Catatan Dion DB Putra
TRIBUNLOMBOK.COM - Nama lengkapnya Richarlison de Andrade. Lebih populer Richarlison. Dia lahir 25 tahun lalu di Nova Venecia, Espirito Santo, Brasilia.
Klub yang dia bela Tottenham Hotspur masuk kelompok medioker di Liga Inggris. Prestasi tak sehebat Liverpool, Man City atau Manchester United.
Pemain timnas Brasil kelahiran 10 Mei 1997 tersebut belum setenar Neymar Jr atau Dani Alves. Tapi di Qatar 2022, namanya lebih mendunia.
Popularitas sedang menyelimuti Richarlison de Andrade berkat keindahan golnya ke gawang Serbia pada laga perdana Grup G Piala Dunia 2022.
Di Stadion Lusail Doha, Kamis malam 24 November atau Jumat dini hari waktu Indonesia, 25 November 2022, Richarlison mencetak brace menit ke-62 dan ke-73.
Gol pertama Richarlison biasa saja. Gol kedua bikin dunia tercengang. Dia menjebol gawang Serbia lewat sentuhan akrobatik manis di kotak penalti memanfaatkan umpan empuk Vinicius Junior.
"Gol akrobatik, terbaik dalam karier saya. Saya sangat senang telah melakukannya di Piala Dunia. Ini merupakan malam yang indah," kata Richarlison dilansir dari laman TyC Sports.
Kemenangan malam itu merupakan laga ke-110 Brasil sepanjang partisipasi mereka di Piala Dunia sejak 1930. Rekor terbanyak dari semua negara.
Brasil pun menambah rekor tak terkalahkan pada pertandingan pembuka mereka di Piala Dunia dalam 80 tahun terakhir.
Tim Samba menghadapi Swiss di Stadion 974 Doha, Senin malam 28 November 2022, dan duel akhir grup melawan Kamerun pada 2 Desember 2022 waktu Qatar.
Merindukan jogo bonito
Brasil adalah simbol keindahan. Keindahan permainan sepak bola yang membuat miliaran pemuja bola jatuh hati padanya.
Jogo bonito atau total football ala Belanda membuat sepak bola selalu mampu mencuri hati banyak penggemar di seluruh dunia dari zaman ke zaman. Sampai hari ini.
Frasa jogo bonito pertama kali trending ketika diucapkan megabintang Brasil di masa silam, Edson Arantes do Nascimento alias Pele.
Pele menggunakan frasa jogo bonito atau permainan indah dalam bahasa Portugis, untuk merujuk pada olahraga sepak bola.
Bleacher Report menyebut, Pele tidak hanya pencetus tetapi mewujudkan frasa jogo bonito lewat aksinya yang memukau saat bermain membela timnas Brasil.
Ketika memperkuat timnas Brasil, Pele sukses mengantarkan timnya meraih gelar juara Piala Dunia sebanyak tiga kali yakni pada 1958, 1962, dan 1970.
Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) sudah memberikan gelar pemain terbaik abad ke-20 kepada Pele, bersama Maradona, pada Desember 2000.
Kembali ke Qatar 2022, gol Richarlison ke gawang Serbia menghidupkan kerinduan akan jogo bonito yang selama lebih dari dua dekade terakhir cenderung meredup dari goyang Samba Brasil.
Pengamat bola hampir sepakat bahwa Brasil meninggalkan filosofi permainan indah yang menjadi ciri khasnya. Belakangan ini Brasil memilih pragmatis, lebih mengutamakan hasil akhir ketimbang proses yang elok menawan.
Mengutip Goal, anggapan tersebut muncul melihat penampilan timnas Brasil setelah era keemasan Pele, yakni pada Piala Dunia 1994 dan 2002.
Trofi juara Brasil di USA 1994 dipandang berasal dari dominasi permainan lini tengah yang sangat apik dikoordinir Dunga, sang kapten timnas Brasil saat itu.
Ketika Brasil berjaya di Piala Dunia 2002, penampilan mereka tak beda jauh dari tim asal Eropa. Maklum kala itu Brasil bermodal trio bintang yang berkiprah di kompetisi negara Eropa yaitu Ronaldinho, Ronaldo Nazario, dan Rivaldo.
Bahkan saat Brasil menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014, bentuk permainan elok ala jogo bonito tidak lagi terlihat di negeri asalnya.
Brasil malah dipermalukan timnas Jerman, yang akhirnya meraih gelar juara, dengan skor 1-7 di semifinal. Sudah bermain pragmatis, eh kalah telak lagi di kandang sendiri. Memalukan!
Parreira, Scolari hingga Tite
Jogo bonito Brasil memang mulai memudar sejak tim nasional negara itu diasuh Carlos Alberto Parreira awal 1990-an.
Di Piala Dunia 1994, tim Samba asuhan Carlos Alberto Parreira menjadi kampiun turnamen empat tahunan tersebut setelah mengandaskan Italia di babak final.
Sebelum itu, Parreira hanya melatih timnas Kuwait dan Uni Emirat Arab (UEA). Kuwait pernah ia asuh di Piala Dunia 1982 dan kandas di fase grup.
Sedangkan di Piala Dunia 1990, Parreira membawa UEA gugur di fase grup setelah menelan tiga kekalahan beruntun.
Tatkala mengasuh timnas Brasil 1994, Parreira mengutamakan hasil akhir. "Keindahan bermain bola tidak menyelamatkan kehormatan kita," katanya saat itu.
Di Piala Dunia 1998, pelatih Mario Zagallo pun tidak begitu mementingkan keindahan dalam permainan sepak bola Brasil.
Zagallo sukses mengantar Ronaldo dkk hingga ke babak final. Namun, Brasil gagal mempertahankan gelar karena kalah melawan tuan rumah Prancis di final.
Brasil takluk 0-3 dari Prancis setelah gol-gol Les Bleus –julukan Prancis– dicetak Zinedine Zidane pada menit 27, (45+1) dan Emmanuel Petit (90+3).
Luiz Felipe Scolari yang menjadi pelatih Brasil di Piala Dunia 2002 di Jepang dan Korea Selatan, mirip pula karakternya.
Luiz Felipe Scolari yang terkenal keras kepala tidak sudi pemain Brasil mementingkan jogo bonito. "Orang ingat kalau kita menang dan jadi juara," ujarnya.
Scolari menerapkan gaya sepak bola menyerang dan timnya mengobarkan semangat juang tiada duanya. Terbukti Felipe Scolari sukses memberikan Brasil trofi kelima pada tahun 2002. Sejak itu Brasil belum mencicipi lagi pesta juara Piala Dunia.
Pelatih pragmatis Brasil di era 2000-an adalah Dunga. Selain menjadi satu di antara pemain paling berprestasi di Brasil, Dunga merupakan manajer terbaik. Dunga memiliki karier cemerlang bersama tim nasional Brasil.
Dia bermain selama hampir 11 tahun untuk Selecao dan memenangkan 4 trofi utama termasuk Piala Dunia FIFA 1994 dan Piala Konfederasi.
Karier manajerial Dunga dimulai tahun 2006 saat ia memimpin tim nasional Brasil.
Dunga memenangkan Copa America dan Piala Konfederasi sebagai manajer selama tugas pertamanya bersama tim Samba.
Dia diangkat kembali sebagai manajer tim utama setelah kekalahan memalukan Brasil di Piala Dunia 2014 melawan Jerman.
Dunga mengasuh skuat Samba selama 2 tahun guna mengembalikan moral tim yang ambruk.
Sejak tahun 2016 Federasi Sepak Bola Brasilia mempercayakan Adenor Leonardo Bacchi atau yang akrab disapa Tite sebagai pelatih timnas.
Tite sedang menjalani ujian jogo bonito di Qatar 2022. Apakah dia mengembalikan Brasil yang bermain indah sekaligus berjaya atau pragmatis saja asalkan menang.
Tuan dan puan akan menjadi saksi bagaimana Brasil hasil racikan Tite saat melawan Swiss malam ini 28 November 2022 mulai pukul 23.00 WIB, dan Sabtu dini hari 3 Desember 2022 menghadapi Kamerun di laga terakhir Grup G.
Selamat menonton! (*)
Sumber: Tribun Lombok