Joki Citarasa Bima

Joki cilik saat latihan di lapangan Prailiu, Waingapu, Sumba Timur.

SALAH satu elemen penting dalam lomba pacuan kuda adalah joki, penunggang kuda. Joki berperan menuntun kudanya berlari mengitari lintasan pacu. Joki mengendalikan kudanya menjadi yang tercepat menginjak garis finis.

Umumnya joki anak-anak, berusia 6 hingga 12 tahun. Berat tubuh berkisar 17-21 kg. Dengan tubuh kecil dan ringan, joki mahir menuntun kudanya berlari.
Sebagai joki harus memiliki keberanian. Mental yang bagus menjadi modal untuk bertarung di arena pacuan. Bagaimana joki di Sumba Timur? Pemilik kuda pacuan, Umbu Hapu punya penilaian.

Politisi Partai Golkar ini mengatakan, joki Sumba mengalami penurunan jumlah. Sudah sedikit, mentalnya juga kurang bagus. Keahliannya masih kurang. Selain itu, postur tubuh gemuk. Dominannya kekurangan joki Sumba membuat Umbu Hapu menggunakan joki asal Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. "Sudah lima enam tahun saya pakai joki Bima," kata Umbu Hapu.

Joki Bima memiliki kelebihan yang tidak dimiliki joki Sumba, di antaranya postur tubuh kecil, ringan dan mental bagus. Joki Bima punya keahlian dan keberanian. "Keahliannya lebih, bisa tergantung di leher kuda. Joki Bima kecil-kecil, berani dan tidak ragu. Netralitasnya bagus, tidak terpengaruh bila disogok," ujarnya. "Mereka hebat. Kalau jatuh tidak mau naik ambulance ke rumah sakit. Bapaknya berdoa dan usap-usap sedikit langsung bangun," puji Umbu Hapu.

Joki Bima tahu event lomba pacuan kuda di Waingapu. Beberapa hari sebelum event dimulai, joki Bima sudah ada. Umumnya para joki datang bersama orang tua. Ada juga datang atas permintaan khusus pemilik kuda.

Kebutuhan akan joki Bima dibicarakan pemilik kuda saat berada di lapangan. Biasanya pemilik kuda mendekati dan meminta orang tua atau koordinator menyiapkan joki untuk menunggang kudanya. Tidak menutup kemungkinan joki yang sama menjadi pilihan pemilik kuda lainnya.


Setiap pemilik kuda yang menggunakan jasa joki Bima harus membayar. Sekali menunggang kuda dibayar Rp 50.000. Juara atau tidak joki tetap dibayar. Kadang kalau pemilik kudanya senang tarifnya bisa lebih.

Agus Hungameha juga mengatakan, jumlah joki Sumba menurun. "Yang punya keberanian itu anak-anak Wairinding. Dulu banyak, tapi sekarang sudah berkurang," kata Hungameha.

Menurutnya, joki Bima memiliki teknik. Kalau joki Sumba, kuda hilir (keluar lintasan) mereka gerogi lalu loncat. Beda dengan joki Bima yang punya teknik menahan kuda dengan bagus.

Pemilik kuda pacu, Umbu Remi, mengakui bahwa saat ini joki Sumba masih tersedia tapi tidak sebanyak waktu dulu.

Penurunan terjadi karena adanya kesadaran orangtua menjaga dan melindungi anaknya. Para orangtua khawatir saat menunggang kuda anaknya terjatuh dan cidera. Orangtua tidak mengizinkan padahal anaknya berminat menjadi joki. Berbeda dengan anak-anak Bima yang mendapat dukungan orangtuanya.
Anak-anak Sumba juga banyak yang sekolah. Program pendidikan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah daerah menjadi faktor pendorong bagi orangtua menyekolahkan anaknya. Hal ini ikut memberi dampak menurunnya jumlah joki Sumba.

Umbu Remi tidak sependapat jika dikatakan menurunnya jumlah joki karena faktor kurang perhatiannya pemilik kuda terhadap joki. Mengenai keberanian dan keahlian, menurutnya, joki Sumba dan joki Bima sama-sama memilikinya.
Makanya dia menggunakan joki Sumba dan joki Bima. Pada putaran pertama atau babak penyisihan dipakainya joki Bima. Kalau sudah masuk babak semifinal menggunakan joki Sumba. Upaya ini disebutnya sebagai trik untuk mengantisipasi kecurangan yang dilakukan joki Bima.

"Saya khawatir joki Bima kasih hilir (keluar dari jalur pacu) atau menahan kuda. Jadi, mengganti joki upaya saya mengantisipasi kecuraangan. Karena biasanya dalam pacuan, saya punya kuda kuat, ada yang mau kalahkan kuda saya, maka dia akan berusaha untuk membayar joki yang saya pakai," katanya.

Kalendi Manangahau, pemilik kuda pacu lainnya, lebih suka joki Sumba. Anak-anak anggota keluarganya dari kampung yang dijadikan joki. "Saya tidak sewa joki Bima. Bagi saya, anak-anak di kampung yang dijadikan joki. Mereka sudah menyatu dengan kuda karena selama ini selalu berada di padang menggembalakan kuda. Mereka dibentuk secara alami semenjak menggembala kuda di padang dan menyatu dengan kuda," kata Kalendi.

Mantan joki kuda pacu, Domu (71), sudah menduga akan terjadi menurunnya jumlah joki Sumba karena kurang berminatnya anak-anak menjadi joki. Bercermin pada dirinya, pria beruban yang pertama kali menjadi joki tahun 1958 saat berusia 14 tahun, mengakui belum berhasil menurunkan ilmu perjokian kepada anak dan cucu-cucunya. "Anak dan cucu-cucu saya tidak ada yang jadi joki. Mereka tidak berminat. Mau bagaimana lagi kalau joki kurang. Banyak dari Bima itu karena keterbatasan kita," katanya.

Kondisi kekinian perjokian kuda pacu melengkapi cerita kian memudarnya kuda Sandel di negeri padang savana. Lomba pacuan kuda bukan lagi menjadi ajang unjuk kebolehan kuda Sandel dan kemahiran joki Sumba. (aca)

Sumber: Pos Kupang 12 Juli 2015 halaman 1

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes