Memberi Rasa Nyaman Kepada yang Susah

ilustrasi
Oleh Dr. Pdt. Ebenhaizer Nuban Timo
Mantan Wartawan SKH Pos Kupang
Latar Belakang
Harian umum daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang bernama POS KUPANG merayakan ulang tahunnya yang ke-22 pada 1 Desember 2014. Sebagai ungkapan cinta kasih dan hormat kepada kiprah POS KUPANG, termasuk semua krunya, saya membuat tulisan ini. Saya mau mulai dengan merenungkan hakikat ulang tahun. Umumnya orang memahami ulang tahun sebagai moment untuk mengingat awal keberadaannya supaya menjalani masa kini secara bermakna sesuai dengan tekad masa depan yang dicanangkan pada masa awal keberadaannya.

Ada sekurang-kurangnya 3 kata dalam bahasa Inggris yang erat berkaitan dengan arti ulang tahun yang baru saja kita definisikan. Kata pertama: remember. Ia terdiri dari dua patah kata: re yang artinya adalah kembali dan member yang adalah anggota. Jadi secara harafiah remember  artinya kembali menjadi anggota, balik kepada komunitas mula-mula, persekutuan azali. Kata kedua: commemoration. Kata ini juga merupakan konjungasi dari co yang artinya bersama dan memory yang adalah ingatan atau kenangan. Jadi commemoration dapat kita artikan kumpul ingatan-ingatan yang ada. Kata ketiga: recollection artinya kembali ke dalam kumpulan.

Jiwa dari ketiga kata yang berhubungan dengan gagasan mengingat seperti yang kita gali dari pemahaman orang Inggris adalah kembali menjadi anggota keluarga atau persekutuan dari mana kita berasal, atau kumpul-kumpul untuk ingat kembali (memorize) cita-cita yang telah ditetapkan pada awal titik berangkat keberadaan kita.  Dalam semangat pemaknaan seperti inilah saya menulis untuk POS KUPANG menyambut ulang tahunnya yang ke-22.

Awal Mula POS KUPANG
Salah satu aktivitas penting pada hari ulang tahun adalah mengingat. Baiklah saya menceritakan kembali apa yang saya ingat tentang POS Kupang di awal kiprahnya di Kupang, Kota Kasih. Ketua Sinode GMIT waktu itu, Almarhum Dr. Benyamin Fobia bertemu saya di ruang redaksi majalah Berita GMIT. "Eben. Sebentar sore pergi ke toko Silvia untuk ikut pelatihan menjadi wartawan." Tanggal persisnya percakapan itu saya tidak ingat lagi. Tapi itu terjadi sekitar tanggal 25 atau 26 November 1992.

Tanpa banyak bertanya karena itu memang berhubungan dengan tugas saya sebagai redaktur pelaksana majalah Berita GMIT, sore harinya saya pergi ke Toko Silvia di bilangan Tingkat Satu. Dengan mengendarai sepeda motor Honda GL milik ayah, saya menerobos hujan gerimis di Kupang sore itu. Ternyata di sana sudah ada sekitar 20-an orang muda. Orang-orang yang saya kenal adalah Paulus Bolla, Mesakh Dethan dan Yulius Lopo.

Kami dikumpul dalam satu ruang sempit, kira-kira 6 x 7 meter lalu mulai dikasih pengarahan tentang bagaimana manulis straight news. Pembicara waktu itu adalah Julius Siranamual. Juga ada seorang lagi yang menyapa saya dalam bahasa Timor dialek Amarasi. Belakangan saya tahu nama senior itu adalah Hans Itta. Dia juga salah seorang pendamping kami dalam kursus kilat malam itu.

Di penghujung materi yang diberikan oleh Julius Siranamual yang berambut gondrong itu, kepada kami dibagikan potongan berita dari Koran berbahasa Inggris. Tugas kami adalah menerjemahkan berita itu dalam bahasa Indonesia. Setelah bekerja kira-kira 25 menit, hasil terjemahan itu dikumpulkan. Lalu kami diminta bertemu khusus dengan bapak Julius Siranamual secara berkelompok. Saya bergabung dengan Paul Bolla, Mesakh Dethan dan Yulius Lopo sebagai satu kelompok.

Barulah dalam percakapan dengan bapak Julius Siranamual saya tahu bahwa dalam waktu dekat akan mulai terbit harian daerah POS KUPANG. Rupanya pak Julius Siranamual mengkontak Pdt. Dr. Benyamin Fobia untuk mengirim beberapa pendeta muda dalam proses rekrutmen sebagai wartawan untuk POS KUPANG, katanya supaya ada keseimbangan komposisi pemberitaan antara dua denominasi Kristen terbesar di NTT. Pak Julius Siranamual juga menjelaskan kepada kami apa tugas pers. Kalau saya tidak salah ingat, beliau katakan: "Kami akan direkrut menjadi wartawan untuk mengerjakan tugas pers, yakni menjalankan fungsi edukasi, melakukan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat dan memperluas komunikasi dan partisipasi masyarakat."

Giliran kami sudah selesai. Kami keluar untuk makan nasi bungkus. Kelompok lain menggantikan kami bertemu bapak Julius Siranamual. Selanjutnya kami masuk lagi ke ruangan kursus kilat untuk mendengar arahan tentang apa yang harus kami buat besok. Saya tidak ingat persis siapa pemandu acara, tetapi kami ditugaskan untuk besok meliputi berita di lapangan. Saya dapat tugas meliput arus keluar masuk bus antar kota di Terminal Oebobo, terutama pelayanan publik di situ.

Singkat cerita, tiga hari berturut-turut kami menjalani training. Kalau memori saya masih belum terganggu, hasil belajar kami itu kemudian diterbitkan dalam edisi ujicoba, tentu saja dengan editing ketat dari pemimpin unit.

POS KUPANG Membuat Tikus Tidak Bebas Menari

Terbitnya POS KUPANG segera mengubah pola komunikasi masyarakat Kupang pada waktu itu, mengingat POS KUPANG memang adalah harian umum pertama di Kupang. Sebelum POS KUPANG, pernah ada KUPANG POS. Saya lupa kapan persisnya. Sepertinya waktu saya masih di bangku SMA. Entah apa sebabnya KUPANG POS mati dan untuk waktu yang lama (sekitar 5-6 tahun) tidak ada harian umum pengganti. Karena itu terbitnya POS KUPANG benar-benar memberikan angin segar. Peristiwa-peristiwa sosial dan pemerintahan, politik dan religius di Kupang dan NTT umumnya yang selama ini saya disampaikan dari mulut ke mulut, lebih mirip desas-desus sehingga batas antara kebenaran dan gossip murahan sangat tipis segera mendapat bobot sebagai berita berimbang, karena ada komentar dari pihak-pihak terkait.

POS KUPANG ternyata tidak hanya menyajikan berita berimbang melalui satu proses cek dan recek. Ia juga melakukan kontrol sosial atau menjadi pengawal demokrasi. Peran ini, seperti yang saya sebutkan tadi ibarat menjadi kucing yang membuat tikus tidak lagi bebas menari di atas makanan milik bersama. Saya punya beberapa pengalaman untuk hal ini yang berkaitan langsung dengan POS KUPANG  di masa awalnya. Demi kenyamanan bersama baiklah saya tidak menyebut contoh itu, tetapi contoh yang lebih umum, seperti pencabutan SIUPP harian Sinar Harapan oleh pemerintah orde baru tanggal 8 Oktober 1986 karena sebuah pemberitaan yang menggangu kenyamanan Orde Baru.

Berita-berita yang disampaikan pers kapada masyarakat, investigasi yang dilakukan wartawan terhadap sebuah kasus sosial, politik, pendidikan, dll, dengan tujuan utamanya adalah melakukan edukasi, melaksanakan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat dan memperluas komunikasi dan partisipasi masyarakat ternyata bermakna ganda.

Tony Kleden, wartawan POS KUPANG merumuskan manfaat ganda itu dengan mengutip Finley Peter Dunne, penulis Amerika abad ke-19, seperti yang kami jadikan sebagai sub judul tulisan ini: "Pers memberi rasa nyaman kepada orang yang kesusahan dan menyusahkan orang yang hidupnya nyaman."

Tugas ganda tadi ternyata juga diemban oleh POS KUPANG. Dalam arti ini POS KUPANG khususnya menjalankan pekerjaan keselamatan. POS KUPANG memang bukan juruselamat dunia, tetapi dia menjalankan tugas-tugas tertentu dari Sang Juruselamat. Para wartawan memang bukan pendeta atau imam, tetapi mereka menjalankan tugas-tugas keimamatan itu di bidang jurnalistik. Kalau menggunakan analogi yang dibuat Marthen Luther, wartawan adalah imam-imam tanpa jubah keimamatan. Nurani keimamatan mereka tidak dinampakan pada jubah, melainkan pada pensil yang mereka pakai.

Kalimat-kalimat terakhir ini saya mau garisbawahi secara khusus dengan dua maksud. Pertama, sebagai bentuk apresiasi saya kepada pers dan para wartawan, secara khusus keluarga besar POS KUPANG. Ada banyak surat kabar harian di Kupang. Tetapi tidak banyak yang menyampaikan informasi dan kontrol bertolak dari nurani keimamatan. Yang saya maksudkan dengan nurani keimamatan adalah yang menyampaikan informasi secara konstruktif, berimbang dan santun. POS KUPANG termasuk pada yang tidak banyak itu.

Kedua, pers yang memiliki nurani keimamatan bukan pertama-tama diukur dari besarnya kuota pemberitaan aktivitas religius, apalagi jika isi pemberitaannya cenderung polimis dan apologetis. Pers dengan kepekaan nurani imamat apalagi dalam konteks kebhinekaan seperti Indonesia adalah sebuah aktivitas jurnalistik yang panorama pemberitaannya menyejukkan kepelbagaian keyakinan religius, yang kritik-kritik sosialnya disampaikan secara santun dan konstruktif dan konten liputannya mengajak penerima kritik untuk masuk ke dalam nurani imannya untuk sendiri mengambil keputusan pertobatan.

Contoh paling aktual untuk itu dalam Alkitab sebagai sebuah produk jurnalistik adalah yang kritik yang dibuat Natan kepada raja Daud usai seksual affair (perselingkuhan seksual) dan war deceptive-strateby (strategi permainan perang-perangan) yang dia rancang dengan Yoab untuk mengakhiri hidup Uria, istri Batseba. Karya jurnalistik seperti ini akan membuat akan membuat pelakunya tetap dibutuhkan oleh pihak yang dikritik.  Tanpa mengabaikan kekurangan dan kelemahan-kelemahan yang masih perlu dibenani, dalam pantauan saya di NTT jurnalisme POS KUPANG masih tetap berada pada koridor ini. Atas pertimbangan tadi saya secara sadar memilih POS KUPANG untuk opini-opini saya.

Media Yang Penuh Ragi Tuhan

Pers yang memberi perhatian pada nurani keimamatan dalam geliat jurnalismenya akan selalu dibutuhkan, juga oleh kelompok yang sering jadi sasaran kritik.  Saya ingin mengangkat sebuah kisah dari perbendaharaan kesaksian iman saya, Alkitab untuk memperlihatkan ciri dari pers yang bernurani tadi. Kisah itu berhubungan dengan kematian Absalom, anak kesayangan Daud, raja Israel yang disegani (II Sam. 18:19 dst).

Setelah mayat Absalom ditemukan tergantung di pohon, Yoab meniup sangkala sehingga pasukannya berhenti mengejar pasukan Absalom yang berserak tanpa pimpinan. Berita kematian Absalom perlu disampaikan kepada Daud di tempat pelariannya. Ahimaas bin Zadok menawarkan diri kepada Yoas. "Biarlah aku berlari menyampaikan kabar yang baik itu kepada raja, bahwa TUHAN telah memberi keadilan kepadanya dengan melepaskan dia dari tangan musuhnya."

Yoab menolak permintaan Ahimaas karena ia tahu bahwa berita itu akan melukai hati raja, yang bisa berakibat negatif bagi sang pembawa berita. Dari kasus sebelumnya, yakni Daud menyuruh memenggal kepala orang Amalek yang menyampaikan kepadanya berita tentang kematian Saul, Yoab menduga bahwa Daud akan melakukan hal yang sama bagi orang yang membawa kabar kematian Absalom. Itu sebabnya Yoab menjawab Ahimaas: "Pada hari ini bukan engkau yang menjadi pembawa kabar, pada hari lain boleh engkau yang menyampaikan kabar, tetapi pada hari ini engkau tidak akan menyampaikan kabar karena anak raja sudah mati."

Yoab lalu memerintahkan seorang lain, seorang Etiopia untuk berlari kepada. Setelah orang Etiopia itu pergi, Ahimaas sekali lagi berkata kepada Yoas untuk mengijinkan dia menyusul orang Etiopia itu, apapun juga resikonya. Sekali lagi Yoas mengingatkan Ahimaas akan harga yang harus dia bayar. Tetapi Ahimaas siap membayar harga itu. Ia berkata kepada Yoab: "Apa pun yang terjadi, aku mau berlari pergi."

Singkat cerita Ahimaas mendapat ijin dari Yoab. Dia memilih route yang lebih singkat sehingga lebih dahulu sampai ketempat raja. Waktu ditanyai raja ia  memberikan jawaban berikut: "Aku melihat keributan yang besar, ketika Yoab menyuruh pergi hamba raja, hambamu ini, tetapi aku tidak tahu apa itu." Ahimaas menghadirkan bagi raja sebuah data riil di lapangan agar raja menyimpulkan sendiri pesannya. Wartawan kedua, orang Etiopia itu segera menyusul. Ia mengemas beritanya dalam kalimat berikut: "Tuanku raja mendapat kabar yang baik, sebab TUHAN telah memberi keadilan kepadamu pada hari ini dengan melepaskan tuanku dari tangan semua orang yang bangkit menentang tuanku."

Waktu raja mendesak dia dengan bertanya to the point mengenai nasib Absalom dia kembali memberikan jawaban: "Biarlah seperti orang muda itu musuh tuanku raja dan semua orang yang bangkit menentang tuanku untuk berbuat jahat."
Dua orang wartawan yang diutus Yoab menyampaikan kabar buruk kepada raja diperlakukan dengan hormat, tidak seperti orang Amalek dalam kisah kematian Saul yang disuruh raja untuk kepalanya dipocong. Ini karena kedua wartawan tadi memoles berita itu dengan memperhatikan nurani keimamatan. Berita buruk disampaikan secara santun. Raja dibiarkan membuat kesimpulan sendiri. Untuk itu mereka menyodorkan data-data lapangan yang berkualitas, yang tidak dilebih-lebihkan, tidak juga dibelokkan untuk kepentingan pembawa berita. Inilah mediawan yang penuh dengan ragi Tuhan. Jurnalisme yang mereka hasilkan memproduksi perdamaian.

Media yang penuh dengan ragi Tuhan, menurut D.A. Peransi memiliki beberapa kualitas: 1. Ia menciptakan komunitas yang setara, tidak melihat penerima pesan sebagai mangsa. Dalam rangka membangun kesetaraan ia mengembangkan manusia dan kebudayaan masyarakat. 2. Ia mendorong tumbuhnya hidup bermasyarakat yang manusiawi, bukan masa yang sentimental sehingga mudah digiring oleh kekuatan tertentu. Ia mengajar orang berpikir bijak dalam melihat keterbatasan-keterbatasannya tetapi juga kemungkinan-kemungkinan yang diberikan Tuhan kepadanya. 3. Watak profetis yang melekat pada media yang beragi adalah profetis-alternatif. Artinya, dia tidak hanya mengajukan kritik tetapi juga menawarkan solusi. 4. Akhir, media yang penuh dengan ragi Tuhan dibidani oleh mediawan yang telinga, mata dan hatinya terbuka untuk Sabda Allah. 

Penutup
POS KUPANG memasuki usia ke-22. Kehadirannya di NTT dalam rentang waktu 22 tahun sebagaimana yang dialami banyak orang ternyata mampu memberikan suara kepada kaum tak bersuara. Ia juga sudah menunjukkan diri sebagai media yang membuat orang-orang yang berkuasa tidak bisa sesukanya menindas dan menginjak mereka yang lemah dan tanpa atribut kuasa.

John Dewey seorang filsuf Amerika menegaskan bahwa fungsi ritual atau upacara-upacara yang terjadi dalam hidup adalah untuk menjadikan nilai-nilai ideal yang mau kita kejar tetap menjadi fungsional dalam tindakan, agar nilai-nilai tetap ideal dalam semangat. Apa yang tidak dapat dilaksanakan di dalam praktek kehidupan, kita laksanakan di dalam ritual supaya kita tidak mati idealisme.


Peringatan hari lahir yang dilakukan POS KUPANG adalah untuk mengingatkan dirinya bahwa betapapun dalam praktek ideal-ideal tadi belum sepenuhnya bisa diwujudkan, bahkan dalam banyak hal gagal diwujudkan, tetapi melalui peringatan itu tekad para kru POS KUPANG dibangunkan, dikobarkan semangat untuk tetap memelihara nilai ideal itu.

Salah satu penyakit yang paling sering menyerang insan pers dan mematikan idealisme para pekerja keselamatan adalah masalah survive strategy.  Karena ingin survive pers berkolaborasi dengan pihak yang berkuasa atau pemilik modal. Akibatnya fungsi kontrol, edukasi, penyalur aspirasi rakyat dan pengawal demokrasi runtuh. Pers berubah jadi loud speaker penguasa atau memilik modal. Dengan berbuat begitu, pers sesungguhnya tengah melakukan onani atau masturbasi.

POS KUPANG  akan tetap survive di NTT dan menjadi surat kabar kesayangan masyarakat apabila ia menjalankan keempat fungsi pers secara konsisten sambil tetap menjaga keseimbangan pemberitaan dan investigasi sebagaimana yang disinyalir pak Yulius Siranamual. Jelasnya POS KUPANG harus terus menampilkan diri sebagai media yang penuh dengan ragi Tuhan. Inilah tekad yang harus dijaga tetap membara dalam hati para kru POS KUPANG setelah aktivitas remember, recollection dan  commemoration di HUT ke-22 ini. DIRGAHAYU POS KUPANG. Teruslah berkarya untuk memberi rasa nyaman kepada orang yang berkesusahan dan menyusahkan orang yang hidupnya nyaman. *

Sumber: Pos Kupang 1 Desember 2014 halaman 32 (edisi ulang tahun ke-22 terbit 60 halaman)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes