ilustrasi |
Corona memperkaya bahasa Indonesia. Tapi serentak jua merendahkan martabatnya.
Kok bisa?
Gara-gara virus yang menyerang pernapasan ini, cara dan gaya kita berbahasa Indonesia yang memang doyan bikin singkatan dan akronim, kini menambah lagi koleksinya.
Sekarang keponakanku yang masih di bangku Sekolah Dasar (SD) pun sudah hafal apa itu ADP, ODP, PDP, OTG dan sebagainya.
ODP (Orang Dalam Pantauan), PDP (Pasien Dalam Pengawasan), OTG (Orang Tanpa Gejala), APD (Alat Pelindung Diri).
Bahkan keponakanku familiar dengan istilah asing semisal WFH (Work From Home), SFH (Studi From Home), Lockdown dan lain-lain.
Pandemi Covid-19 pun mempertebal kegandrungan sebagian pejabat menggunakan istilah asing. Bahasa Inggris khususnya.
Mereka terlihat bangga bukan main memakai diksi social distancing lalu belakangan physical distancing.
Padahal ada padanannya dalam bahasa Indonesia yang niscaya lebih enteng dimengerti khalayak ketika si pejabat menyebarkan pesan tersebut.
Physical distancing itu sebenarnya jaga jarak fisik.
Bisa ditambahkan jaga jarak minimal satu sampai satu setengah meter ketika berbincang atau bertemu orang lain.
Begitu cara jitu anjuran Badan Kesehatan Dunia (WHO) guna mengamankan diri dari kemungkinan terpapar Covid-19.
Work From Home sinonimnya kerja dari rumah. Penghuni Ibu Pertiwi kiranya langsung mengerti apa itu konsep belajar dari rumah, ibadah di rumah dan seterusnya.
Lockdown ya pembatasan, penutupan suatu wilayah atau karantina wilayah.
Pokoknya bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa ini memiliki kosa kata yang kaya dan niscaya dipahami secara baik oleh segenap lapisan masyarakat.
Fidelis Bata Dosi, keluargaku dari garis ayah yang drop out kelas V SD di kampung pedalaman Flores, mengaku hanya bisa garuk-garuk kepala saat pertama kali mendengar istilah physical distancing di televisi.
“Saya bingung,” ujarnya.
Dr Marsel Robot, dosen senior Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, menyebut kegandrungan menggunakan istilah asing itu gejala psikologis semacam gengsi atau prestise.
Mereka beranggapan menggunakan istilah asing lebih keren, lebih hebat. Padahal dia sendiri tidak mengerti asal usul istilah tersebut.
Kedua, menutup kenyataan dengan cara menghaluskan bahasa yang sering disebut eufemisme.
“Hasilnya membingungkan dan tidak menggugah orang melakukan sesuatu.
Inilah cara merendahkan martabat bahasa Indonesia oleh anak bangsa sendiri,” kata Marsel Robot yang mengemban tanggung jawab selaku Kepala Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata Undana.
Syukurlah belakangan pemerintah mulai menggunakan bahasa Indonesia ketika menggulirkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di daerah zona merah pandemi Covid-19 semisal DKI Jakarta, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Meski demikian, PSBB tetap saja melahirkan secuil tanya, mengapa pemerintah tidak menggunakan diksi “Skala” (Pembatasan Sosial Skala Besar) saja tetapi “Berskala”?
Para pakar bahasa Indonesia tentu lebih piawai menjelaskan fungsi imbuhan tersebut.
Prahara Mudik
Dua tiga hari terakhir ramai nian di jagat maya dan jagat nyata diskusi soal mudik atau pulang kampung.
Muncul pengamat bahasa dadakan dan pengamat yang benar-benar ahli.
Tak ketinggalan bumbu penyedap diskusi berupa kritik dan nyinyir. Pun mengarah ke perundungan.
Pemicu diskusi hangat tersebut adalah orang nomor satu di ini negeri, Presiden Joko Widodo. Jokowi menyebut mudik dan pulang kampung saat tampil dalam acara Mata Najwa asuhan presenter kondang Najwa Shihab.
Najwa bertanya kepada Presiden Jokowi, apakah mudik itu dilarang atau tidak karena sudah banyak orang yang mudik sebelum pemerintah akhirnya resmi melarang pada 24 April 2020.
Jokowi lantas menjawab begini.
"Kalau itu bukan mudik, itu namanya pulang kampung. Memang bekerja di Jabodetabek, di sini sudah tidak ada pekerjaan, ya mereka pulang. Karena anak istrinya ada di kampung," ujar Jokowi dalam wawancara eksklusif acara Mata Najwa yang disiarkan Trans7, Rabu malam 22 April 2020.
Menurut Jokowi, pulang kampung berbeda dengan mudik.
Jokowi mengatakan mudik dilakukan saat menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran.
Sementara pulang kampung tidak terbatas pada momen Lebaran.
Orang bisa pulang kampung kapan saja dan untuk konteks saat ini mereka pulang antara lain karena tak ada lagi pekerjaan di kota,.
"Ya kalau mudik itu di hari Lebaran-nya, beda, untuk merayakan Idul Fitri. Kalau yang namanya pulang kampung itu bekerja di Jakarta, tetapi anak-istrinya ada di kampung," kata Jokowi.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kata 'mudik' memiliki dua arti.
Mudik: (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman). Misalnya dari Palembang mudik sampai ke Sakayu. Kedua, pulang ke kampung halaman.
Contoh seminggu menjelang Lebaran sudah banyak orang yang mudik.
Berikut arti pulang kampung: kembali ke kampung halaman; mudik. Contoh: dia pulang kampung setelah tidak lagi bekerja di kota.
Pengertian 'mudik' dan 'pulang kampung' memang mirip. Ada contoh dalam KBBI, yakni mudik disertai contoh konteks Lebaran, sedangkan pulang kampung disertakan konteks kondisi pekerjaan di kota.
Sulit menampik kenyataan bahwa diksi 'mudik' sangat populer dalam suasana Lebaran, baik menjelang, hari H ataupun sesudahnya. Mudik kemudian diasosiasikan dengan Lebaran.
Mudik mengalami pergeseran makna secara semantik karena asal usul sesungguhnya tidak dikaitkan
dengan Lebaran.
Apapun itu, keduanya, entah mudik atau pulang kampung, tak patut dilakoni pada masa pandemi Covid-19 ini agar bisa memutus mata rantai penyebaran virus Corona. Prahara menanti bila orang tetap nekat. Mengapa?
Coba perhatikan data pergerakan kasus Covid-19 di Indonesia. Grafiknya masih terus menanjak. Sampai Sabtu 25 April 2020 tercatat 8.607 orang yang positif atau ketambahan 396 kasus baru dari kondisi sehari sebelumnya.
Sebanyak 6.845 dirawat, 1.042 orang sembuh dan 720 yang meninggal dunia.
Kondisi di Bali pun setali tiga uang. Bali tetap masuk 10 besar provinsi di Indonesia dengan kasus tertinggi.
Sampai 25 April 2020, Bali bertahan di urutan ketujuh klasemen dengan pasien positif 183 orang, bertambah 6 dari sehari sebelumnya.
Meninggal dunia 4 orang, sembuh 70 orang dan masih dalam perawatan 109 orang.
Jumlah kasus diprediksi masih bertumbuh tambun sehingga langkah pemerintah melarang masyarakat mudik, meski sejumlah pihak menganggapnya telat, merupakan pilihan bijak dan tepat.
Pemerintah sudah bertindak tegas, menghentikan penerbangan pesawat komersial mulai 24 April hingga 1 Juni 2020.
Demikian pula moda transportasi darat dan laut dengan beberapa pengecualian seperti angkutan kargo dan lainnya.
Larangan tersebut dikunci melalui Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) RI Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka
Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Ada sanksi bagi pelanggar berupa denda Rp 100 juta dan penjara 1 tahun.
Aparat negara pun mulai bertindak lugas dan tandas.
Sebagai misal di Kabupaten Jembrana, rekan kami jurnalis Harian Tribun Bali I Made Ardhiangga melaporkan, sampai Minggu pagi 26 April 2020, polisi mencegat 465 orang yang hendak pulang ke Jawa. Mereka akhirnya kembali ke rumah.
Ketegasan aparat di lapangan sangat penting. Jangan sampai aparat main mata atau main kelingking alias kongkalikong dengan pemudik atau mereka yang mau pulang kampung.
Sangat perlu mewaspadai kemungkinan tersebut karena di ini negeri ada saja oknum yang suka menggayung di air keruh.
Memanfaatkan setiap celah guna menguntungkan diri sendiri.
Tenteram dan Makmur
Omong-omong soal pulang kampung, boleh jadi merupakan pilihan sebagian masyarakat karena alasan sosial ekonomi.
Di tengah badai pandemi Covid-19, mereka terpaksa pulang kampung karena tidak ada pendapatan
lagi di kota lantaran roda ekonomi bukan cuma mati suri tapi sekarat.
Seudik-udiknya kampung, ada suatu keutamaan di sana yang tak dipunyai kota yaitu modal sosial. Tak semata ekonomi. Modal sosial berwujud kebersamaan, persaudaraan dan kekeluargaan.
Kalau tuan lapar, masih boleh berharap pada kebaikan hati paman, bibi, kakak, adik, saudara, tetangga, teman.
Mereka mungkin miskin secara ekonomi tetapi dalam kemiskinannya masih mau berbagi.
Kampung dalam situasi seperti sekarang jelas jauh lebih baik ketimbang seseorang bertahan di kota yang egois dan cenderung individualis.
Dia bisa mati lapar dan haus karena tak ada orang yang peduli.
Ketika kembali ke desa atau kampung, teringat jaring pengaman sosial paling klasik dan ampuh di negeri gemah ripah loh jinawi (tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya) yaitu sektor pertanian dan
kelautan.
Tapi siapakah petani Indonesia itu? Siapakah nelayan Nusantara? Apakah mereka hidup tenteram dan makmur sehingga saat krisis krisis seperti saat ini kaum urban berbondong-bondong mudik. Berduyun-duyun pulang kampung.
Gemah ripah loh jinawi, betapa kaya alam raya Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, Miangas sampai Pulau Rote.
Jangan-jangan itu cuma angan, kawan. Toh ini negara agraris impor sembako melulu, dari beras, bawang putih hingga garam dapur.
Setiap kali ingat kampung, entah mengapa, saya selalu suka mendengar lirik lagu Koes Plus berjudul Kolam Susu.
Maklum lirik lagu karya Yon Koeswoyo ini terinspirasi dari Kolam Susuk, sebuah danau eksotik di Pulau Timor, persisnya di pesisir wilayah Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jalan cukup menghidupimuu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Benarkah tanah kita masih tanah surga?
Hingga tongkat kayu dan batu akan tetap jadi tanaman?
Tanaman yang menghidupkan khalayak marhaen.
Apakah negeri ini masih gemah ripah loh jinawi ?
Aih.. saya pun tidak tahu.
Om Ebiet G Ade bilang, coba pinjam catatan langit atau tanyakan pada rumput yang bergoyang. (dion db putra)
Sumber: Tribun Bali