ilustrasi |
Gelombang pasang itu menerjang rumah, menyapu sebagian besar isinya. Penghuni rumah lari pontang-pontang menyelamatkan diri ke rumah tetangga yang dianggap lebih aman. Sebanyak 11 rumah penduduk mengalami rusak berat. Barang yang rusak antara lain bangunan dapur, kamar tidur, WC, kamar mandi.
Kepala Desa Watutedang, Rovinus Reko menyebut peristiwa itu baru pertama kali terjadi. "Ini baru pertama kali gelombang merusak rumah penduduk. Warga memindahkan barang ke rumah tetangga yang agak jauh dari pesisir pantai. Bahkan ada yang bongkar atap rumahnya dari genteng. Mereka takut gelombang datang lagi dan rumah mereka roboh. Makanya bongkar genteng biar aman," kata Rovinus Reko.
Selain menerjang dua dusun di Desa Watutedang, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, gelombang pasang juga menerjang 45 unit rumah di Kelurahan Tanjung, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, Rabu (3/8/2016). Akibat terjangan gelombang pasang itu, dua unit rumah rusak berat dan sisanya rusak ringan. Sementara 54 keluarga mengungsi ke rumah tetangga maupun tenda darurat yang dibangun Pemkab Ende.
Nurmin, warga Tanjung yang saat itu berada di dapur menyiapkan makan siang untuk keluarganya, kaget ketika mendengar bunyi besar dari balik dinding rumah. Dia makin terperangah melihat air laut sudah masuk ke dalam rumah. Nurmin berusaha menyelamatkan diri dan barang-barang semampunya ke rumah tetangga yang aman dari gelombang pasang. Siang itu Nurmin sekeluarga batal makan siang bersama. Total 56 rumah penduduk di Kabupaten Sikka dan Ende yang mengalami kerusakan akibat gelombang pasang kali ini.
Kita sesungguhnya tidak terkejut mendengar kabar tentang bencana alam yang terjadi di pesisir selatan Pulau Flores tersebut. Menurut catatan Pos Kupang, dalam sepuluh tahun terakhir gelombang pasang makin kerap menerjang pesisir pantai selatan Nusa Bunga. Sebaran wilayah yang terkena sapuan gelombang pasang pun semakin luas dan sporadis, sesuatu yang jarang terjadi sekitar 20-an tahun lalu.
Pesannya cukup tegas dan jelas yakni sudah terjadi degradasi lingkungan yang luar biasa sehingga gelombang pasang begitu mudah masuk rumah. Dia berubah menjadi monster yang menakutkan. Tidak ada lagi penahan gelombang di pesisir pantai, sebut misalnya tanaman bakau. Semuanya sudah habis ditebas untuk kebutuhan jangka pendek manusia sendiri. Abrasi pantai di Pulau Flores serta pulau-pulau lainnya di Provinsi NTT sudah sangat serius. Tidak lagi sekadar ancaman.
Jadi agenda aksi kita hari ini mestinya tidak cukup hanya menyiapkan makanan siap saji, selimut atau terpal bagi korban gelombang pasang. Agenda aksi harusnya lebih fokus dan konkret pada upaya memulihkan ekosistem lingkungan yang sudah rusak. Harus ada peta jalan yang terukur demi menyelamatkan pantai-pantai di NTT dalam kurun waktu 10 sampai 15 tahun ke depan bahkan lebih dari itu. (*)
Sumber: Pos Kupang 5 Agustus 2016 hal 4