Ndori

 

Saya dan Ka'e Frans Sarong (kiri)

Kala itu saya masih wartawan baru. Baru jadi jurnalis. Belum lama terbius pesona jurnalisme yang nyatanya memang asyik. 

Saya sedang berada di Ende. Cuti tahunan. Pulang sejenak dari Kupang demi menengok orang tua dan saudara. 

"Aji (bahasa Ende yang artinya adik) Dion, besok saya mau ke Ndori. Kalau aji tidak sibuk, ayo ikut," katanya lugas kepada saya di rumahnya yang mungil di Jalan Kokos Raya, Perumnas, Kota Ende.

"Siap ka'e (kakak)," jawabku.

Siapa berani menolak? Bagi saya ajakan itu bak durian runtuh.  Saya bisa jalan-jalan sambil meliput bersama  kakak,  guru dan mentor jurnalistikku.

Keesokan hari kami berangkat pagi-pagi. Kabut tipis masih menyelimuti Gunung Wongge, Meja dan Gunung Iya.

Mesin mobil sudah dihidupkan, siap meluncur. Gass!  Eh, tiba-tiba dia matikan mesin lalu bergegas turun  menuju ke rumah. Rupanya mau mengambil sesuatu. Ternyata sebilah parang.

Saya tak bertanya apa-apa. Mengapa bawa parang?

Mobil meninggalkan Perumnas, bergerak ke timur dalam kecepatan sedang. Kami melewati Roworeke, Wolotolo, Detusoko, Nduaria, Moni, Wolowaru. 

Terus ke timur meliuk-liuk termasuk melewati kaki kampung nan permai bernama Pemo, Desa Wolosoko, Kecamatan Wolowaru, tempat kelahiranku. Ini kampung kakek nenekku dari garis ibu.

Jarak dari Kota Ende ke Ndori kurang lebih 90-an kilometer. Lumayan jauh apalagi kondisi jalan pada tahun 1990-an tidak baik-baik saja.

Sampai di Kampung Aebara, mobil belok kanan. Kami meluncur ke pesisir selatan Pulau Flores, melewati Wonda hingga tujuan akhir Pantai Ndori, Maubasa.

Tapi baru kira-kira sepuluh menit meninggalkan Aebara, aral melintang datang. Jalan di depan kami terhalang sebatang pohon bambu yang baru tumbang.

Kendaraan tidak bisa lewat. Sang guru sigap mengambil parang. Dia turun dari mobil lalu mulai memotong dan membersihkan bambu tersebut dari jalanan. Saya ikut membantu.

Pahamlah awak sekarang, mengapa tadi beliau membawa parang dari rumah. Kalau tanpa barang, susah su datang menimpa. Hahaaa..

Setelah itu perjalanan kami lancar jaya sampai Pantai Ndori. Di sana kami melihat aktivitas dan mewancarai sejumlah nelayan yang piawai dan tangguh menangkap ikan pari.

Ya, nelayan Ndori Maubasa terkenal tangguh menangkap ikan pari. Seperti saudara mereka di Lamalera-Lembata yang piawai menangkap paus, nelayan Ndori tak asal tangkap ikan pari.

Mereka menjunjung tinggi kearifan lokal. Menangkap pari secukupnya untuk konsumsi dan sebagian dijual. 

Pari yang ditangkap bukan anak pari atau pari yang produktif. Mereka tahu mana ikan pari yang layak ditangkap.

Setelah mendapatkan bahan berita yang cukup di Pantai Ndori, kami kembali ke Kota Ende dan baru tiba menjelang larut malam.

Beberapa hari sesudahnya saya baca feature menarik di Harian Kompas, judulnya mengelitik "Untung Bawa Parang". 

Karangan khas tersebut tak semata bercerita tentang ikan pari dan nelayan Ndori yang tangguh melaut. 

Isinya kaya warna termasuk apik nian melukiskan susahnya akses jalan menuju Wonda, Ndori, Maubasa pada masa itu. 

Ndori sekarang sudah menjadi wilayah kecamatan sendiri, mekar dari Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende, NTT. Kondisi jalan ke sana kiranya sudah jauh lebih baik. 

Pengalaman adalah guru terbaik. Kisah tentang parang itu sungguh membekas di benak dan hati saya. Sampai sekarang.

Sang mentor mengajari kami para juniornya di dunia jurnalistik, tidak semata lewat kata-kata tapi aksi. 

Dia memang penulis feature yang hebat. Pembaca  Kompas pasti mengenal dan suka mencicipi karya jurnalistiknya. 

Penulis yang tidak pelit berbagi ilmu dan pengalaman. Dia selalu dengan senang hati menuntun dan memotivasi. 

Saya, Pascal Bin Saju, Jannes Eudes Wawa dan banyak wartawan lain pernah merasakan bimbingannya.

Namanya Frans Sarong. Inisialnya ketika masih aktif sebagai wartawan Harian Kompas adalah ANS. 

Minggu 2 Maret 2025, Ka'e Frans Sarong ulang tahun.  Pada hari yang indah ini, saya hanya mau bilang, sehat dan bahagia selalu Ka'e Frans. 

Tuhan menyertai dan mengasihi ka'e dalam setiap pelayanan dan pengabdian bagi sesama.

Salam hangat buat Kak Tina, Anak Ellen, Mario dan David. (*)

Perintah Ratu



 Bupati Sumba Barat Daya, Ratu Ngadu Bonnu Wulla, S.T memerintahkan Inspektorat segera mengaudit pengelolaan program dana desa di 173 desa di kabupaten tersebut.  

Audit, menurut Bupati Ratu Wulla, sangat penting agar bisa mengetahui pengelolaan dana desa yang baik serta kendala  di setiap desa. 

Perintah mengaudit dana desa sejalan  dengan visi misi Bupati dan Wakil Sumba Barat Daya periode 2025-2030, Ratu Ngadu Bonnu Wulla, S.T-Dominikus A. Rangga Kaka, S.P yakni membangun desa, menata kota.

Ratu Wulla menyampaikan hal ini saat memimpin apel perdana sebagai bupati yang diikuti seluruh ASN lingkup Pemkab Sumba Barat Daya dan para kepala desa di halaman Kantor Bupati Sumba Barat Daya di Tambolaka, Senin (3/3/2025). 

Dikatakannya, audit bukan menakuti-nakuti kepala desa dan seluruh perangkatnya tetapi mau memastikan pengelolaan dana desa sesuai ketentuan  yang berlaku dan  proses pembangunan desa tetap berjalan. 

Urgensi mengaudit dana desa kiranya bukan hanya kebutuhan Kabupaten Sumba Barat Daya yang kini dinakhodai Ratu Wulla. Seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) patut melakukannya. Mengapa demikian? 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa program dana desa yang bergulir di negeri ini sejak 2014 belum sepenuhnya mengatasi ketimpangan pembangunan antarwilayah. 

Dalam periode 2015-2024, pemerintah telah mengalokasikan dana desa lebih dari Rp 400 triliun. Akan tetapi program yang bertujuan mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan, dan mengurangi kemiskinan masih jauh dari harapan ideal.

Data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menunjukkan selama satu dekade, dana desa sudah dipakai membangun lebih dari 200.000 kilometer jalan desa, 1.200 jembatan, 22.000 unit sarana air bersih, dan ribuan fasilitas kesehatan serta pendidikan.  

Program ini telah menciptakan lebih dari 4,2 juta lapangan kerja di pedesaan. 

Akan tetapi ada  kenyataan pahit yang menyertai yakni banyak proyek gagal, mutu pembangunan fisik buruk, dan dana tidak tepat sasaran.  

Korupsi merupakan penyakit utama. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2015 hingga 2024, lebih dari 900 kasus korupsi terkait dana desa yang diungkap. 

Nilai kerugian negara lebih dari Rp 1,5 triliun.  Modus operandi korupsi mulai dari penggelembungan anggaran proyek, proyek fiktif, hingga pemotongan dana oleh aparat pemerintah desa atau pejabat daerah. 

Kondisi serupa pun terjadi di sejumlah desa di Provinsi NTT. Oleh karena itu, audit berkala merupakan langkah yang tepat sehingga program dana desa mencapai tujuan yang seharusnya. 

Sebagai daerah serba terbatas terutama dana, mestinya program dana desa merupakan solusi terbaik bagi Flobamora mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan. Syaratnya adalah kelola dana desa sebaik mungkin demi kemajuan masyarakat desa. (*)

Sumber: Pos Kupang

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes