Anak-anak Mbay Pertaruhkan Nyawa Demi Sekolah...

Anak-anak dari  Boarebhe dan Boanage pulang sekolah
Baju-baju itu dijemur di bebatuan di tepi sungai dan dikenakan kembali ketika mereka pulang sekolah dan hendak menyeberang sungai kembali ke rumah.

SIANG itu, 30 April 2015. Terik matahari  membakar kulit. Namun di tepi sungai Aesesa segerombolan anak-anak bertelanjang dada tampak semangat. Sebagian lagi berlari-lari kecil melintasi jalan setapak menuju sungai. Ada yang masih berseragam putih merah.  Ada yang  mengenakan alas kaki, ada juga yang bertelanjang kaki. 

Gelak tawa dan raut wajah ceria mewarnai perjalanan mereka menuju sungai.  Mereka adalah anak-anak dari  Kampung Boarebhe, Kelurahan Dhawe, Kabupaten Nagekeo yang baru pulang menimba ilmu di SDI Rata, sebuah sekolah dasar yang letaknya sekitar 2  kilometer (km) dari sungai itu.

Di tepi sungai Aesesa, di jalur yang akan mereka lintasi, berserakan baju dan celana anak-anak. Baju siapakah gerangan?  "Itu baju kami. Baju yang akan kami gunakan  ketika menyeberangi sungai," kata seorang bocah bernama Riano. Ternyata setiap hari anak-anak dari Kampung Boarebhe dan Boanage harus membawa satu pasang baju ganti. Baju khusus menyeberang sungai. Ketika sampai di seberang sungai, baju-baju itu ditanggalkan dan diganti dengan seragam sekolah. Baju-baju itu dijemur di bebatuan di tepi sungai dan dikenakan kembali ketika mereka pulang sekolah dan hendak menyeberang sungai kembali ke rumah.

Panas matahari yang menyengat seperti tak mereka hiraukan. Yang ada hanya semangat untuk sekolah. Rasa panas seakan sudah menyatu dengan mereka. Mereka sudah terbiasa bertelanjang dada, mereka sudah bersahabat dengan dinginnya air dan derasnya arus sungai. Bahkan mereka tak peduli jika setiap waktu  maut mengintai mereka di sungai itu.


Sebuah pemandangan yang mengiris hati. Bagaimana tidak, Boarebhe berada di pinggiran Kota Mbay, anak-anak itu  adalah keturunan dari para pemilik tanah di Kota Mbay, ibukota Kabupaten Nagekeo. Namun mereka seperti terabaikan, terisolir. Anak-anak itu hanya membutuhkan sebuah jembatan gantung untuk melintasi sungai yang nilainya mungkin tidak seberapa.Mereka membutuhkan jembatan yang dapat memberikan rasa aman bagi mereka untuk ke sekolah, untuk tumbuh dan berkembang seperti anak-anak di wilayah lain.

Riano, bocah 11 tahun itu merupakan satu dari belasan anak Boarebhe dan Boanage yang setiap hari berjibaku  melintasi sungai Aesesa demi bisa mengenyam pendidikan. Setiap kali hendak menyeberang sungai, Riano dan teman-temannya harus menanggalkan seragam sekolah dan mengenakan celana pendek berbahan kaus dan baju kaus oblong berwarna putih yang mulai usang. Pasangan baju itu yang setiap hari melekat di tubuhnya ketika menyeberang sungai.


Libur Saat Hujan
Saat ditemui sebelum melintasi sungai Aesesa akhir April lalu, Riano mengungkapkan, setiap tahun waktu liburan sekolah mereka lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak lain yang tinggal satu daratan dengan sekolah tempat mereka belajar. Bukan karena sekolah baik hati namun karena banjir.
"Kalau musim hujan tiba dan banjir, kami terpaksa berhenti sekolah. Tidak ada tempat lain yang bisa kami lewati untuk ke sekolah. Bapak ibu guru sudah tahu. Jadi mereka tidak marah kalau kami tidak ke sekolah," kata Riano lirih.

Seorang warga bernama Martinus Bheo juga mengatakan,  anak-anak di Boarebhe dan Boanage sudah melakoni situasi seperti  itu sejak puluhan tahun lalu. Martinus membenarkan anak-anak dari dua kampung itu selalu berhenti sekolah ketika musim hujan tiba.

Martinus mengatakan, sebenarnya di sungai itu bisa dibangun jembatan gantung yang bisa membantu anak-anak melintasi Sungai Aesesa.  Namun harapan itu baru sebatas harapan karena sampai saat ini belum ada tanggapan dari pemerintah terhadap kondisi anak-anak di kedua kampung itu. "Kami berharap pemerintah bangun jembatan gantung di sini. Selain untuk anak-anak ke sekolah, juga sebagai lintasan pipa air bersih. Selama ini pipa air bersih dari Boarebhe ke Dhawe hanya diletakkan di atas dahan pohon," kata Martinus.

Ketua Komisi B DPRD Nagekeo, Sambu Aurelius yang dikonfirmasi  saat meninjau langsung kondisi anak-anak  usia sekolah dari Boarebhe dan Boanage  mengatakan, akan memperjuangkan anggaran untuk jembatan gantung di daerah itu. "Kita akan perjuangkan di Perubahan Anggaran 2015 atau di APBD tahun 2016. Semoga perjuangan kita mendapat dukungan dari teman-teman di DPRD," kata Aurelius.

Aurelius mengatakan, anak-anak di dua kampung itu harus  mendapatkan rasa aman saat ke sekolah dan tidak lagi ketinggalan mata pelajaran hanya karena alasan banjir. Jembatan gantung juga, katanya, akan membuka akses ke Boarebhe dan Boanage yang selama ini masih terisolir. (adiana ahmad)

Sumber: Pos Kupang 26 Juli 2015 halaman 5
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes