Nusa Tenggara Timur. Sulawesi Utara, Sumatera Utara serta sejumlah daerah lain di Indonesia yang dulu rutin melahirkan anak-anak bola berbakat, saat ini sepi dari nama besar.

Yabes, ya Yabes Roni  Malaifani! Apakah dia sudah memiliki nama besar? Saya kira belum saatnya Yabes berbangga secara berlebihan sebagai duta sepakbola Flobamora. Yabes Roni barulah sekuncup, belum mekar mewangi apalagi sampai legendaris.

Siapa saja yang tergetar oleh demam Yabes hari ini, oleh daya itu, oleh pesona bola yang mengantar Yabes disambut bak pahlawan, melebihi atlet kempo, tinju, atletik asal NTT  yang prestasinya bahkan sudah menembus dunia, mestilah  merawat momentum ini dengan bijak. Yabes tak patut dibelai disanjung dengan kebanggaan terburu-buru karena ia akan merasa tak sanggup memikul beban yang bejibun.

Putaran final Piala Asia U-19 di Myamar, tempat di mana Yabes dkk akan mempertaruhkan kehormatan tim Merah Putih di level Asia masih setahun lagi. Dalam 12 bulan ke depan segala sesuatu masih mungkin terjadi. Yabes, apakah Yabes masih mengenakan kostum berlogo Garuda?

Indra Sjafri, sehari setelah timnas U-19 memastikan lolos ke putaran final lewat kemenangan bersejarah atas timnas Korea Selatan 3-2, lantang berkata, rotasi, promosi dan degradasi pemain masih berlaku di Timnas U-19 yang dia targetkan bisa  menembus final Piala Dunia U-20 tahun 2015 di Selandia Baru.

Kata Indra, pelatih berkumis kelahiran Sumatera Barat, bahkan seorang Evan Dimas Daryono pun bisa digantikan manakala dalam setahun ini performanya anjlok atau ada pemain lain yang lebih bagus darinya.  Jadi, pencapaian seorang Yabes belum apa-apa. Jalan anak yatim itu  masih panjang dan berliku, penuh onak dan duri.  Tugas kita  mendukung Yabes  agar jalan yang telah dia rintis dengan manis, dia akhiri  pula dengan indah berseri-seri.

Di antara celah gunung-gemunung, ngarai dan juga lembah Indonesia, hari ini  masih riuh terngiang nama Yabes. Ya Yabes!  Sungguh terlalu kalau ada yang iri dan dengki, juga berpikir praktis dengan agendanya  sendiri. Menumpang tenar Yabes Roni Malaifani  pakai parfum politik. Politik parfum, konon kabarnya,  kalau over dosis malah menjadi bau. Jauh dari harum, semerbak mewangi. *

Sumber: Tribun Manado

Paat Masih Pakai Setrika Berkepala Ayam

Setrika jadul berkepala ayam
SANG surya turun ke peraduan ketika warga berkumpul di rumah kepala jaga VII Desa Tondey Kecamatan Motoling Barat Kabupaten Minahasa Selatan, Fredy Telew (57) hari Selasa (1/10/2013).

Wajah-wajah itu tampak ceria. Yohanis Sarayar (67) asyik bermain kartu di beranda rumah Fredy sampai kegelapan menyelimuti kampung yang belum tersentuh jaringan listrik  itu.

Kepala jaga mulai membuka cerita. Dusun jauh  Tondey berdiri sekitar tahun 1968, saat tujuh orang petani membuka lahan. Seiring perjananan waktu makin bertambah populasinya. Youtje Telew (66), menyebut sekolah pertama di dusun ini dibangun  awal  tahun 1980-an. Fredy Telew mengakui pemerintah memberikan bantuan genset tahun 2006.  T etapi genset itu hanya bisa dioperasikan tiga hari sekali selama tiga jam guna menghemat bensin yang harganya mencekik leher.

 "Kami membutuhkan 15 liter bensin untuk dua malam. Itu hanya untuk tiga jam per hari. Waktu yang dipilih malam hari,"  tuturnya. Sebanyak 63 KK di dusun ini  wajib membayar Rp 30 ribu per bulan.

Permintaan itupun ternyata sulit dipenuhi semua warga dusun jauh Tondey. Maklum, sebagian besar mereka berprofesi sebagai petani. Pada malam tanpa listrik dari genset, warga Tondey manfaatkan lampu botol berbahan bakar minyak tanah.
Frengky Telew (32) mengatakan bermain kartu menjadi hiburan satu-satunya di dusun itu. Mereka tidak punya pesawat televisi "Kami cepat-cepat pulang dari kebun untuk main kartu. Ibu-ibu juga cepat masak sebelum gelap" katanya.

Etni Paat, istri kepala jaga mengatakan lampu botol  menjadi andalan meskipun rumahnya kotor akibat asap dari lampu itu. Empat lampu botol dipakai  terus- menerus sepanjang minggu. "Kira-kira dua liter minyak tanah yang dihabiskan selama seminggu," ujarnya. "Kalau ada ibadah, kami menggunakan lampu petromaks di malam hari," kata Etni Paat.

Karena ketiadaan listrik itu, hampir tidak ada peralatan elektronik lain selain handphone.  Setrika pun tidak dimiliknya. "Kalau untuk setrika kami memakai sabun," kata Etni bercanda. Maklum mereka tidak memiliki setrika sama sekali.
Kalaupun sangat butuh dia meminjam setrika model lama yang gunakan arang kelapa milik pemimpin agama di dusun itu. "Itu setrika bara. Hanya dua keluarga yang punya. Namanya setrika ayam," ujar Etni lagi sambil tertawa.

Anak-anak di dusun ini pun jarang belajar pada malam hari.Tribun Manado yang bermalam di dusun itu pada Selasa (1/10/2013), melihat anak-anak sudah beranjak tidur sekitar pukul 20.00 Wita setelah makan malam.

Kepala Desa Tondey, Johny Kawengian yang didampingi sekretaris Robby Piri dan kaur pembangunan  Erol Lumowa berharap jaringan listrik PLN segera masuk ke desa tersebut. Daerah ini kaya dengan komoditi pertanian dan perkebunan. "Tondey raya menghasilkan 800 ton kopra. Untuk cengkih seribu ton. Sedangkan untuk gula aren tiga ton per hari dengan 300 pengrajin," ujar Kawengian, Rabu (2/10/2013).

Nasib serupa masih dirasakan warga UPT Sangkilang Desa Serei Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara. Belum seluruh warga Sangkilang menikmati listrik. Keluarga Revian Ali (41), misalnya,  mengakui masih menggunakan setrika model lama dengan sumber bara dari tempurung kelapa. Untuk memasak keluarganya menggunakan kayu bakar.

"Kalau setrika pakaian kami gunakan setrika bara dari arang tempurung kelapa," tutur Ali kepada Tribun Manado di desa itu, Selasa (1/10). Ali yang hobi menonton sepakbola menikmatinya di televisi milik sepupu. "Kalau mau nonton bola harus pergi ke rumah sepupu, kalau jadwal mainnya subuh biasanya sepupu saya memberitau kalau ada jadwal sepakbola subuh," sebutnya.(dma/crz)

Sumber: Tribun Manado 3 Oktober 2013 hal 1

Ketika Bung di Ende...

Sukmawati bersama Baim Wong dan Paramitha Rusadi di Ende
PUTRI proklamator RI Sukmawati Soekarno Putri berada di Ende, Flores, NTT, Jumat (11/10/2013) dalam rangka menyaksikan proses pengambilan gambar Film layar lebar "Ketika Bung di Ende" (KBdE).

Menurut Egy Massadiah, produser pelaksana film tersebut, kedatangan Sukmawati Soekarno merupakan bentuk dukungan konkret terhadap film ini.

Sukmawati tidak hanya menonton syuting, namun ikut memberi wejangan dan masukan masukan penting kepada Baim Wong yang berperan sebagai Bung Karno dan Paramitha Rusady yang memerankan Ibu Inggit.

Saat melakukan pengambilan gambar di Pasar Bonawangi, Ende, Sukmawati ikut mengecek posisi peci hitam yang dikenakan Baim Wong. "Bung Karno itu sangat perfect dan rapi dalam berpakaian termasuk posisi pecinya," kata Sukmawati.

"Mbak Sukmawati pun banya bercerita kepada pemain dan sutradara detail detail dari kehidupan Bung Karno," tambah Egy yang juga aktor Teater Mandiri.

Film KBdE ini mendapat dukungan penuh dari keluarga Bung Karno: Guruh Soekarno Putra, Sukmawati Soekarno dan juga Toto Suryawan Soekarno Putra (putra Bung Karno dengan Kartini Manoppo).

Film ini pun telah melalui tahapan riset sejarah dibawah koordinasi Prof Kacung Maridjan, Dirjen Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud dengan melibatkan antara lain, Peter Kasenda (Bidang sejarah perjuangan Kemerdekaan RI), Zen Tito Asmarahadi (cucu dari Bu Inggit/Yayasan Inggit Garnasih), Peter A Rohi ( Direktur Soekarno Institute, bidang sejarah pembuangan Soekarno di Ende dan Riwu Ga - ajudan Bung Karno sampai proklamasi), Roso Daras (penulis buku Total Soekarno bidang ideologi dan nasionalisme BK), Giat Wahyusi (Yayasan BK, bidang ideologi dan karakter kebangsaan), Agnes Sripoerbasari (Kajian Wanita dari Universitas Indonesia bidang Soekarno dan feminisme).

Film yang disutradarai Viva Westi ini berkisah tentang serpihan-serpihan peristiwa dari sebuah fase penting dalam sejarah panjang perjuangan Soekarno, founding father Indonesia. Ruang dan waktu pengisahan berlangsung sekitar 1934-1938 di Ende, Flores, NTT.

Empat tahun di pengasingan yang jauh dari habitus politiknya, membuat Soekarno mengalami keterasingan eksistensial paling parah di sepanjang hidupnya. Jauh sebelum kedatangan Soekarno, pemerintah kolonial Belanda telah melakukan propaganda bahwa laki-laki yang akan tiba dikampung Ambugaga, Ende, adalah seorang ekstrimis anti-kolonial yang sangat berbahaya. Kiprah dan sepak terjangnya dalam organisasi politik adalah ancaman laten.

Namun di tengah keterasingan secara sosial-politik, Soekarno bukannya menjadi tak berdaya, namun menemukan kekuatan baru dalam melawan kolonialisme dan imperialisme.

Di Ende-lah, dibawah pohon Sukun di pinggir pantai, Soekarno merumuskan jati diri bangsa Indonesia, yang kelak kemudian dikenal sebagai Pancasila --dasar Negara Republik Indonesia; di Ende pula, Soekarno melakukan perlawanan dengan membentuk kelompok tonil yang mementaskan kisah perjuangan dan ramalan kejayaan Indonesia, sebutlah karyanya yang berjudul "Doktor Setan" dan "1945". (*)

Sumber: Tribun Manado


Kepergian Maria Meninggalkan Duka untuk Olahraga

Maria de Villota (AP)
SETAHUN setelah hampir kehilangan hidupnya dalam kecelakaan balap mengerikan, mantan pebalap penguji Formula Satu, Maria de Villota (33), ditemukan tewas di sebuah kamar hotel di Seville, Spanyol, Jumat (11/10/2013) pagi. Hasil otopsi mendapati bahwa dia kemungkinan tewas karena cedera yang didapatkan dalam kecelakaan tahun lalu.

Isabel, adik dari De Villota, mengatakan, otopsi menunjukkan bahwa De Villota meninggal saat tidur, sekitar pukul 06.00 waktu setempat, karena kerusakan saraf akibat kecelakaan pada Juli 2012. Kecelakaan mengerikan tahun lalu telah menyebabkan De Villota kehilangan mata kanan, tetapi dia sudah terlihat pulih dengan indikator telah kembali mengemudi, menulis buku tentang kecelakaan tersebut, dan menikah.

Kepolisian Spanyol menyatakan, kematian De Villota karena "sebab-sebab alamiah" dan tak ada indikasi kekerasan. Informasi awal kematian De Villota diterima dari manajernya yang dihubungi staf Sevilla Congresor Hotel, tempat tubuhnya ditemukan.

De Villota mengalami kecelakaan fatal ketika melakukan pengujian untuk tim F1 Marussia di Inggris. Selain kehilangan mata, dia pun mengalami cedera serius di kepala dan menjalani perawatan intensif di rumah sakit selama satu bulan.

Merupakan warga asli Madrid, De Villota adalah putri dari Emilio de Villota, pebalap F1 pada era 1976-1982. Para ofisial F1 dan pebalap yang kini tengah berlaga di Grand Prix Jepang menyatakan keterkejutannya dengan kabar kematian De Villota.

Duka dari semua lapangan olahraga

"Saya sampaikan belasungkawa terdalam untuk keluarga De Villota," kata Presiden FIA Jean Todt. "Maria adalah pebalap yang fantastis, cahaya cemerlang bagi perempuan di motorsport, dan juru kampanye yang tak kenal lelah untuk keselamatan di jalan," kata dia. "Atas semua itu, dia adalah teman yang sangat saya kagumi."

Pemimpin tim McLaren Martin Whitmarsh yang juga Ketua Asosiasi Tim Formula Satu, Martin Whitmarsh, mengatakan, "Seluruh paddock sangat terkejut dengan berita bahwa Maria sudah tak lagi bersama kami." Menurut Whitmarsh, De Villota tidak hanya inspirasi bagi perempuan di olahraga ini, tetapi juga untuk semua orang yang pernah mengalami luka yang mengancam jiwa.

Monisha Kaltenhorn dari tim Sauber, perempuan pertama yang menjadi pebalap utama F1, mengatakan, "Jika ada yang mewakili kekuatan dan optimisme, itu adalah Maria. Kematian mendadaknya adalah kerugian besar bagi dunia motorsport."

Penanggung jawab pengembangan pebalap dari tim William, Susie Wolff, ingat bahwa De Villota memintanya untuk tetap melanjutkan program untuk pebalap perempuan, setelah kecelakaan yang menimpa De Villota. "Saya ingat dia katakan itu. Terserah bagaimana, tunjukkan bahwa pebalap perempuan di F1 adalah mungkin," kenang Wolff.

Menurut Wolff, De Villota tahu bahwa perempuan bisa bersaing di laga tersebut. Setelah kecelakaan merenggut peluangnya bersaing di arena F1, menurut Wolff, yang diinginkan De Villota adalah orang-orang tahu soal kemampuan perempuan di F1 dan mewujudkannya. "Dia memiliki semangat itu untuk hidup, kekuatan karakter, dan pandangan yang positif tentang kehidupan."

Marussia dalam pernyataan resmi menyatakan dukacita untuk De Villota. "Pikiran dan doa kami bersama keluarga Maria dan teman-temannya."

Petenis Spanyol, Fernando Alonso, mengatakan, "Ini berita yang sangat menyedihkan bagi motorsport. Maria dicintai semua orang. Sekarang, yang bisa kita lakukan adalah berdoa bagi dia dan keluarganya."

Selain menjadi pebalap penguji di Marussia, De Villota juga pernah mengikuti kejuaraan touring dunia pada 2006 dan 2007, serta Superleague seri ban terbuka. De Villota berada di Seville untuk kegiatan "What Really Matters", kegiatan inspiratif untuk orang-orang muda tentang nilai kemanusiaan universal. Menyusul kabar duka ini, konferensi tersebut dibatalkan.

De Villota adalah perempuan pertama Spanyol yang berkiprah di F1. Menteri Olahraga Jose Wert mengumumkan bahwa De Villota akan mendapat anugerah anumerta berupa Medali Emas Spanyol of Merit Sporting.

Ungkapan duka datang dari para olahragawan lain di seantoro Spanyol. Mereka, antara lain, gelandang Barcelona Andres Iniesta dan petenis nomor satu dunia Rafael Nadal. "Ini berita buruk bagi dunia olahraga pada umumnya dan olahraga Spanyol khususnya," kata Nadal.

Kecelakaan itu

De Villota mengalami kecelakaan tahun lalu, saat baru empat kali mengemudi mobil F1 dan yang pertama untuk Marussia. Dia menabrak truk dukungan dalam sesi garis lurus di dekat lapangan terbang di Inggris. Investigasi internal menyimpulkan tak ada masalah dengan mobil itu.

Memulai debut pada 2011, De Villota mengawali karier di F1 bersama Renault di Sirkuit Paul Ricard, Marseille, Perancis. Kematian De Villota terjadi pada saat dia terlihat telah melewati dampak kecelakaan.

Dalam sebuah wawancara, Februari 2013, De Villota mengatakan, dia telah kembali merasa "bebas" dan "menjadi dirinya sendiri" setelah bisa kembali mengemudi di jalan raya. Pada Mei 2013, dia kembali memasuki paddock untuk pertama kali setelah kecelakaan, di tengah GP Spanyol. Saat itu dia mengatakan kepada AP, ada campuran antara adrenalin dan sedih karena bisa berada lagi di dekat olahraga yang nyaris merenggut hidupnya.

Pada Juli 2013, De Villota menikah dengan Rodrigo Garcia. Kesehariannya diisi dengan kegiatan amal dan menjadi anggota komisi perempuan di FIA. Pada Senin (7/10/2013), dia memaparkan bukunya berjudul Life is A Gift, sebuah buku tentang kisahnya setelah mengalami kecelakaan di sirkuit itu.(*)

Sumber: Tribun Manado

Indah Kabar dari Rupa

Dua sejoli  Jonathan Stanly dan Bondas (foto Rizky@TM)
KITA memilih kalimat imperatif. Ayo selamatkan Bunaken dari citra buruk, dari kesan tidak mengenakkan hati para wisatawan baik dari dalam maupun dari luar negeri! Tidak perlu berbasa-basi atau berputar-putar lagi. Kita sedang menghadapi kenyataan konkret hari ini yaitu Taman Nasional Bunaken yang namanya mendunia tersebut  seperti kata pepatah, indah kabar dari rupa.

Di jagat maya atau melalui brosur, newsletter  dan pamflet, promosi nama Bunaken begitu indah memikat hati. Rindu menarik ingin. Orang dari berbagai belahan dunia mau datang ke Manado,  ke bumi Nyiur Melambai karena terhipnotis  pesona Bunaken, teristimewa alam bawah lautnya yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia. 

Tak dinyana orang-orang yang terbius pesona Bunaken, yang rela habiskan dolar atau rupiah hasil tabungan bertahun-tahun demi menikmati keindahan alam Sulawesi Utara malah mereguk tragedi indah kabar dari rupa.

Bayangkan perasaan dua sejoli dari London Jonathan Stanly dan istrinya Bondas. Pasangan muda yang mau berbulan madu sekaligus menikmati keindahan alam bawah laut Bunaken harus melewati kubangan lumpur dan bebatuan tajam ketika menuju  speed boat di Pelabuhan Calaca Manado, Rabu (9/10/2013). Mereka terpaksa menempuh cara itu lantaran tidak ada jembatan khusus dari dermaga menuju ke perahu yang akan membawa mereka ke Pulau Bunaken.

Pasangan muda itu perlahan menuruni jalan berbatu tajam. Sesampai di bibir pantai mereka melangkah ke perahu melewati kubangan berlumpur yang jaraknya kira- kira 2 meter. Tak ada cara lain, mereka melepas lalu memegang sandal masing- masing. Kubangan  yang mereka lewati berisi sampah rumah tangga berupa  mie yang sudah bengkak, pembungkus makanan, botol, gelas plastik, kertas, lumpur dan lain-lain. Baunya sungguh menusuk hidung. "It is dangerous," kata Bondas.

Memang berbahaya jika Anda ke Bunaken melalui Calaca atau kawasan Pasar Jengki. Dan, itu sudah berlangsung sangat lama. Sejak jembatan penghubung dermaga dengan perahu rusak dihantam ombak dan termakan usia uzur beberapa tahun silam, belum terlihat gelagat pemerintah daerah ini membangunnya kembali.

Ayo selamatkan Bunaken! Seruan ini akan terus kita gemagaungkan agar pemangku kepentingan di daerah ini jangan berpangku tangan dan memandang remeh temeh terhadap urusan sangat penting itu. Sejak puluhan tahun silam Sulawesi Utara menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan dan hasilnya sudah kita petik.

Ketika Bunaken membius jutaan orang dari berbagai benua, justru sepotong jembatan kecil  tak sanggup kita  bangun dalam tempo sesingkat-singkatnya dan membiarkan sampah busuk bertebaran. Seekor nyamuk di seberang lautan terlihat terang benderang, gajah di pelupuk mata tidak terjamah. Begitu banyak urusan publik di Sulut yang terabaikan dan kita anggap biasa-biasa saja. Kita tidak gelisah dan cemas. Mati rasa. Siapa mau tetap setia pada perkara-perkara kecil? Ayo selamatkan Bunaken segera mungkin! (*)

Sumber: Tribun Manado 11 Oktober 2013 hal 10

Jalan Berliku Yabes Roni Malaifani

Selebrasi  Yabes seusai mencetak gol ke gawang Filipina di GBK 10-10-2013
MIMPI  masyarakat di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), menyaksikan putra daerah membela tim nasional Indonesia akhirnya terwujud. Yabes Roni Malaifani tampil pertama kali membela Timnas Indonesia U-19 di pertandingan babak kualifikasi Grup G Piala Asia U-19.

Pelatih Timnas Indonesia U-19, Indra Sjafri, menurunkan pemain 18 tahun itu di pertandingan melawan Filipina U-19 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (10/10/2013) malam. Yabes masuk menggantikan Dinan Yahdian pada pertengahan babak kedua, dia membuktikan kelasnya sebagai pemain berpotensi.

Pada menit ke-82, Yabes mencetak gol setelah bekerja apik dengan Paulo Sitanggang. Gol itu menggandakan kedudukan Indonesia U-19 menjadi 2-0 dari Filipina U-19. Kemenangan pun diraih skuat Garuda Jaya, sekaligus membuka peluang Timnas Indonesia U-19 lolos ke putaran final Piala Asia U-19 di Myanmar pada 2014.

Perjalanan panjang harus ditempuh oleh Yabes demi mewujudkan mimpi membela Timnas Indonesia. Dia lahir di Moru, Pulau Alor, pada 6 Februari 1995. Ketika duduk di kelas 2 SD, ayahnya meninggal dunia. Praktis, Yabes kecil tinggal bersama seorang ibu dan adiknya. Dia sempat tidak diperbolehkan bermain bola dikarenakan mengurus adiknya yang berjarak umur 4 tahun dengan dirinya. Sementara ibunya menghidupi keluarga dengan menjadi buruh tani.

"Ayah meninggal sewaktu saya kelas 2 SD. Saya sempat tidak boleh main bola, karena diminta ibu menjaga adik. Kami cuma dua bersaudara. Adik saya namanya Erit, dia kini duduk di kelas 2 SMP," tutur Yabes kepada Tribun di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (11/10/2013).

Setelah memberi keyakinan kepada ibu, dia akhirnya diperbolehkan bermain bola. Yabes rela meninggalkan pelajaran di sekolah, demi belajar sepak bola.  Perjalanan jauh ditempuhnya untuk dapat mengolah si kulit bundar. Diperlukan waktu sekitar 2 jam dari tempat tinggalnya di Moru  menuju ke ibukota Pulau Alor di Kalabahi.

Pulau Alor memang tidak seperti daerah lainnya di Indonesia. Penduduk di pulau seluas 2.119 km persegi itu  hidup dalam keterbatasan. Yabes bercerita, selama bermain bola di kampung halaman, dia tidak berlatih di tempat sepakbola yang mempunyai fasilitas memadai.

"Di sana tidak ada Sekolah Sepak Bola (SSB). Latihan di klub yang terletak di ibukota Pulau Alor. Peralatan di sana terbatas, beda sama tempat latihan di sini. Kalau mau latihan sepak bola agak susah, tempat tinggal saya jauh dari ibukota. Harus dua kali naik kendaraan umum. Diperlukan waktu selama 1 jam. Kadang kalau mau main bola, saya harus bolos sekolah," katanya.

Takdir Tuhan mempertemukan Yabes dengan pelatih Timnas Indonesia U-19, Indra Sjafri. Pelatih 50 tahun asal Sumatera Barat itu berkesempatan melakukan pencarian pemain di daerah Kupang, Nusa Tenggara Timur pada bulan Juni 2013.

Selama empat hari Indra Sjafri ditemani Rudi Eka Priambodo, salah satu anggota tim High Performance Unite (HPU) menggelar sesi coaching course dan seleksi pemain.    Yabes berkeinginan mengikuti seleksi itu. Namun, kejadian kecelakaan pesawat MA 60 hingga terbelah dua di Bandara El Tari Kupang, NTT pada 10 Juni 2013 lalu menunda keinginannya.

Ketika itu, pesawat dari daerah Pulau Alor dan daerah lainnya tidak diperkenankan mendarat di bandara. Alhasil, Yabes pun terancam tidak dapat mengikuti seleksi.

Namun, nasib berkata lain. Pelatih Indra Sjafri menunggu kedatangan pemuda asal Alor itu di Kupang. Yabes pun mengikuti seleksi. Secara keseluruhan selama menggelar seleksi di Kupang, NTT, Indra Sjafri mendapatkan 5 orang. 4 orang asal Pulau Alor dan 1 orang asal Kupang. Mereka pun berhak mengikuti seleksi lanjutan di Yogyakarta.

"Ketika itu saya sempat khawatir tidak dapat mengikuti seleksi, namun pelatih Indra Sjafri memberikan kebijakan kepada saya untuk dapat ikut seleksi. Dia tidak jadi pulang ke Jakarta, tiket penerbangannya dipindah ke hari lain. Kami kemudian mengikuti TC di Yogyakarta, dari kelima teman saya, hanya saya yang bertahan sampai saat ini," tuturnya.

Timnas Indonesia U-19 menjalani pemusatan latihan nasional di Yogyakarta pada 23 Juni 2013. Pesepakbola terbaik dari seluruh penjuru tanah air berlatih di bawah arahan Indra Sjafri. Pemusatan latihan dimaksudkan sebagai persiapan berlaga di Piala AFF U-19 dan babak kualifikasi Piala Asia U-19.

Yabes harus beradaptasi dengan lingkungan baru berbeda seperti di Pulau Alor. Untuk pertama kalinya dia pergi merantau ke luar kota. Tempaan hidup yang berat sejak lahir membuat dia mampu bertahan. Melalui sepak bola dia ingin mengubah kehidupan keluarga. Di waktu senggang, dia menghubungi ibu dan adiknya untuk menanyakan kabar.

"Saya sering kangen sama rumah, kalau lagi kangen telepon orangtua. Uang saku timnas yang saya dapatkan, saya kirim ke orangtua. Uang itu untuk biaya sekolah adik dan saya yang masih duduk di kelas 3 SMA," ujarnya. 

Pelatih Indra Sjafri tidak menyertakan Yabes mengikuti Piala AFF U-19 di Jawa Timur pada September 2013. Namun, itu tidak menjadi masalah baginya. Dia terus berlatih meningkatkan kemampuan permainan.

Akhirnya, kesempatan itu datang di babak kualifikasi Grup G Piala Asia. Yabes memang tidak bermain di pertandingan perdana melawan Laos, dia baru dimainkan saat Indonesia bertemu Filipina.

"Ini pertama kali pemain asal Pulau Alor bermain di timnas. Di pertandingan pertama, saya mencetak gol lagi. Ke depan saya berjanji untuk bermain lebih baik," ucapnya.

Yabes berharap, melalui keberadaan dia di Timnas Indonesia U-19, masyarakat tidak lagi memandang sebelah mata orang dari Pulau Alor dan Nusa Tenggara Timur umumnya. Kemudian kepada pemerintah, dia meminta supaya memberikan perhatian lebih kepada pesepakbola di daerah yang mempunyai potensi wisata bahari. "Potensi sepakbola dapat dilihat di Pulau Alor, sayang tidak ada perhatian," tandasnya prihatin. (tribunnews.com/glery lazuardi)

Sumber: Tribun Manado


Suhaedi: Saya Harap Kita Bertemu Lagi

Suhaedi (kelima dari kiri) di TM 8-10-2013
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO-Peran media untuk menyebarluaskan informasi sangat penting apalagi dalam memberikan informasi kepada masyarakat.

Demikian dikatakan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sulawesi Utara (Sulut) Suhaedi saat berkunjung ke Kantor Redaksi Tribun Manado, Selasa (8/10/2013) malam,  bersama rombongan. "Peran media cukup penting untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat mengenai perekonomian," katanya.

Ia bangga karena selang beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Bumi Nyiur Melambai di atas 7 persen, rata-rata di atas nasional.  Namun sesungguhnya hal tersebut bisa lebih tinggi lagi, jika masyarakat memaksimalkan segala potensi yang ada. "Untuk itu kami di Bank Indonesia berusaha mendorong agar perekonomian di Sulut semakin baik, termasuk dibidang keuangan," tuturnya.

Untuk itu, masyarakat Sulut jangan berpuas terlebih dahulu, namun terus berusaha, karena ekonomi di provinsi Nyiut Melambai ini masih bisa ditingkatkan. "Sulut kaya akan sumber daya alam, oleh karena itu harus ditingkatkan dengan mengubah pola pikir masyarakatnya," tuturnya.

Kedatangan Suhaedi dan rombongan disambut oleh Pemimpin Redaksi Tribun Manado Ribut Rahardjo, Manager Produksi Dion DB Putra, Redaktur Ekonomi Bisnis Fernando Lumowa.
Ribut Rahadjo kemudian memuji peran BI Sulut dalam memberdayakan masyarakat akan perekonomiannya meningkat, mulai pemberdayaan penanaman stroberi, pisang Abaka sampai dengan pemberdayaan masyarakat melalui lembaga agama. "Dengan demikian untuk kemajuan masyarakat cukup dirasakan," katanya.

BI memberikan penerangan kepada masyarakat, bahwa masih ada harapan yang lebih baik lagi di masa depan. Untuk itu jangan merasa puas dulu. "Oleh karena itu, berusaha untuk menjadi lebih baik harus terus dilakukan," ujarnya.

Hal ini sejalan dengan Tribun Manado yang memberikan inspirasi dan membangun optimisme kepada masyarakat mengenai adanya harapan di masa depan. Dengan menyajikan berbagai berita yang bisa memberikan inspirasi kepada masyarakat. Sehingga mereka mau berusaha.

Pertemuan tersebut sekaligus pamitan karena Suhaedi per 10 Oktober akan bertugas sebagai Kepala BI Wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua yang kantor pusatnya di Makassar. "Saya harap kita akan bertemu kembali entah itu di Manado, Makassar maupun di tempat lain," ungkapnya. (erv)

Sumber: Tribun Manado 9 Oktober 2013 hal 4

130 Ribu KK di Sulut Masih Pakai Lampu Botol

TAHUN 2014 Provinsi Sulawesi Utara (Sulut)  menapaki tahun emas atau usia ke-50.  Menjelang usia setengah abad itu, ternyata belum semua warga Bumi Nyiur Melambai menikmati layanan dasar listrik dari negara.

Menurut data Dinas Pertambangan Energi dan Sumber Daya Mineral  Sulut, sebanyak 130.584 keluarga di Sulut belum menikmati layanan listrik. Mereka bisa dilukiskan masih menikmati kegelapan.

Tercatat dari. 587.655 kepala keluarga (KK), baru 447.660 KK yang mendapat pelayanam Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sementara 9.141 keluarga menikmati listrik dari non layanan PLN. Jika dipresentasikan atau disebut ratio elektirifikasi baru 76.43 persen masyarakat Sulut yang menikmati listrik.

Bahkan di  Manado sebagai ibu kota Provinsi Sulut, dari 108.648 KK, ratio elektrifikasi baru 89,07 persen. Sedangkan sisanya 11,875 keluarga belum menikmati  listrik. "Rasio eletrifikasi itu sekitar 76,48 persen dengan demikian ada 23 persen keluarga yang belum memikiki listrik di rumah," kata Kepala Dinas Pertambangan Energi dan Sumber Daya Mineral Sulut Boy Tamon, Jumat (27/9/2013) .

Mengapa masih banyak warga Sulut belum nikmati listrik? Tamon menyebut dua alasan. Pertama, jaringan listrik belum masuk ke wilayah tempat tinggal. Biasanya kata Tamon, jaringan listrik belum ke pulau-pulau dan pesisir laut.  Kedua,  ada warga yang tidak mampu mengakses layanan PLN karena kesulitan uang.

Setali tiga uang disampaikan Humas PT PLN (Persero) Wilayah Suluttenggo Lefrand Maleke.  Dikatakannya, ratio elektifikasi Sulut baru 76 persen, sekitar 23 persen lebih belum menikmati listrik.  Kata dia, PLN punya  keterbatasan dana, apalagi investasi listrik tidak kecil "Kendalanya? Dana dong, ambil di mana.  Apalagi lokasi jauh dari jaringan, berarti harus siapkan pembangkit," katanya.

Warga Sulut di daerah kepulauan seperti di Kabupaten Sangihe paling menderita.  "Masih banyak pulau-pulau yang belum tersentuh, walaupun ada penghuninya.  Di Lembeh (Kota Bitung), itu ada satu desa yang belum tersentuh listrik, namanya Desa Pintu Kota," kata Maleke.

Untuk memasukkan listrik ke sebuah desa, lanjut Maleke, PLN perlu mengeluarkan biaya pembebasan lahan dan bangun jaringan. "Tidak gampang semua itu, enak kalau duit ada," ujarnya. Menurut dia, cara cepat untuk menyuplai listrik ke kepulauan adalah bangun Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) "Beli mesin pasang. Investasi listrik mahal, kalau PLTD yang mahal bahan bakarnya. Di kepulauan saat ini banyak digunakan PLTD," katanya.

Kapan semua masyarakat Sulut bisa menikmati listrik? "Itu program pemerintah, bukan PLN. PLN hanya melaksanakan apa yang jadi program pemerintah. Kita saja 68 tahun berdiri baru 76 persen. Sisanya 23 persen ini kapan, relatif tergantung situasi. PLN masih mau berusaha supaya semua bisa menikmati listrik, tapi secara bertahap," sebutnya. Maleke mengakui, di Sulut punya sumber energi terbarukan seperti air, tenaga surya dan panas bumi. "Pengembangan sudah kami lakukan, Bunaken, Miangas itu pakai tenaga surya. Tapi kan bertahap," jelasnya. (ryo)

Sumber: Tribun Manado 2 Oktober 2013 hal 1

Sariah Bermimpi Dapat Listrik

TUTUYAN, TRIBUN -  Di tengah layanan PT PLN (Persero) yang belum memadai seperti masih kerap terjadi pemadaman bergilir serta gangguan lainnya, jutaan warga Sulawesi Utara (Sulut) kiranya masih boleh bersyukur.

Betapa tidak, di bumi Nyiur Melambai yang subur dan indah   ini tercatat 130.584 kepala keluarga (KK) yang sama sekali belum menikmati layanan listrik dari PLN atau non PLN. Mereka masih andalkan lampu botol. Dari jumlah ratusan ribu warga Sulut yang belum menikmati listrik itu sebagian kecil bahkan ada di Manado, ibu kota Provinsi Sulut yang jadi barometer keberhasilan pembangunan daerah ini.

Bertahun-tahun hidup dengan lampu botol berbahan bakar minyak tanah dirasakan keluarga Sariah Abram (52), warga   Warga Tombolikat Selatan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur  (Boltim). "Saya selalu sediakan lampu botol empat buah pada malam hari. Diletakkan di dua  kamar, lainnya di dapur dan ruang tamu," kata Sariah kepada Tribun Manado di desa itu, Senin (30/9/2013).

 Setiap malam aktivitas Sariah hanya ditemani oleh remang-remang cahaya lampu botol. "Kalau sudah malam hanya duduk di rumah menunggu ngantuk lalu tidur," kata Sariah.  Kini dia tinggal sendiri di rumah itu. Suaminya sudah meninggal dunia delapan tahun lalu.

Sariah mengaku di lubuk hatinya ingin  juga  menikmati hiburan seperti menonton televisi dan setrika baju.  "Baju saya tidak pernah disetrika. Malam jam delapan 8 sudah harus tidur, harus hemat minyak tanah. Saya bermimpi ada aliran listrik di rumah saya, tapi tidak mungkin, saya tidak mampu membayar," jelasnya.

Warga Jikobelanga, Seprianus Metuak agak lebih baik nasibnya. Dia mengatakan daerah tempat tinggalnya berada di daerah terpencil sehingga tidak terjangkau aliran listrik PLN. "Kami gunakan mesin genset di rumah masing-masing. Hanya digunakan saat malam hari saja," kata Metuak.

Belum semua warga Boltim menikmati listrik secara penuh.  Ranti Mokodompit (33),  menuturkan untuk menerangi rumah yang ditinggal bersama suami dan 3 anaknya, dia menyambung listrik dari rumah tetangga. "Di rumah saya hanya 20 watt. Pembayaran dihitung watt. Jadi saya bayar Rp 20 ribu per bulan," ujar Ranti ditemuai di rumahnya, Senin (30/9). Ranti menuturkan biaya tersebut tidak termasuk pemakaian untuk televisi atau setrika pakaian. "Kalau ketahuan setrika dimarahi. Jadi pakaian kami tidak pernah disetrika. Kalau mau nonton TV di rumah saudara, ke tetangga malu. Masak pakai kayu bakar," jelas Ranti.

Ranti mengaku pekerjaan suaminya sebagai buruh serabutan tak mampu memasang sendiri meteran listrik.  "Tidak mampu, menjadi pelanggan terlalu mahal," tuturnya.
Dikonfirmasi terpisah, Bupati Boltim Sehan Landjar mengatakan di Boltim tersisa satu desa yang belum teraliri listrik yakni Desa Jiko Belanga Kecamatan Nuangan. Namun pemerintah sudah membantu listrik tenaga surya kepada 60 KK dengan kapasitas 50 watt. "Namun saya lihat tenaga surya tidak efektif,"  tuturnya.

 Sehan berharap tahun depan, PLN sudah memenuhi kebutuhan listrik warga Jiko Belanga.

Di Kabupaten Minahasa Selatan, masyarakat yang belum menikmati listrik antara lain  di Motoling Barat tepatnya di dusun jauh Pelita desa Tondey dengan populasi 50-an KK. "Sudah sekitar 38 tahun kami tinggal di dusun jauh ini, selama itu pula tidak ada listrik hingga sekarang," jelas Hertje Paat, warga setempat. Pada malam hari lampu botol berbahan bakar minyak tanah jadi andalan mereka. "Ya kalau ada minyak tanah, pasang lampu botol, tapi kalau tidak, ya terpaksa gelap," kata Paat..

Diakuinya, ada warga Pelita  yang menggunakan genset untuk menerangi rumah mereka, apalagi jika ada acara-acara khusus seperti pernikahan dan lainnya. Ia berharap secepatnya listrik bisa masuk di daerah mereka tersebut."Kami maunya begitu, soalnya sudah lelah membeli minyak tanah yang harganya mencapai Rp 15 ribu satu liter," jelasnya.

Jarak dari dusun Pelita dengan desa induk Tondey memang lumayan jauh sekitar 6 kilometer."Kalau sambung paling dekat katanya dari Toyopon," jelas Paat. Untuk komunikasi telepon seluluer dengan orang-orang di luar dusun sebenarnya tak ada halangan, sebab signal seluler sangat bagus di kampung itu."Cuma untuk cas hape (handphone),  kami minta tolong ke tetangga yang punya genset," ujarnya.

Sementara untuk hiburan  dengan menonton televisi, kata Paat,  sangat jarang. "Kalau mau setrika pakaian, ya kami harus ke Motoling, juga untuk nonton  TV," tambahnya. (adl/amg)

Sumber: Tribun Manado 2 Oktober 2013 hal 1


Ella: Facebook Itu Apa?

NEGARA Indonesia sudah lama merdeka. Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) juga sudah maju pesat tapi percaya atau tidak, masih ada daerah tertinggal di provinsi ini yang letaknya tak jauh dari ibu kota provinsi.

Itulah Perkampungan Sangkilang di Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Kampung yang masih belum jelas status tanahnya ini -masuk Desa Serei, Likupang Barat atau berdiri sendiri- memang tak jauh jaraknya dari Manado. Bisa ditempuh lewat jalan darat kurang dari 2 jam jika menggunakan mobil atau sepeda motor.

Masuk dan keliling kampung ini  sebaiknya menggunakan sepeda motor atau mobil jip mengingat jalan masuk dari Likupang-Serei kondisinya rusak parah. Jalan roda sapi begitu warga setempat menyebut jalannya saking tak diperhatikan. Air bersih pun tersedia dalam jumlah terbatas. Air bukan mengalir ke rumah-rumah melainkan ditimba dari bak penampungan dan digotong ke rumah masing-masing.

