SEUMPAMA arena pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilu kada) di kampung besar Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan kompetisi sepakbola, maka kompetisi itu sungguh mencerminkan jatuh bangunnya sebuah kesebelasan partai politik (parpol). Ada saat berjaya, ada waktu tunggang langgang. Ada tangis, ada tawa.
Sejak pemilihan kepala daerah secara langsung tahun 2005, begitu banyak air mata tumpah di persada Flobamora. Juga tawa berderai hingga mencabik langit. Dan, inilah hasil sementara pertarungan itu. Dua klub politik raksasa di beranda Nusa Tenggara Timur, Partai Golongan Karya (Golkar) versus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bermain imbang 5:5. Skor tersebut bisa berubah dalam hitungan hari mengingat kompetisi pemilu kada masih terus bergulir.
Acuan skor imbang yang beta pakai adalah kepala daerah dan wakil kepala daerah dari Partai Golkar dan PDIP yang kini masih serta akan memimpin kabupaten dan kota di NTT. Ya, meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Flores Timur belum mengetuk palu final, namun hampir dipastikan dalam duel terkini di Flores Timur, pasangan PDIP unggul atas Golkar. “Kemenangan” terakhir itulah yang menyamakan skor menjadi 5:5 antara PDIP dan Golkar.
Kiprah kedua parpol yang menguasai panggung politik Flobamora sejak pemilu pertama di era reformasi tahun 1999 menarik disimak. Khusus Partai Golkar yang berkuasa penuh selama rezim Soeharto –sempat gamang ketika kepala daerah di ini negeri dipilih langsung oleh rakyat mulai tahun 2005. Di beberapa kabupaten Golkar gagal mengusung calonnya karena kisruh internal serta ketidaksiapan mereka beradaptasi dengan sistem serta regulasi baru. Kiprah PDIP pun mirip. Partai banteng yang menikmati eforia hasil pemilu 1999 ternyata sulit menemukan kader dengan nilai jual tinggi. PDIP memaksakan kader yang belum ranum sehingga rontok berguguran. Dalam beberapa kasus, PDIP malah terjebak sindrom salah asuh dan salah pilih sehingga calon jagoannya tak berdaya menghadapi badai pemilu kada yang terkenal ganas dan butuh napas panjang.
Dalam pertarungan pemilu kada di sebelas daerah di Nusa Tenggara Timur, Golkar dan PDIP sungguh “dipermalukan” si cabe rawit. Partai kecil terbukti lebih lincah bergerak, lebih cerdas memilih figur berdaya jual tinggi serta lebih piawai membangun solidaritas. Di Kabupaten Sikka yang merupakan basis tradisional si Merah PDIP selama puluhan tahun, calon yang diusung dalam pemilu kada 2008 gagal naik singgasana bupati dan wakil bupati. PDIP masih bisa bersyukur lantaran di kabupaten nyiur melambai tersebut rivalnya Partai Golkar pun gigit jari.
Di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), perolehan suara Golkar yang fantastis sejak Orde Baru dan berlanjut hingga tiga pemilu reformasi juga terjadi pergeseran dalam pemilu kada terakhir (2009). Pasangan calon Partai Golkar tidak berhasil melanjutkan rezim Golkar di bumi cendana yang bertahan puluhan tahun. Pemenang pemilu kada justru calon yang dijagokan koalisi yang dimotori Partai Demokrat. Di kabupaten ini PDIP pun sulit menjulang. PDIP agaknya tahu diri. Selain Sikka dan TTS, Partai Golkar dan PDIP juga gagal mengantar calon mereka meraih kejayaan di Kabupaten Ngada, Belu, Sumba Barat, Sumba Tengah, Alor, Manggarai Barat, Nagekeo, Kota Kupang dan Rote Ndao. Rote Ndao punya catatan istimewa. Inilah satu-satunya daerah di NTT yang dipimpin oleh calon dari jalur independen. Semua calon dari partai keok! Rote kok dilawan. He-he-he..
Golkar dan PDIP rupanya belajar dari kegagalan sehingga mereka mengubah taktik dalam putaran pemilu kada terkini. Saat bertarung di Kabupaten Manggarai, Sumba Timur dan Sabu Raijua pada tahun 2010, Golkar meminang figur yang sungguh kuat di akar rumput, tidak begitu penting lagi apakah dia kader Golkar atau bukan. Toh di era multipartai sekarang fenomena kader kutu loncat telah menjadi sesuatu yang lazim. Dan, terbukti partai beringin tidak keliru memilih. Si Kuning berjingkrak riang karena meraih kemenangan. Calon Golkar meraih suara meyakinkan, mengalahkan calon PDIP serta pasangan calon dari partai lainnya. Golkar dengan demikian berjaya di lima kabupaten yaitu Manggarai, Manggarai Timur, Sumba Timur, Sabu Raijua dan Lembata.
Lembata pantas disebut mengingat saat ini masih dipimpin Andreas Duli Manuk yang lima tahun lalu juga diusung Golkar. Dalam pemilu kada putaran pertama 19 Mei 2011, pasangan Golkar “unggul” sementara atas calon PDIP. Namun, karena keunggulannya beti alias beda tipis maka calon dari kedua partai tersebut harus berlaga lagi di putaran final 4 Juli 2011 mendatang. Pemilu kada Lembata menjadi medan pertarungan keras antara PDIP vs Golkar. Kalau pasangan PDIP menang, maka PDIP akan pimpin skor jadi 6-4. Demikian pula sebaliknya. Peluang kedua partai untuk juara di Lembata tahun 2011 berimbang. Tergantung bagaimana taktik dan srategi meraih suara pendukung empat calon lainnya yang kandas di putaran pertama.
PDI Perjuangan sejauh ini berjaya di Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Kupang, Ende, Timor Tengah Utara (TTU) dan Flores Timur yang baru saja mencoblos 31 Mei 2011 setelah proses pemilu kada berlarut-larut hampir setahun. Di Timor Tengah Utara memang ada onak dan duri hukum yang menikam Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara pemilu kada tahun 2010. Namun, legitimasi mayoritas suara rakyat yang memilih calon PDIP merupakan fakta tak terbantah. Masalah hukum terkait pemilu kada TTU tahun 2010 adalah soal lain yang juga menarik perhatian. Tapi lebih elok jika dikupas dalam sesi tersendiri.
Bagi tuan dan puan penggemar politik, skor imbang 5:5 pasti menarik bukan? Peta kekuatan itu niscaya dipakai sebagai modal kalkuasi peluang untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur tahun 2013 serta pemilu legislatif dan pemilihan presiden tahun 2014 secara nasional. Duel Golkar vs PDI Perjuangan akan semakin membara pada hari-hari mendatang.
Bagaimana dengan Kota Kupang yang tahun 2012 kembali memilih walikota dan wakil walikota? Setelah menjaring angin lima tahun silam karena memilih figur yang kurang menjual, kali ini PDIP dan Partai Golkar sepertinya tak mau melepas peluang tersebut untuk kedua kalinya. PDIP bahkan telah menabuh genderang perang terbuka dengan membuka pendaftaran bagi para calon. Puluhan nama calon sudah mendaftar lewat pintu PDIP, termasuk Ibu Lusia Adinda Dua Nurak-Lebu Raya. Tuan dan tuan tidak asing dengan tokoh ini. Beliau adalah istri ketua DPD PDI Perjuangan NTT yang juga Gubernur propinsi ini, Drs. Frans Lebu Raya.
Dengan membuka pendaftaran secara terbuka bahkan diiklankan secara menyolok lewat media massa, PDIP tentu saja mau menunjukkan keseriusannya merebut kepemimpinan di Kota KASIH. PDIP agaknya merespons gerakan rivalnya Partai Golkar yang sudah lebih dulu merapatkan barisan, antara lain dengan melakukan pergantian ketua partai yang kini dipegang Drs. Daniel Adoe yang juga Walikota Kupang. Tentang tokoh murah senyum dan ramah ini, beta ingat pernyataannya hampir dua tahun lalu, tepatnya tanggal 9 Juni 2009. “Saya hanya mau katakan bahwa saya tidak mencalonkan diri lagi dalam pemilihan walikota mendatang. Saya cukup satu periode. Saya ingin menikmati hari tua saya bersama isteri dan keluarga. Saya ingin masa tua saya tenang," kata Daniel Adoe ketika itu. Pernyataannya yang mengejutkan hari itu disiarkan secara luas oleh media massa cetak dan elektronik.
Apakah beliau sungguh tidak maju lagi sebagai calon dalam pemilu kada Kota Kupang tahun 2012? Menurut politikus kawakan Nusa Tenggara Timur, Bung Kanis Pari, berpolitik praktis adalah hidup berkecimpung dengan seni yang paling tinggi dan indah yaitu seni dari segala kemungkinan; memungkinkan kemungkinan yang tidak mungkin, dimungkinkan kemungkinan yang bisa saja memungkinkan kemungkinan yang belum mungkin. Jadi? (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang, Senin 6 Juni 2011 halaman 1