ilustrasi |
Pada hari yang sama belasan petambang di Gunung Gede, Desa Suka Mulih, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tertimbun tanah longsor akibat penambangan liar. Saat ditemukan hari Jumat (25/5) pagi, empat petambang tak bernyawa lagi. Jumlah petambang yang tewas diperkirakan bertambah lantaran ada belasan orang yang terkubur material tanah dan pasir yang mereka gali.
Dua peristiwa tersebut di atas mengindikasikan satu hal betapa tanah tempat kita berpijak semakin labil. Ia mudah tergerus air, ambles dan dalam banyak kejadian di negeri ini justru telah menjadi mesin pencabut nyawa manusia. Hujan hanya beberapa saat saja langsung menimbulkan banjir bandang. Tanah yang telah jenuh pun lazimnya longsor dengan daya rusak mematikan.
Begitulah yang terjadi bila alih fungsi lahan tidak memperhitungkan keseimbangan ekosistem lingkungan. Banjir yang selalu menjadi momok menakutkan warga perkotaan di Indonesia merupakah buah dari ketidaktepatan rencana tata ruang sebuah kota.
Nafsu membabat lahan untuk membangun kawasan perumahan atau properti bisnis kerapkali mengabaikan hasil analisis dampak lingkungan. Hasil survei dari berbagai lembaga terpercaya menunjukkan tidak lebih dari 10 persen kota provinsi dan kabupaten di Indonesia yang aman dari ancaman bencana banjir setiap tahun.
Bagaimana dengan Sulawesi Utara? Kisahnya hampir setali tiga uang. Bencana tanah longsor bukan peristiwa langka di bumi Nyiur Melambai. Banjir bandang pun bukan tak pernah menghajar Kawanua. Pembangunan fisik kota-kota di Sulawesi Utara patut diacungi jempol. Dalam kurun waktu sepuluh sampai limabelas tahun terakhir terjadi perkembangan yang signifikan. Kemacetan yang terjadi saban hari di Kota Manado, misalnya, merupakan salah satu bukti kuat tentang konsekwensi logis dari kemajuan tersebut.
Hari-hari ke depan, alih fungsi lahan di Sulawesi Utara, entah untuk pembangunan properti atau bisnis pertambangan bakal terus bergulir. Tentu dibutuhkan keseriusan pemerintah daerah serta semua stake holder di sini untuk menekan sekecil mungkin dampak kerusakan lingkungan yang berpeluang mencabut nyawa manusia serta harta benda.
Bumi Nyiur Melambai yang dikaruniai alam yang indah, subur dan sanggup memakmurkan rakyatnya lewat kekayaan sumber daya alam selama berabad-abad jangan sampai tergerus oleh kepentingan sesaat penguasa dan pengusaha. Bumi ini sejatinya tempat hunian anak cucu kita yang lahir kelak. Kita yang hidup saat ini sekadar menggunakannya untuk sementara. Jadi merawat bumi merupakan kewajiban utama bukan? (*)
Tribun Manado 26 Mei 2012 halaman 10