Sinyal telepon memang sudah ada walaupun 'ngadat' tapi bukan berarti masyarakat Sangkilang sudah merdeka. Listrik pun sudah masuk sejak November 2012 namun masih ada 25 persen rumah warga yang belum merasakan manfaat listrik. "Listrik sudah masuk akhir tahun lalu tapi belum semua rumah di sini menggunakan listrik," ungkap Polikarpus Natari,  Kepala Lingkungan Lima Desa Serei, Perkampungan Sangkilang, Kecamatan Likupang Barat  di rumahnya, Selasa (1/10/2013).

Diakuinya, kendala masyarakat adalah biaya pasang meteran yang mahal.  "Dimintai Rp 1,5 juta per rumah. Warga merasa keberatan dan pilih tetap pakai lampu botol atau lilin. Padahal,  katanya pasang gratis. Simpang-siur informasi soal pemasangan listrik sampai sekarang. Tapi kami sudah terbiasa kalau dipermainkan begini," kata Polikarpus.

Dari 100 KK di kampung itu ada 20-an KK yang belum menggunakan listrik. Warga perkampungan transmigran yang didominasi bangunan rumah nonpermanen ini  sudah terbiasa hidup tanpa listrik sejak tahun 2002, ketika areal seluas 12 hektar ini mulai dihuni. "Akhir November 2012 baru terasa merdeka. Tapi belum benar-benar merdeka karena jalan ke kampung kami..yahhh..lihat saja..sepertinya sangat tidak layak bagi kemanusiaan," ungkapnya.

Pria yang tinggal di Sangkilang sejak kawasan perumahan transmigran untuk warga Ternate ini dibuka, mengaku kesal tapi tak berdaya. Sudah berkali-kali mengeluhkan ke pemerintah setempat namun belum ada respon. "Listrik sudah masuk tapi jalan makin hancur. Entahlah..status tanah juga tidak jelas.. Kami bertahan di sini hanya demi anak-anak kami dan karena istri saya guru di SD sini jadi inilah pengabdian," katanya.

Keluh kesah tinggal di desa yang menurut sejumlah warganya masih seperti terisolasi ini, bukan hanya dirasakan orang dewasa. Anak-anak kecil di Kampung Sangkilang ini pun merasakannya.

Dialah Marsela Takarodakeng,  murid kelas 1 SD Sangkilang. Gadis cilik yang biasa disapa Ella ini belum memiliki listrik di rumahnya. Orangtuanya memilih tidak mengandeng listrik karena biasa pasang dan biaya perbulannya mahal. Hal ini membuat Ella dan kakaknya Lorina Takarodakeng, murid kelas 3 SD biasa menonton TV dari rumah tetangga. "Suka bauni (nonton) televisi tapi cuma manumpang di rumah teman..di atas situ rumahnya," kata Ella sambil menunjuk rumah yang ada di  perbukitan.

Kampung Sangkilang berada di daerah berbukit terjal. Tidak heran tiang listrik pun belum sampai ke daerah yang tinggi yaitu di kawasan SD Sangkilang sehingga warga menggunakan tiang dari bambu sebagai penyanggah kabel. "Saya ingin punya televisi sendiri supaya nda (tidak) perlu manumpang bauni (numpang nonton) ke rumah teman. Soalnya tiap hari pigi (pergi) bauni (nonton). Kita suka bauni Doraemon, Tom and Jerry," ucap Ella lalu tersenyum kepada kakak dan seorang temannya Rini Kapuko, murid kelas 1 SD.

Rini  bercerita tentang masa-masa mereka tanpa listrik. "Torang (kami) biasa bermain popi (boneka) dari kertas atau pak-pak sembunyi (permainan tradisonal). Itu permainan torang (kami)," kata Rini. Ella, Lorina dan Rini hanyalah sebagian kecil dari puluhan anak seumur mereka yang merasakan sulitnya hidup di daerah terpencil. Mereka bahkan tidak tahu apa itu radio, koran apalagi internet.

"Kalau HP tahu. Mama punya tapi kalau Facebook itu apa?" kata Ella ketika Tribun Manado berbincang dengannya. Sinyal telepon memang sudah ada, tapi daereh ini perlu banyak bantuan tenaga pendidik yang profesional atau dengan skill khusus termasuk menghadirkan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN). Bantuan tenaga dokter, bidan pun tak kunjung ada karena bangunan puskesmas pembantu di samping SD Sangkilang sudah reot tak terawat. Hal itu sesuai pantauan Tribun Manado di lokasi, Selasa (1/10). (dit/crz)
 

Sumber: Tribun Manado 2 Oktober 2013 hal 1

Penasaran Gara-gara Main Bola

Oleh Dion DB Putra

Bola sepak berwarna putih dekil itu melayang tinggi melewati pagar sebuah rumah besar lalu mendarat entah di mana. Tidak kelihatan lagi. Mereka berlima, (para bocah) pemain bola jalanan, berderet di depan pintu gerbang sebuah rumah besar yang tampak sepi. Kelimanya memegang pagar dengan dua tangan dan melayangkan pandang ke segala penjuru. Untuk sesaat mereka terpesona dan melupakan bola sepak tadi.

Begitulah novelis terkemuka Indonesia kelahiran Bogor, V Lestari memulai ceritanya yang bikin penasaran dalam novel Warisan Masa Silam. Bagi Anda penggemar cerita detektif-kriminal tentu tidak asing lagi dengan gaya bertutur V Lestari yang memang sejak tahun 1980-an memfokuskan karyanya pada jalur ini. Dia bisa dilukiskan sebagai Sidney Sheldon-nya Indonesia. 

V Letari  sangat detil dan teliti dalam meramu ceritanya.Warisan Masa Silam bermula dari aktivitas bocah pemain bola jalanan. Saat mencari  bola sepak yang jatuh di halaman rumah kuno dan besar, si bocah laki-laki bernama Kiki menemukan pintu ruang bawah tanah.

Ia  penasaran lalu  turun ke ruang bawah tanah tersebut.  Di sana Kiki menemukan peti antik dengan isi yang membuatnya terkejut dan ketakutan. Ada tengkorak dan tulang-belulang manusiadi peti tersebut!

Dengan gaya bercerita yang mengalir, V Lestari kemudian menguak misteri peti antik tersebut.  Isi peti tersebut ternyata warisan masa lalu yang mengerikan dari nenek moyang David, si pemilik rumah kuno tersebut.

Lebih serunya lagi  David harus mewarisi bukti kejahatan dari generasi pendahulunya. Bumbu horor pun terus merebak dalam petualangan bocah Kiki selanjutnya. Ada kisah mistis. Hadir pula sosok hantu. Sungguh sebuah cerita fiksi yang menantang sekaligus merangsang pembaca terus mengecapi cerita dari halaman  pertama hingga akhir.

Seperti dalam beberapa karya lain sebelumnya, V Lestari pun mewarnai jalan cerita Warisan Masa Silam dengan unsur cinta. Cinta segitiga antara tokoh Kiki, Nana dan  Imelda. Imelda  adalah kakak Lala yang tinggal di Belanda dan setahun sekali mengunjungi orangtuanya yang merupakan pemilik rumah kuno tersebut. Tokoh Imelda menjadi salah di antara bumbu penyedap jalan  cerita.

 Kehadiran Imelda yang cantik itu membuat  kisah cinta novel ini lebih seru dan menjadikan  detik-detik akhir  pengungkapan atas warisan jahat masa lalu amat menarik. Misalnya, saat  Kiki dan Nana malu-malu kucing berpegangan tangan, Kiki  berpaling pada Imelda serta ungkapan perasaan cinta mereka  via telepon dan pesan singkat (SMS).

Lalu apa pesan yang bisa kita petik  dari novel yang lumayan tebal ini? Satu di antaranya adalah tentang kejahatan dan kebaikan. Sebuah tindak kejahatan itu meskipun  Anda bungkus seindah dan secantik  mungkin akan terungkap juga suatu ketika. Demikian halnya dengan kebaikan akan menghasilkan buah-buah kebajikan dan kebahagiaan bagi mereka yang menjalaninya.

V Lestari melalui nama para tokoh yang sangat Indonesia seperti Ani, Fani, Budiman, Imelda,  Sukri   pun bercerita tentang cinta dan keluarga. Juga kerinduan akan keluarga yang harmonis, keluarga yang  kuat ikatan cinta kasihnya. Melalui kemasan bahasa yang encer, siapa pun mudah mencernanya dengan baik. (*)

Data Buku
Judul          :  Warisan Masa Silam
Penulis      :  V Lestari
Editor             :  Eka Pudjawati
Jenis               :  Fiksi (Novel)
Penerbit      :  PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit  :  Januari 2013
Halaman      :  666


Sumber: Tribun Manado cetak 6 Oktober 2013

Taklukkan Keterbatasan

"Orang kerap bertanya bagaimana aku bisa sebahagia itu walaupun tidak punya lengan dan tungkai. Jawaban cepatku adalah aku punya pilihan. Aku bisa merasa marah karena tidak punya tungkai atau aku bisa bersyukur karena punya tujuan. Aku memilih sikap bersyukur. Kau juga bisa melakukannya,"
Nick Vujicic
Oleh Dion DB Putra

NAMAKU
Nick Vujicic (dibaca Voy-a-chich). Umurku 27 tahun. Aku terlahir tanpa lengan dan tungkai, tetapi aku tak terbatas dengan keterbatasanku itu. Aku berkeliling dunia untuk memberikan semangat kepada jutaan orang supaya mereka menaklukkan penderitaan dengan keyakinan, harapan dan keberanian sehingga mereka dapat mengejar impian-impian mereka.

Begitulah Nick Vujicic mengawali alinea pembuka bukunya Life Without Limits yang inspiratif itu. Nick seolah mengingatkan bahwa lahir dengan kondisi fisik tidak normal atau cacat fisik bukanlah kutukan. Justru kecacatan fisik itu meyakinkan Nick untuk menjalani hidup seolah tanpa mengenal batas. Dan, Nick sudah membuktikan bahwa dia berhasil menaklukkan dunia.

Dalam buku setebal 259 halaman ini Nick membagi pengalamannya dalam menghadapi penderitaan dan berbagai rintangan. Nick menceritakan tentang cacat fisik dan pertempuran emosi yang dialaminya saat berusaha mengatasi keadaannya semasa kecil, remaja dan menjelang dewasa.

Bagaimana tanpa lengan dan tungkai dia tidak canggung sedikit pun belajar di sekolah umum untuk anak-anak normal, Nick belajar dan akhirnya bisa berenang lincah di kolam bahkan bisa bermain selancar menaklukkan deburan gelombang laut. Hal-hal yang dianggap tidak mungkin menjadi mungkin berkat keyakinan dan keteguhan hati Nick. Nick menikmati kebahagian hidup tiada tara.

"Orang kerap bertanya bagaimana aku bisa sebahagia itu walaupun tidak punya lengan dan tungkai. Jawaban cepatku adalah aku punya pilihan. Aku bisa merasa marah karena tidak punya tungkai atau aku bisa bersyukur karena punya tujuan. Aku memilih sikap bersyukur. Kau juga bisa melakukannya," tulis Nick.

Menurut Nick, setiap orang pastilah selalu berkutat dengan cobaan sendiri dan merasa kecewa dengan ketidakmampuannya sebagai manusia. Nick memberikan tips sederhana bahwa kuncinya adalah rasa syukur dan menerima diri sendiri sendiri apa adanya.

"Aku menemukan kebahagian ketika aku menyadari bahwa aku memang manusia yang tidak sempurna, tetapi aku adalah Nick Vujicic yang sempurna. Aku ini ciptaan Tuhan yang dibentuk seturut rencanaNya atas diriku. Namun, bukan berarti aku tidak bisa berkembang. Aku selalu mencoba menjadi lebih baik sehingga aku bisa melayani Tuhan dan dunia dengan lebih baik," kata Nick yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi keluarga Kristen yang taat di Australia.

Buku ini sangat dianjurkan untuk dibaca oleh setiap orang, siapa dan apapun latar belakang kehidupan Anda. Membaca Life Without Limits niscaya kita akan menemukan oase di tengah gurun kehidupan modern yang kerap terjebak konsumerisme, persaingan tidak sehat serta terjangan onak dan duri  lainnya.

Melalui gaya tuturnya  yang mengalir indah bak prosa, Nick Vujicic dalam buku ini sungguh menebarkan kedamaian dan harapan. Buku yang layak Anda baca kapan saja terutama ketika mengalami masalah baik di tempat kerja, dalam keluarga atau sedang putus asa karena dikhianati kekasih, sahabat atau saudara sendiri.

Nick berkali-kali berkata dengan cara yang sangat memukau bahwa hidup adalah anugerah terindah dari Tuhan. Jadi kita jangan pernah menghancurkan karunia terindah itu dengan melakukan hal-hal yang merusak diri sendiri serta orang lain.

Selain rasa syukur, Nick Vujicic menebarkan harapan. Berikut kutipan kalimatnya yang aman berkesan di halaman 42 buku tersebut. "Harapan, selain keyakinan dan cinta adalah salah satu pilar spiritualitas. Apapun keyakinanmu jangan sampai kehilangan harapan karena segala hal baik dalam kehidupan berawal dari hal itu. Jika kau tidak memiliki harapan, akankah kau berencana membina sebuah keluarga? Tanpa harapan, mungkinkah kau bisa mempelajari sesuatu yang baru? Harapan adalah tumpuan untuk hampir setiap langkah yang kita ambil dan harapanku dalam menulis buku ini adalah kau akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang tanpa batas." 

Dunia patut  berterima kasih kepada seorang Nick Vujicic yang lahir tanpa lengan dan tungkai. Nick adalah sumber inspirasi tiada akhir, dia memberi teladan bagi siapa pun yang mencari kebahagian abadi. (*)

Data Buku
 

Judul        :  Life Without Limits
Penulis    :  Nick Vujicic
Penerbit    :  PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit  :  Cetakan X, April 2013
Halaman    : 259

Sumber: Tribun Manado edisi Minggu 29 September 2013 hal 12
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes